Dua hari yang lalu, saya menemukan sebuah kalimat yang menarik, tergores pada sebuah kaos oblong. Kalimat itu bertuliskan: “Islam baper, Akidah Puber”. Kutipan kaos itu menurut saya menggelitik. Marketable bagi emak-emak yang hobi jualan di olshop. Kemudian saya berfikir keras. Apa maksud dari tulisan itu? Pikir saya, Islam kok baper, Akidah kok puber.
Mungkin sebagian pembaca masih ada yang miss dengan kata ‘baper’ yang ngehit dewasa ini. Menurut khasanah Kamus Bahasa Anak Muda Indonesia (KBAMI), baper berarti “bawa perasaan”. Suka teriak-teriak dan melow tidak jelas, mempunyai rasa ketakutan yang akut (baca: fobia).
Bagaimana ketika ihwal itu muncul di dalam tubuh umat beragama? Yang mana umat beragama itu ketika baper, tiba-tiba marah, emosi, dan kesetanan, tetapi membawa simbol-simbol Islam. Jika mendapatkan berita tidak sedap, langsung main pukul tanpa tabayun (klarifikasi) dulu.
Misalnya begini, seperti kasus kemarin, ada diskusi tentang filsafat Islam di Riau, diskusi bedah buku Tan Malaka, Gerakan Kiri dan Revolusi Indonesia di Surabaya, dan diskusi film Pulau Buru Tanah Air Beta di Yogyakarta, semua diskusi itu, oleh ormas Islam yang baper, tanpa mendengarkan apa isi diskusi dan seperti isi pembicaraannya. Pilihannya ada dua: bubar atau amuk massa. Dan sangat sayang seribu sayang, mereka mengatasnamakan Islam.
Pertanyaan saya, kenapa ormas Islam yang tergolong mudah baperan ini begitu dibiarkan keberadaanya di negeri kita?
Tidak ada tindakan sama sekali dari aparat. Seakan negara lunglai tak berdaya ketika menghadapi ormas yang baperan ini. Bukankah konstitusi kita sudah menjamin—siapapun dia, boleh bersuara. Tidak ada dalilnya dalam melakukan pembubaran diskusi serta pemberangusan hak bersuara.
Silakan Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28E-nya dibuka kembali. Mereka mungkin sedang lupa. Ya sudah, saya yang mengingatkannya.
Di dalam pasal tersebut, pada ayat 2 dan 3 itu berbunyi begini: “(2) Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya. (3) Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.”
Kedua, tipikal ormas Islam baper adalah, segala sesuatu permasalahan: kebobrokan moral, tidak tegaknya hukum dan undang-undang, maraknya kasus korupsi,–itu semua, menurut ormas baper, solusinya hanya satu: Khilafah ‘ala manhaj nubuwah. Walaupun mereka suka teriak-teriak haram sistem demokrasi, tetapi doi masih intens dan bahkan tergolong ormas Islam yang paling gemar melakukan aksi di jalan-jalan. Bukankah demo yang mereka lakukan itu juga bagian dari demokrasi? Aneh bin ajaib, bukan? Menolak demokrasi tapi, sering demo. IQ? IQ? IQ?
Teman saya pun berujar, “Mungkin dia sedang baper kali ya, lha wong negara kita dari dulu ya begini, penuh dengan khilafiyyah (banyak sekali perbedaan), bukan khilafah. Seharusnya mereka itu hidup di sebuah pulau di mana gitu, dan kemudian dirikanlah itu sistem dan teriak-teriak Pulau Milik Allah.”
Subhanallah. Jaminan surga pasti. Karena di pulau yang nun jauh itu terbentuk khilafah. Pasti tidak akan ada lagi ideologi komunisme dan gerakan kiri. Apalagi orang-orang JIL yang pikirannya sudah jauh dari syariat Allah. Astaghfirullahal’adzim. Di pulau itu juga bisa bebas buat seminar dengan iming-iming surga. Apalagi pembicaranya adalah para ustadz yang sudah berhijrah. Subhanallah, pulau impian.
Di pulau itu, isu LGBT, gender, pluralisme, liberalisme, sekulerisme, yang Barat sentris itu gak bakalan masuk, bro. Boro-boro Banser yang setiap Natal jaga Gereja. Di kepulauan itu juga pemimpin kafir tidak akan bisa berkuasa di pilkada. Akan tetapi kalau sedang berkunjung dan nyumbang dana milyaran serta nasi bungkus, boleh sih. Asal, tidak menjabat pemimpin saja.
Di kepulauan yang nun jauh itu juga, misal ada orang yang menyeleweng dari syariat Islam, katakanlah sesat versi doi. Dengan secepat kilat, MUI di kepulauan itu, langsung ketok palu: Bubarkan! Tidak lama kemudian, masjid dan rumah orang yang dianggap sesat tadi langsung dibakar, warganya diusir. Tanpa dialog, tanpa klarifikasi. Karena orang yang sesat dianggapnya sudah melanggar hukum Allah.
