Nabi Muhammad saw bersabda: “setiap kalian adalah penggembala, dan seorang penggembala akan ditanya tentang gembalaannya” (kullukum ra’in wa kullu ra’in mas’ulun ‘an ra’iyyatihi), dan ini merupakan landasan moral bagi setiap warga negara untuk mempertanyakan orientasi dan teori pembangunan nasional yang dipakai di negara-nya. Sejauh ini, yang diajukan selalu hanya orientasi pembangunan yang elitis dan teori pembangunan nasional yang sekuler. Sangat sedikit perhatian diberikan pada orientasi pembangunan dan teori pembangunan nasional yang diambil dari ajaran agama. Padahal, banyak sekali aspek-aspek spiritual yang dapat dijadikan landasan bagi teori pembangunan nasional yang lebih menyeluruh dan orientasi pembangunan yang memiliki sisi keagamaan sangat kuat.
Akibat yang sangat terasa bagi kita dewasa ini adalah orientasi pembangunan kita yang serba elitis dan hanya mementingkan kaum kaya dan cabang atas dari masyarakat kita, sedangkan banyak sekali para orang kaya –yang di kemudian hari menjadi konglomerat hitam, dengan membawa lari modal pinjaman mereka ke luar negeri. Ini adalah akibat langsung dari orientasi pembangunan yang serba elitis tadi, yang bertumpu pada ekspor produk-produk ke luar negeri, dan sama sekali tidak memberikan perhatian pada pembentukan modal secara besar-besaran kepada Usaha Kecil dan Menengah (UKM), minimal dengan pemberian kredit murah bagi mereka, serta pemberian kemudahan-kemudahan dan fasilitas-fasilitas lain. Akibatnya, adalah krisis ekonomi dan keuangan yang berkepanjangan di negeri kita, hingga dewasa ini.
Untuk meredam suara protes yang mencari sebab-muabab kedua krisis ini, dikemukakanlah acuan-acuan seperti persaingan, perniagaan internasional yang bebas dan keharusan berefisiensi. Padahal ketiga patokan itu berarti persyaratan yang harus dipenuhi, jika diinginkan gerak perekonomian yang sehat bagi sebuah negara. Orientasi memajukan gerak ekonomi, baik yang bersifat elitis seperti memajukan konglomerasi, maupun yang profesional dengan bersandar pada pertumbuhan UKM yang kuat, mengharuskan adanya kompetisi yang ketat, penghormatan kepada tata niaga internasional dan kemampuan efisiensi yang tinggi.
*****
Ukuran tunggal yang digunakan dalam menilai majunya perekonomian, memang berbeda dari teori pembangunan nasional yang sekuler dari teori pembangunan nasional yang lebih lengkap (baik aspek spiritual keagamaan maupun aspek-aspek lainnya). Teori pembangunan nasional yang sekuler selalu bermula dari tinggi rendahnya pendapatan nasional sebuah bangsa, dengan menggunakan berbagai pertimbangan kwantitatif. Sedangkan teori pembangunan nasional yang bersumber pada agama, senantiasa bermula dari tanggungjawab menciptakan masyarakat yang adil dan makmur (menurut bahasa UUD 1945), sedangkan menurut ajaran agama Islam dinamai kesejahteraan. Perbedaan titik tolak dalam memandang hasil pembangunan nasional ini, tidak dapat dihindarkan, karena memang cara melihat masalahnya pun berbeda. Dari sudut pandangan spiritual keagamaan, yang dinilai adalah capaian individu warga masayarakat, sedangkan bagi teori pembangunan nasional yang sekuler, yang dipentingkan adalah sudut pandang makro masyarakat secara keseluruhan. Tentu saja cara pandangnya pun berbeda satu dari yang lain, karena perbedaan titik tolak tersebut.
