Bagaimana memahami dinamika Islam dan politisasi atas Islam, akhir-akhir ini? Islam dan politisasi atas Islam, yang disebut sebagai Islamisme, perlu dimaknai sebagai refleksi dinamika sosial-politik dalam konteks relasi muslim dengan modernitas, dengan tantangan radikalisme, gerakan politik khilafah, dan bahkan terorisme.
Hal tersebut menjadi inti diskusi dan bedah buku ‘Islam dan Islamisme‘, karya intelektual muslim Bassam Tibi, yang diterbitkan Mizan (2016) . Bedah buku yang diselenggarakan oleh BEM FKIT (Fakultas Keguruan dan Ilmu Tarbiyah) UIN Walisongo pada Kami (29/30/2016) ini, menghadirkan Dr. Haidar Bagir (Pendiri Gerakan Islam Cinta) dan Dr. Tedi Kholiluddin (aktifis PW Nahdlatul Ulama Jawa Tengah & Dosen UIN Walisongo Semarang), yang dimoderatori Dr. Rikza Chamami, M.Pd (Dosen UIN Walisongo).
Dalam analisanya, Haidar Bagir mengajak cendekiawan muslim dan para mahasiswa yang menjadi penggerak komunitas, agar bersatu menebarkan Islam yang damai. “Selama ini, orang-orang muslim moderat cenderung diam, ketika ada kelompok kecil muslim yang keras dalam beragama. Akan tetapi, jika dibiarkan mereka akan semakin kuat. Mari kita bersama aktif untuk mengkampanyekan Islam yang menebar rahmat dan cinta kasih,” terang Haidar.
Haidar Bagir mencontohkan, bahwa jika dibiarkan, seperti orang baik yang tidak peduli pada kelompok preman, maka kelompok Islam garis keras akan menjadi kuat, sehingga merusak inti ajaran Islam yang sebagaimana diajarkan Nabi Muhammad. Haidar juga mengungkap bahwa, fenomena Islam politik, yang disebut Bassam Tibi sebagai Islamisme, harus direspon secara jernih. Islamisme itu mendukung demokrasi namun hanya sebagai kamuflase, hanya demokrasi kota suara, padahal sebenarnya mereka bergerak untuk menegakkan sistem khilafah, inilah yang harus diwaspadai.
“Jika kelompok Islamiyyun mementingkan gerakan politik sebagai puncak keberislaman, maka saya lebih setuju jika puncak keislaman adalah Ihsan, yakni tindakan kebaikan,” tegas Haidar. Ia merujuk pada pemikirannya, bahwa muslim Indonesia harus memahami rukun Islam, rukun Iman dan rukun Ihsan.
Sementara, Tedi Kholiluddin menegaskan bahwa khilafah bukanlah solusi dari semua tantangan hidup manusia. “Tidak semua hal harus diselesaikan dengan khilafah. Hal-hal yang terkait dengan kehidupan teknis, ya harus diselesaikan dengan cara kemanusiaan,” ungkap Tedi. Intinya, gerakan Islam politik sering hanya mengejar ilusi.
Di sisi lain, Tedi berkeyakinan bahwa model Islam Indonesia dapat menjadi rujukan utama Islam moderat bagi komunitas warga dunia. “Bassam Tibi sudah menyampaikan gagasan bagaiman Islam moderat ala Indonesia menjadi alternatif gagasan. Saya kira ini momentum penting, bahwa perubahan berkeislaman itu dari pinggir, yakni dari kawasan Nusantara,” ungkap Tedi.
Dalam analisanya, Tedi mengkritik bahwa kelompok Islam politik membangun jalur ganda dalam memperjuangkan gagasannya, yakni dari struktur kekuasaan maupun dari jalur warga. “Kelompok Islamisme bergerak di struktur politik, dan juga merangsek dengan menggarap komunitas warga. Di kota-kota satelit Jakarta, hal ini sudah mulai marak. Misalnya, cluster-cluster pemukiman yang anggotanya hanya dari kelompok mereka,” terang Tedi.
Ia berharap bahwa Islam Indonesia menjadi rujukan untuk mengenalkan konsep Islam moderat, yang dapat menjadi referensi bagi masyarakat muslim dunia yang kehilangan arah (*).