Saya juga tidak tahu, yang dimaksud hukum Allah itu yang seperti apa. Allah-nya juga itu Allah orang Sunni atau Allah-nya orang Syiah. Karena Syiah menurut Islam baper itu juga bukan bagian dari Islam. Ternyata Allah hanya versi ormas baper saja. Orang lain tidak boleh memiliki Allah. Subhanallah sekali orang-orang yang seperti ini dan faktanya sampai sekarang masih bisa bernapas leluasa.
Tentu, di kepulauan itu suasananya sangat indah dan nyaman. Tidak ada orang Syiah, tidak ada orang Ahmadiyah, apalagi orang liberal jaringan remason, eh maksudnya freemason. Tiap hari selalu ada kajian halaqah, liqa’, serta bisa mendengarkan ceramah dari para ustadz. Duh, nikmat sekali punya usroh yang seperti itu. Apalagi kehidupan sekarang yang sudah berbasis android. Orang pintar dan ahli IT yang anti sistem kapitalis di kepulauan itu pasti akan menciptakan aplikasi Go Ustadz, Uber Ustadz, dan Grab Ustadz. Dengan mudahnya, jama’ah dimanjakan untuk bisa meniru apa yang sudah diajarkan oleh Rasulullah secara cepat dan tepat. Tentu versi ustadz Go-Go-Go tadi.
Jika demikian, akan banyak saudara kaum muslimin-muslimat berhijrah, yang dulu sewaktu SMA tidak berjilbab atau berhijab, kini, menjadi wanita yang salihah, dambaan para laki-laki jomblo saleh di sana. Dan saya tidak bisa membayangkan, jika pulau itu merupakan cerminan dan gambaran dari surga. Eh, maaf, bukan surga. Karena surga itu bahasa orang Hindu. Yang benar adalah “Jannah”.
Akidah Puber
Dewasa ini, saya mendapatkan info melalui grup di Whatsapp soal bahaya Kristen Ortodoks yang ajaran dan laku ibadahnya meniru umat Islam. Seperti shalat, bersuci, dan bacaan injilnya yang berbahasa Arab. Belum lagi simbol-simbol yang digunakan; sama persis dengan orang Islam (dalam info yang disebar itu). Tentu, saya yang awam dan alhamdulillah sadar media, tidak langsung percaya dengan berita sampah kek gitu.
Saat ini, media mana sih yang sering (bahkan paling banyak) memberitakan hoax, pembohongan publik? Silakan, pembaca googling saja. Maka dari itu, saya yang sadar media (ceileh), tidak langsung klik share, ucapkan amin, pada berita yang belum jelas tersebut. Verifikasi dan klarifikasi akan berita itu penting. Lebih baik dibaca dulu infonya, ditanya dari mana dia mendapatkan berita tersebut. Itulah tantangan kita hidup di zaman IT dan gadget seperti saat ini.
Al-Hujurat (49:6), Allah Swt memerintahkan kita betapa pentingnya klarifikasi berita. Di dalam ayat itu dijelaskan, yang kurang lebih artinya begini: “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.”
Ayat al-Qur’an begitu jelas menggambarkan dan memberikan kesadaran kepada kita semua betapa petingnya tabayun (klarifikasi). Jurnalis memang bisa salah dalam mengabarkan. Lebih parah lagi, kita yang tidak tahu apa-apa, belum klarifikasi data, dengan bodohnya membagikan berita tersebut. Makanya, saya pribadi agak sensi misalnya ada pemberitaan masjid dibakar, kaum muslimin di siksa, dan hal ihwal yang berbau kebencian dan kekerasan.
Isu-isu sensitif seperti di atas mudah sekali digoreng sama saudara kita yang akidahnya mengalami pubertas. Masa puber adalah remaja kisaran umur 8-15 tahun, yang tengah mengalami perubahan fisik. Bulu tipis kumisnya mulai tumbuh, suaranya agak membesar, dan juga area-area yang lain. Masa puber ini adalah masa seseorang ingin tahu segala hal. Dan bahayanya adalah ketika tidak ada kontrol dan pembimbing di dalamnya.
Bagaimana ketika hal itu masuk di dalam ranah agama? Pubertas akidah atau akidah yang mengalami masa puber pasti akan dengan secepat kilat men-judge sesat dan kafir. Dan dengan lugasnya, menyatakan waspada dan bahaya dengan info-info yang tidak jelas sumbernya, seperti Kristen Ortodoks tadi. Begitu juga ketika ada berita masjid dibakar dan hal-hal yang berbau kekerasan serta kebencian.
Wahai saudaraku yang dirahmati oleh Allah. Sebelum kalian memberikan berita kepada saudara kalian, alangkah baiknya dicek akan kebenarannya terlebih dahulu, sebelum kalian nanti menyesal. (HR. Annasher). Bukan hadis.
Saran saya kepada saudaraku semua, ana ukhibbuka fillah, bahwa jika kalian berpapasan dengan handai taulan, teman, sahabat, yang tengah mengalami masa pubertas akidah, sebaiknya disuruh belajar dulu yang rajin sebelum mengklaim orang lain. Sebelum melakukan judgement, penghakiman kepada sesama saudaranya sendiri.
Hidup ini sudah susah, jangan dibuat tambah susah lagi. Jangan banyak baper deh. []
Muhammad Autad An Nasher: Penulis ini aktif di Jaringan Gusdurian dan bisa disapa di akun twitter @autad.