Dari perbedaan teori yang digunakan, yang akhirnya perbedaan dalam cara memandang pembangunan nasional, jelas bahwa kita harus memilih antara teori pembangunan nasional yang sekuler dan teori pembangunan yang lebih menyeluruh. Tentu saja pilihan orang seperti penulis lalu jatuh pada teori pembangunan nasional yang lebih berorientasi spiritual/keagamaan. Karena, di samping ukuran-ukuran kwantitatif seperti penghasilan nasional, capaian umur rata-rata warga negara –baik pria dan wanita serta pemilikan rata-rata perorangan tiap penduduk sebuah negara terhadap mobil, rumah, telepon dan sebagainya, juga digunakan ukuran non-materiil –seperti keadilan, HAM, dan kemakmuran kolektif. Jadi, ukuran yang digunakan tidak hanya satu corak saja, tapi memiliki perbedaan dari satu ke lain bidang.
Ini menjadi sesuatu yang penting, karena dengan ukuran-ukuran kwantitatif akan tetap terdapat disparitas yang tinggi dalam kehidupan di berbagai sektor, seperti perniagaan, pertukangan dan sebagainya. Justru di negara-negara berkembang, disparitas itu terasa sangat tinggi. Sedangkan di negara-negara bertehnolog maju hal itu kurang terasa. Kecenderungan masyarakat di Jepang, misalnya, yang membatasi perbedaan pendapatan tertinggi sekitar 20 kali lipat pendapatan terendah, membuat masyarakat tidak terlalu dilanda kecemburuan sosial yang besar. Dengan ungkapan lain, kapitalisme di negara-negara bertehnologi maju telah membentuk susunan masyarakat yang lebih-kurang tingkatan-tingkatannya, sesuatu yang belum ada pengaturannya di negara-negara yang sedang berkembang.
*****
Dengan demikian, slogan-motto-semboyan yang digunakan dalam pembangunan nasional-pun juga berbeda. Nah, perbedaan ini harus dicari sumber-sumbernya dalam teori pembangunan nasional yang digunakan. Inilah yang membuat penulis membedakan teori pembangunan nasional yang sekuler dari teori yang juga memasukkan dalam dirinya aspek-aspek spiritual-keagamaan. Pencarian orientasi lebih lengkap ini dilakukan penulis, karena ia melihat ketimpangan-ketimpangan dalam orientasi pembangunan yang sedang berjalan, yang memanjakan golongan atas dan pengusaha kaya belaka.
Perhatian kurang sekali diberikan, kepada teori pembangunan nasional yang lebih lengkap, yang memunculkan orientasi kesejahteraan bersama seluruh warga negara, di samping ukuran kwantitatif yang lazim digunakan. Krisis ekonomi finansial yang melanda kehidupan bangsa kita dewasa ini, jelas diakibatkan oleh orientasi pembangunan nasional yang terlalu elitis., dan mengabaikan ukuran-ukuran seperti kesejahteraan bersama, keadilan sosial, penegakan hukum dan pelaksanaan hak-hak asasi manusia. Dicoba untuk mengemukakan ukuran kesejahteraan seluruh bangsa, keadilan sosial dan sebagainya dalam mengukur keberhasilan pembangunan nasional.
Jelaslah dengan demikian, bahwa ukuran mikro dan makro yang benar harus sama-sama digunakan dalam mengukur capaian pembangunan nasional kita. Ini berarti perubahan besar dalam cara memandang strategi pembangunan nasional yang digunakan. Di samping optimasi persaingan, penerimaan tulus terhadap tata niaga internasional dan penghargaaan rasional kepada efisiensi (yang lebih bersifat ukuran-ukuran mikro), digunakan juga orientasi yang benar akan keadilan sosial, kedaulatan hukum dan HAM. Dengan kata lain, di samping ukuran-ukuran kwantitatif yang bersifat mikro, digunakan juga ukuran-ukuran kwalitatif dalam arti orientasi pada keadilan, kedaulatan hukum dan kepentingan rakyat banyak sebagai hal-hal makro yang juga harus diperhatikan. Jelas, bukan?
Jakarta, 30/6/2002
Memorandum