Menjadi kaum beragama tampak kian sulit belakangan ini. Jangankan mereka yang awam, bagi pengkaji agama secara khusus, misalnya di pondok pesantren maupun Perguruan Tinggi Islam, menjadi Muslim di negeri ini makin mengerikan. Bagaimana jika para cendekiawan Muslim telah diragukan? Para Kiai dengan otoritasnya dikafir-kafirkan? Dan sebuah wacana yang berdasar obyektivitas ilmiah dilarang berkembang?
Begini bunyi salah satu teks dalam poster meme yang berasal dari kaum yang beragama dengan cara barbar dan membuat kita terpaksa mengingat masa-masa pra kenabian itu:
“Dedengkot ANUS (Aliran Nusantara) Said Aqil Siraj yang beraliran LIBERAL curhat ke Kapolri bahwa HTI Anti Nasionalisme, dan FPI rusak citra Islam, serta MTA haramkan tahlil. Kapolri harus hati-hati dengan makhluk yang satu ini, karena inilah makhluq rasis fasis yang secara terang-terangan memfitnah syariat Islam sebagai Arabisasi. Kapolri harus diingatkan bahwa gara-gara makhluq yang satu ini juga banyak kyai dan santri serta pesantren keluar dari NU, karena pemikiran dan perilakunya yang bertentangan dengan aqidah aswaja sebagai jiwa NU.”
(Catatan: poster ditandatangani oleh beberapa nama ormas terlampir, antara lain: Suara Keadilan, FPI, Gerakan Menuju NKRI Bersyariah dan HabibRizieq.com)
Ironis. Poster yang dengan keji, melakukan serangan fitnah pada ulil amri atau ulama semakin tak terhingga jumlahnya. Mereka merasa gagah dengan menyerang langsung kepada pribadi tertentu, padahal yang menjadi keberatan mereka adalah sebuah wacana keilmuan dinamis yang tidak mampu mereka sanggah.
Islam dan Islamisme
Ada perbedaan pelik antara Islam dan Islamisme. Secara sederhana, Islam dapat kita definisikan sebagai sikap berserah sepenuhnya kepada Allah SWT yang merupakan puncak perkembangan historisitas ajaran dari wahyu-wahyu yang diterima Nabi-Nabi sebelum Muhammad hingga kepada Nabi terakhir yakni Muhammad SAW. Sedangkan Islamisme, ia adalah sebuah gelombang politik, ekonomi, budaya yang terus berubah dengan menggunakan dalih Islam, baik bersifat nilai maupun komunitas Muslim yang melegitimasinya.
Ariel Heryanto (2015) menjelaskan,”… Ada pihak-pihak yang tak memiliki motivasi relijius, serta faktor lain (semisal politik post-otoritarian, ekspansi kapitalisme global dalam barang dan jasa, serta perkembangan dalam teknologi media baru) turut mengambil peran dalam proses luas dalam islamisasi ini.”
Ingatan kita kemudian dapat spontan mengarah kepada ungkapan Nurcholish Madjid medio 80-an, yakni “Islam Yes, Partai Islam No” dan membuat cendekiawan Muslim alumni KMI Pesantren Gontor Ponorogo (1960) ini memperoleh tuduhan sekuler. Ungkapan Cak Nur sengaja dicerabut dari konteks ketika partai-partai politik besar yang konstituen utamanya bukan berdasarkan agama juga ikut-ikutan membonceng retorika islami dan menggunakannya untuk meningkatkan kekuatan politik mereka.
Peta politik Soeharto yang berubah pada dekade terakhir sebelum ia dilengserkan pada 1998 memberikan kesempatan pada banyak pemimpin Islam dari berbagai spektrum politik untuk ikut menikmati kekuasaan Negara dalam upaya terakhir menyelamatkan rezim orde baru yang sedang sekarat.
