Beberapa waktu yang lalu, dalam pelaksanaan tugas, saya mewawancarai seorang narapidana. klien saya itu merupakan seorang residivis, artinya orang yang sudah pernah melakukan tindak pidana sebelumnya. Dia menyatakan bahwa sulit untuk bisa diterima kembali oleh masyarakat. Masih banyak yang belum mau menerima. Memang faktanya cukup banyak kasus mantan narapidana yang mengalami hal seperti itu.
Sebelumnya pun saya pernah menjumpai narapidana yang serupa, awalnya terkena pidana Narkotika. Dia sangat kecanduan terhadap obat penenang. Pengadilan memutus dia harus mendekam di penjara. Untung dia masih mendapatkan pembinaan rehabilitasi di penjara. Sempat tertangani penyakit kecanduannya terhadap obat penenang. Namun ketika dia keluar dari penjara, stigma masyarakat membuatnya down.
Awalnya dia berusaha untuk tidak kecanduan lagi. Bahkan sudah berkomitmen dengan istri dan keluarganya. Tetapi karena tertekan dengan pandangan masyarakat membuat dia mengulanginya lagi bahkan melakukan tindak kriminal yang lain karena merasa sudah buruk reputasinya. Jadi sekalian berbuat buruk saja, begitu pemikirannya.
Terkait hal ini saya tidak membenarkan ataupun menyalahkan. Sikap yang diambil oleh Napi tersebut memang kurang tepat karena terkesan mudah menyalahkan keadaan. Padahal dia dianugerahi oleh Tuhan akal dan hati untuk memilah dan memilih mana yang baik dan buruk. Namun di sisi lain, saya pun tidak menyangkal bahwa stigma buruk terhadap ex-narapidana sudah mengakar kuat di masyarakat.
Sejak kecil kita selalu disuruh berkawan dengan orang-orang yang baik. Apabila ada anak-anak yang bandel pasti sudah diberi tanda dan diminta untuk menjauhi atau minimal jangan sering bergaul dengan mereka. Budaya kita sudah mendarah daging seperti itu. Orang bandel saja sudah dimarjinalkan, bagaimana yang ex-narapidana?
Memang menjadi suatu hal yang lumrah apabila masyarakat masih menaruh rasa waspada kepada para mantan narapidana, karena memang mereka telah menciderai sistem hidup dalam masyarakat. Namun ternyata sikap menjauhi tersebut malah membuat permasalahan yang lebih kompleks di kemudian hari. Ketika masyarakat enggan menerima kembali lalu bagaimana mereka dapat berubah menjadi lebih baik dari sebelumnya?
Menurut C. Djisman Samosir, dalam Penologi dan Pemasyarakatan (2016), sikap kurang menaruh perhatian terhadap bekas narapidana sesungguhnya patut disesalkan. Seharusnya masyarakat harus membuka diri kepada bekas narapidana dan tidak mengasingkan mereka dalam kegiatan sosial sehari-hari. Ketika masyarakat selalu berprasangka buruk, maka pada akhirnya akan mendorong bekas narapidana tersebut melakukan kejahatan kembali.
Padahal masyarakat kita mayoritas adalah umat muslim. Islam mengajarkan umatnya untuk selalu bergaul dengan baik kepada sesama, meskipun ia mantan narapidana. Bahkan seharusnya kita menjembatani mereka untuk mau berebenah menjadi manusia yang bisa lebih baik lagi.
Tuhan pun masih mau menerima taubatnya para mantan narapidana, lalu kita yang sesama manusia mengapa terkesan menjauhinya?
Frithjof Schuon (Muhammad Isa Nuruddin), seorang filsuf Muslim dari Swiss, menggolongkan Nabi Muhammad SAW bersama dengan Nabi Ibrahim dan Nabi Musa. Mereka nabi-nabi yang mengajarkan tentang Tuhan Yang Maha Esa dan pendekatan kepada-Nya melalui amal perbuatan yang baik, sehingga ajaran mereka disebut “ethical monothesime“. Bahkan Nabi Muhammad pun pernah menyampaikan pada para sahabatnya bahwa diutusnya beliau tidak lain hanya untuk menyempurnakan akhlak manusia (innama bu’istu li utammima makarimal akhlaq).
Maka tidak heran apabila beliau mewasiatkan kepada seluruh umatnya untuk senantiasa mengedepankan akhlak yang baik dalam pergaulan hidup sesama manusia. Dalam suatu potongan riwayat, Nabi bersabda ” …. Wa Kholiqi An-naas bi Khuluqin hasanin“. Artinya adalah pergaulilah seluruh manusia dengan akhlak yang baik.
Menurut para ulama kata manusia disini bermakna umum tanpa membedakan apa agamanya, sukunya, warna kulitnya, status sosialnya atau bahkan pilihan politiknya. Semua dipergauli secara baik, bahkan sekalipun ia seorang mantan narapidana.
Siapa tahu jika kita mau membuka diri untuk mereka dan menerima kembali serta memberi bimbingan, bukan tidak mungkin potensi untuk mengulangi kejahatan semakin berkurang ataupun menghilang. Meskipun sulit bukan berarti tidak mungkin. (AN)