Islam dan Alangkah Beragamnya Pandangan Tentangnya

Islam dan Alangkah Beragamnya Pandangan Tentangnya

Islam dan Alangkah Beragamnya Pandangan Tentangnya

Islam itu satu dan kita semua tahu itu. Islam berasal dari dua sumber utama Al-Qur’an dan Hadis. Sebagai sumber tekstual dari ajaran Islam, keduanya senantiasa digali sebagai petunjuk (dalil naqli) untuk memahami Islam dengan segenap pedoman kehidupan yang dikandungnya.

Teks (nash) itu terbatas, sedangkan realitas, sebagai sesuatu yang terus berubah dalam konteks ruang dan waktu tak pernah berhenti, ia terus mengalami dinamika dalam sebuah masyarakat. Sehingga akal sebagai petunjuk (dalil aqli) memiliki posisi yang sangat penting dalam Islam, selain nash (dalil naqli). Hal inilah yang memungkinkan Islam sebagai agama yang satu, difahami dan maknai dengan beragam cara pandang oleh kaum muslim.

Keragaman pandangan tentang Islam, pada intinya disebabkan oleh perbedaan dalam mendudukkan nash (dalil naqli) dan akal (dalil aqli), hal itu kemudian menimbulkan perbedaan dalam memahami Al-Quran dan Hadis sebagai dua sumber teks (nash) utama dalam Islam. Perbedaan pemahaman terhadap nash, membuat perbedaan kesimpulan hukum terhadap sebuah kasus menjadi niscaya.

Corak Pemikiran

Wahyu sebagai sumber kebenaran mutlak, telah berhenti sejak wafatnya Rasulullah, yang sebelumnya ditandai oleh turunnya firman Allah terakhir yang berbunyi,”Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmaModeraoak telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. (QS. Al-Maidah: 3)”.

Berakhirnya sejarah wahyu, telah menjadi aksioma di kalangan ummat Islam. Sedang ayat di QS. Al-Maidah tersebut, menjadi salah satu sumber sebab perbedaan pandangan tentang Islam. Apakah makna kesempurnaan dalam ayat tersebut berarti seluruh aspek kehidupan telah diatur dalam Al-Quran dan Hadis, berikut segala rinciannya? Atau yang terdapat dalam Al-Quran dan Hadis hanyalah prinsip-prinsip (pokok) ajaran, sedangkan rinciannya diserahkan kepada ikhtiar ummat Islam melalui Ijtihad para Ulama.

Dalam sejarah Islam, setidaknya ada tiga golongan besar yang mewarnai corak pemikiran keislaman. Pertama golongan yang bercorak tekstual/literal, golongan ini umumnya meyakini bahwa Islam sebagai ajaran yang sempurna telah mengatur berbagai aspek kehidupan manusia, baik yang bersifat ritual-individual (mahdhah) maupun muamalah-sosial (ghairu mahdhah) secara rinci, sehingga menurut golongan ini tidak perlu lagi adanya penafsiran dan tambahan dalam agama Islam, karena Al-Quran dan Hadis telah mengatur semuanya.

Kedua, golongan yang bercorak liberal, golongan ini menempatkan akal sebagai alat utama untuk memahami ajaran Islam, sehingga tidak menaruh perhatian pada aspek-aspek tekstual dan cenderung mengabaikan aspek normatif yang telah menjadi konsensus ummat. Ketiga golongan moderat, golongan ini berupaya mencari titik temu antara kecenderungan tekstual yang mengandalkan nash dan kecenderungan liberal yang mengedepankan akal.

Misalnya, dalam memahami hukum Islam (fiqh), golongan moderat cenderung lebih dinamis, karena senantiasa mempertimbangkan illat (sebab adanya hukum) dan dimensi kemaslahatan yang berdasar pada maqasidus syariah (tujuan syariat). Golongan ini juga berpandangan bahwa dalam agama Islam terdapat aspek yang tetap (tsawabit) dan berubah (mutagayyirat). Pada aspek yang berubah itulah ijtihad para Ulama memiliki arti yang begitu penting.

Peran Ulama

Kini, di tengah-tengah ummat Islam sedang terjadi fenomena begitu mudahnya seseorang mengambil hukum secara langsung dari Al-Quran dan Hadis, tanpa memiliki basis Ilmu alat dan ilmu ushul. Padahal petunjuk (dalil) yang terdapat dalam Al-Quran maupun Hadis, tak bisa langsung dijadikan sebagai hukum, ia harus terlebih dahulu melalui istinbat (proses menarik kesimpulan) hukum oleh mereka yang otoritatif dalam kajian ilmu-ilmu keislaman, yaitu para Ulama.

Benar bahwa Nash (teks), ada yang qath’i (bermakna tunggal) ada yang zhanni (bermakna jamak), tapi bagaimana seseorang bisa langsung menarik kesimpulan (hukum) dari sana? Tentu harus merujuk pada pendapat ulama-ulama fiqh. Sebagaimana pandangan Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari (Pendiri NU) “Bahwasanya Al-Quran dan Hadis adalah pedoman dan rujukan bagi kaum muslimin, hal itu adalah benar adanya. Namun memahami Al-Quran dan Hadis tanpa mempertimbangkan pendapat para Ulama, adalah sulit atau bahkan tidak bisa”.

Nahdlatul Ulama (NU), sebagai salah satu kelompok yang memperjuangkan corak Islam moderat, dalam tradisi pemikiran keagamaannya, senantiasa menggunakan kaedah tahqiqul manath (verifikasi relevansi), yaitu senantiasa mempertimbangkan relevansi setiap pendapat keagamaan dengan kenyataan ruang (makan) dan waktu (zaman), dengan dimensi sosio-kultual yang terus berubah. Karena NU bermazhab tidak hanya secara qauli (mengikuti pendapat secara tekstual), tetapi juga secara manhaji (mengikut metodologi yang digunakan oleh imam/ulama mazhab) dari masa ke masa, sehingga cenderung dinamis dalam pemikiran dan sikap keagamaan.

Ketiga corak pemikiran keislaman di atas, masih menjadi mainstream di kalangan ummat Islam hingga kini dengan dinamika yang memungkinkan adanya perubahan-perubahan, baik perubahan yang terjadi secara internal di masing-masing golongan, maupun yang bersifat relasional -antar golongan-. Berangkat dari semua itu, keragaman pandangan yang terjadi karena perbedaan kerangka berfikir dalam memahami ajaran Islam, harus diterima. Dan karena kesimpulan hukum (fiqh) tak bisa dipaksakan sama, maka mendahulukan ahlak daripada fiqh, adalah sesuatu yang telah diteladankan oleh para Ulama sejak berabad-abad yang lalu.  []

Fadlan L Nasurung, Koordinator Jaringan GUSDURian Makassar