Salah satu warisan utama yang paling berbahaya dari gelombang Islamisme ini, selain pola kultural besar-besaran dalam bidang politik, ekonomi, budaya yang dalam istilah Ariel disebut sebagai political correctness (kepatutan politik) adalah fakta pembentukan milisi-milisi Islamis. Milisi islamis merupakan sipil-sipil berlabel Islam yang dipersenjatai, serta dilindungi dan diduga sebagai perpanjangan tangan Negara (sengaja saya cetak miring sebab konsep Negara dalam istilah ini merujuk kepada kekuasaan rezim). Presiden Habibie tercatat meneruskan upaya pendahulunya memanfaatkan Islam untuk tujuan politiknya, termasuk melakukan perekrutan massal milisi-milisi Islamis yang baru.
Untuk menyebut beberapa milisi, misalnya: Front Pembela Islam (1998) oleh Habib Muhammad Riziq Shihab, Front Bersama Umat Islam (1999) oleh Eggi Sudjana serta Gerakan Pemuda Ka’bah (1998) oleh AM Saefuddin (Riset tim ISAI, 1999). Milisi-milisi tersebut memiliki tugas mulai dari mengamankan Sidang Umum MPR, melawan mahasiswa kritis/ mahasiswa yang pro dengan basis massa kekuasaan non-pemerintah, membantu Angkatan Darat melawan sipil, hingga mengamankan langkah tokoh tertentu untuk maju ke kursi kepresidenan.
Atas kenyataan ini, umat Islam Indonesia hendaknya bijak untuk membedakan antara karakteristik dakwah atau syiar Islam dan politisasi gerakan Islamisme.
Berbeda adalah Niscaya
Dunia diciptakan dari identitas perbedaan unsur, bentuk, warna, serta konsep. Berbeda adalah niscaya, namun entah kenapa akhir-akhir ini banyak golongan yang terasa sulit betul memahaminya. Hiruk pikuk sejarah dan realitas politik yang mengungkungi keseharian, ternyata membawa dampak yang tidak sederhana.
Rezim orde baru mempromosikan ideologi seragam dan penyeragaman. Kepatutan politik islami, atas kepentingan kekuasaan, pun kemudian melanggengkan ideologi seragam dan penyeragaman. Kita lazim melihat pengajian yang diseragamkan, basis ustadz yang diseragamkan, parade jilbab yang ukurannya diseragamkan, bentuk jenggot yang diseragamkan, juga wacana-wacana Islami yang diseragamkan untuk mengkafirkan lain golongan.
Penyeragaman seringkali membawa kita pada kebodohan, dan kebodohan terus difestivalkan secara bersama-sama kemudian memperoleh ruangnya dalam teori kerumunan massa. Mereka yang awam, secara perlahan masuk ke dalam kerumunan, memperoleh identitas komunitas, sambil pelan-pelan kehilangan dirinya sendiri. Manusia dalam kerumunan cenderung tidak memiliki gagasan pribadi dan mudah goyah. Padahal, iman dan akidah mensyaratkan kekokohan batin.
Perbedaan juga sesuatu yang akrab bahkan sejak masa tepat setelah wafatnya Rasulullah SAW. Pada masa kekhalifahan Abu Bakar, ketika akan membukukan Al Qur’an bersama dengan Umar Ibn Khatab dan Utsman Ibn Affan, perbedaan-perbedaan tak dapat dihindari. Umar Ibn Khatab mengusulkan pembukuan shuhuf Al Qur’an kepada Abu Bakar sebab banyaknya kematian yang menimpa qurra (para pembaca Al Qur’an) pada perang Yamamah.
Ketika itu, Abu Bakar menjawab,”Bagaimana mungkin kita melakukan sesuatu yang Nabi sendiri tidak melakukannya?”. Dan Umar menjawab bahwa bagaimanapun pekerjaan tersebut adalah baik.Berkali-kali mereka berdebat hingga akhirnya pekerjaan tersebut diamanahkan kepada Zaid Ibn Tsabit. Kisah berselisih pendapat terus berlangsung hingga pada pembahasan metode pengumpulan shuhuf, cara penulisan (rasm alkhath), cara baca (qiraat), dan lain-lain.
Perjalanan batin untuk mengokohkan keimanan dan akidah adalah agenda pribadi yang tak perlu penyeragaman. Lebih-lebih, penyeragaman yang melanggengkan kebodohan serta lebih miris lagi dengan cara-cara kekerasan, baik verbal dan apalagi ideologi peperangan.