Menara Kudus adalah peninggalan Sayid Ja’far Shodiq Azmat Khan, Waliyul ‘Ilmi yang lahir di Jerussalem 9 September 1400, dikenal dengan gelar Kanjeng Sunan Kudus (wafat 5 Mei 1550).
Bagi sebagian orang, apalagi yang bertempat tinggal nan jauh di seberang, berziarah ke Menara Kudus adalah keistimewaan. Kudus, kota yang tak bisa ditempuh barang sejengkal-dua, harus didatangi dengan perencanaan yang matang. Bahkan dipersiapkan setahun sebelumnya, dan kalau perlu dengan menabung terus-terusan.
Makanya, setelah kesampaian berziarah ke Menara Kudus, luapan bahagia tak ‘kan terkira, dan menghadap nJeng Sunan pun dengan penuh khidmat yang sangat luar biasa. Apalagi kehadirannya di Menara Kudus adalah kali pertama; seperti kerinduan sepasang kekasih yang akhirnya bertemu di kursi pelaminan. Dahsyatnya kelas berat.
Bagaimana sesampainya di Menara Kudus?
Jika Anda pernah sekali saja di sana, maka Anda akan melihat banyaknya warung-warung dan toko yang membelanjakan dagangan khas Menara. Di sana pun bertebaran para juru foto yang menyediakan jasanya kepada Anda. Pengemis duduk-duduk di sepanjang jalan menuju Menara. Bapak-bapak tukang ojek yang stenbe di pelataran parkir Menara.
Mereka itu semua adalah orang-orang yang tiap hari berada dekat dengan Menara Kudus, dekat dengan pusara Sunan Kudus, bahkan ngopi-ngopinya saja tiap malam itu di emperan Menara Kudus. Maka, para penjual akan lebih bahagia ketika dagangannya laris dibeli para peziarah; para juru foto akan lebih bahagia ketika banyak peziarah menyewa jasanya; para pengemis akan lebih bahagia ketika banyak sedekah para peziarah yang memenuhi kaleng mereka; dan para bapak tukang ojek akan lebih bahagia ketika bolak-balik mengantarkan peziarah sehari penuhnya.
Mereka sudah terbiasa dengan Menara Kudus, dan terbiasa “berkumpul” dengan Sunan Kudus. Berbeda dengan para peziarah, lebih-lebih jika kali pertama menginjakkan kaki di tanah Jerusalem-nya Jawa Tengah. Kalau sudah terbiasa, maka tidak kagetan. Tidak kagetan ini karena mereka tidak lagi amatiran. Perjumpaan mereka dengan spirit Menara Kudus sudah “profesional”.
Saya menghabiskan 10 tahun umur saya belakangan ini di pesantren. Sepertiga-nya saya habiskan di Ma’had Darul Ulum Kudus. Di Kudus Anda akan mengenal nama besar Al-Marhum KH. Basyir Jekulo. Beliau adalah pengasuh Pondok Pesantren Darul Falah sekaligus pemberi ijazah laku puasa tahunan bernama: Dala’il Khairat.
Saya pernah meminta ijazah Dala’il Quran kepada beliau. Hampir mirip dengan Dala’il Khairat, dalam Dala’il Quran saya diwajibkan berpuasa setahun penuh. Wiridan yang diberikan kepada saya adalah menghabiskan satu juz Al-Quran setiap harinya. Jadi selama sebulan akan khatam Quran satu kali, dan selesai khatam puasa akan mengkhatamkan Quran sebanyak 12 kali.
Dala`il adalah laku yang ketat. Harus dilakukan setahun penuh. Sekali bolong, maka hitungan puasa harus diulang dari awal. Tanpa kecuali.
Sewaktu saya kuliah di IAIN Kudus, banyak teman saya yang mengambil ijazah ini. Artinya, banyak yang berpuasa Dala’il Quran selama setahun penuh, atau jika diteruskan dengan Dala`il Khairat maka mereka sedang proses berpuasa minimal 2 tahun lebih. Meskipun berpuasa, mereka tetap kuliah secara rutin, mengambil praktikum, PPL-KKN, bimbingan skripsi, atau sekadar membaca-baca buku di perpustakaan untuk tugas makalah minggu depan. Meskipun sesekali kedapatan mengantuk, hampir dipastikan tidak ada yang membedakan mereka yang berpuasa Dala`il dengan yang tidak berpuasa kecuali satu hal: “Bau Mulut” (itupun jika berbicara di depan Anda. Kalau dia diam, atau agak jauh dari Anda, sama sekali tak ada beda.)
Di kampus mereka tidak melarang-larang mahasiswa lain, seperti saya, untuk makan camilan di depan mereka. Mereka tidak melarang-larang warung kampus untuk buka. Mereka pun tidak pernah berteriak di depan gedung rektorat untuk dihormati selama berpuasa. Mereka ini, bahkan saya menemukan santri yang sudah 5 tahun berpuasa tanpa henti, adalah orang-orang yang terbiasa dengan spirit berpuasa. Perjumpaan mereka dengan spirit “sekadar menahan lapar-dahaga” sudah lebih dari profesional. Tidak lagi amatiran.
Lain dari mereka ketika sudah Ramadan. Banyak yang tidak pernah berpuasa 11 bulan sebelumnya. Senin-Kamis pun enggak. Maka sekali saja hilal sudah nampak, level keislaman mereka ikut-ikutan nampak. Islam amatiran, kalau kata mendiang GusDur.