“Ikhtilafu ummati rahmah (perbedaan pandangan dikalangan ummatku adalah rahmat)”, adalah sebuah hadis Nabi yang sangat populer, walaupun oleh sejumlah kalangan ahli hadis (muhaddisin), hadis ini dinilai lemah secara sanad (silsilah periwayatan), namun matan (kandungan) hadis tersebut, secara umum diterima oleh para Ulama, oleh karenanya ia berkedudukan sebagai diktum teologis bahwa perbedaan pandangan di tengah-tengah ummat Islam adalah sesuatu yang dibolehkan.
Agama Islam adalah agama hukum dengan seperangkat syariatnya sebagai pedoman hidup. Penting difahami, bahwa syari’at tidak hanya bersumber dari teks primer Al-Qur’an dan Hadis (syariat mansusah) semata, tetapi juga berasal dari ikhtiar spiritual-intelektual para Ulama (syariat Ijtihadiyah) dari masa ke masa yang dikenal sebagai fiqh.
Dalam aspek yang kedua ini, lahirnya berbagai mazhab fiqh menjadi bukti luasnya cakrawala pengetahuan dalam memahami Islam, disamping berbagai mazhab teologi dan tasawuf yang sangat andil dalam memperkaya mozaik keilmuan Islam. Kesemuanya menyediakan jalan (pengetahuan) untuk memahami Islam yang kaffah.
Terminologi Islam kaffah yang belakangan kerap digunakan sejumlah kalangan untuk memaksakan kehendak atas pemahamannya terhadap Islam, memiliki tafsir yang tidak monolitik. Ada Ulama yang memahami Islam kaffah dalam maknanya yang formal, agama dan negara (ad-din wa ad-daulah), yang kini hadir dalam perjuangan mendirikan negara Islam (khilafah Islamiyah), ada pula yang memahami Islam kaffah dalam kandungannya yang lebih esensial, ketundukan/penyerahan diri sepenuhnya kepada Allah, dan yang terakhir memahami Islam kaffah sebagai kedamaian universal.
Perbedaan pandangan tentang definisi Islam kaffah yang merefer pada potongan ayat Al-Qur’an “udkhulu fi as-silmi kaffah (masuklah ke dalam Islam/kedamaian secara total)”, menunjukkan bahwa perbedaan pemahaman terhadap teks (nash) Al-Qur’an adalah sebuah kenyataan yang hadir di tengah-tengah perkembangan khazanah pengetahuan Islam, dan bukanlah sesuatu hal yang baru adanya.
Perbedaan pandangan di atas akan menjadi sesuatu yang sangat berharga, jika berpijak di atas cara pandang yang terbuka (inklusif), karena perbedaan itu akan menjadi wahana belajar untuk memperluas cakrawala pemahaman satu dengan yang lain, namun menjadi kontra produktif jika hadir di tengah cara pandang yang tertutup (ekslusif), karena adanya egoisme kebenaran yang sepihak (one-sided truth claim), membuat penganutnya enggan membuka jendela wawasannya untuk coba melihat kebenaran dari pihak lain.
Cara pembacaan terhadap ajaran Islam dengan korpus tertutup, salah satunya juga disebabkan oleh pemahaman yang cenderung politis terhadap Islam itu sendiri. Cara pandang politis ini dimotori oleh hasrat berkuasa/mendominasi (will to power) dengan mengendarai agama. Cara pandang yang politis terhadap Islam pada wujudnya kemudian menganggap Islam sebagai sebuah ideologi, lalu menggunakan term dan simbol Islam untuk tujuan-tujuan politik.
Pembacaan Islam dengan hasrat politik (kekuasaan) cenderung kaku dan ekslusif, karena siapa saja yang tidak sejalan dengannya akan dinilai dengan berbagai stigma peyoratif, dari dianggap kurang Islami (tidak kaffah), munafik hingga kafir.
Karena jika Islam sebagai sebuah agama telah dijadikan sebagai ideologi, tafsir atasnya menjadi tunggal karena dimonopoli oleh sebuah kelompok (politik) tertentu, dan secara otomatis berusaha menegasi ideologi lain yang pada hakikatnya juga bersumber dari ajaran Islam.
Dalam sejarah Islam, di akhir riwayat pemerintahan Ali bin Abi Thalib, muncul kelompok khawarij, sebuah kelompok yang membaca Islam dengan korpus tertutup. Pada mulanya mereka yang tergabung di kelompok ini berada di pihak Ali, namun menyempal karena ketidaksetujuannya terhadap tahkim (arbitrase) antara Ali dan Muawiyah yang kala itu terlibat konflik politik berujung perang. Kelompok khawarij kemudian berbalik memerangi Ali dengan menggunakan legitimasi ayat suci. Hingga pada akhirnya Ali bin Abi Thalib terbunuh di tangan Abdurrahman bin Muljam, seorang militan-radikal dari kelompok khawarij.
Cara pembacaan terhadap Islam yang inklusif, sebenarnya telah lama diteladankan oleh para Ulama penyebar Islam di Nusantara, dimana wajah Islam mampu diterima oleh masyarakat lokal melalui cara-cara yang dialogis-negosiatif, bukan melalui penaklukkan politik lewat perang. Ajaran Islam dapat hadir, tumbuh dan berkembang seirama dengan gerak kebudayaan yang belangsung di tengah-tengah masyarakat, Islam dengan karakter yang mengakomodasi bukan justru menegasi.
Keterbukaan pandangan terhadap ajaran Islam, meniscayakan adanya upaya-upaya terus menerus untuk mengkaji, memahami dan menghayati Islam dalam konteks ruang dan waktu tertentu, dengan dimensi sosio-kultual yang terus berubah. Sehingga dalam konteks keindonesiaan, ia sangat dibutuhkan di tengah realitas (agama, suku, ras dan golongan) yang majemuk.
NU misalnya, sebagai sebuah komunitas (jama’ah) sekaligus organisasi (jam’iyyah) keagamaan-kemasyarakatan terbesar di republik ini, selalu berusaha mengembangkan cara pembacaan yang inklusif terhadap Islam. Dalam aspek pemikiran keislaman yang berbasis pada tradisi keilmuan pesantren yang sangat apresiatif terhadap mazhab fiqh yang empat (Maliki, Hanafi, Syafi’i, Hanbali), NU mengembangkan pola bermazhab tidak hanya secara qauli (mengikuti pendapat secara tekstual), tetapi juga secara manhaji (mengikuti metodologi yang digunakan oleh imam/ulama mazhab) dari masa ke masa, sehingga cenderung dinamis dan toleran dalam pemikiran dan sikap keagamaan.
M. Fadlan L Nasurung, Koordinator Jaringan GUSDURian Makassar