“Menjadi seorang difabel bukan suatu hal yang dikehendaki oleh saya ataupun yang lainnya. Begitu juga bagi orang tua, tidak ada yang menginginkan anaknya lahir ke dunia ini memiliki kekurangan secara fisik atau berkebutuhan khusus. Kita tidak ingin dikasihani. Yang kita inginkan adalah mendapatkan pengakuan yang sama dan mendapatkan akses yang sama sebagaimana manusia yang sehat dan normal pada umumnya”. (Catatan dari teman difabel)
Menjadi seorang difabel bukanlah pilihan yang diinginkan oleh difabel itu sendiri. Lebih dari itu, ia ingin menjadi manusia yang secara fisik lengkap dan sehat. Tanpa ada kekurangan yang melekat dalam tubuhnya. Namun kehadiran mereka di dunia ini cenderung masih mendapatkan stigma. Biasanya stigma ini muncul berawal dari lingkungan keluarga ataupun dari masyarakat sekitar dimana seorang difabel itu tinggal.
Islam sebagai agama yang penuh dengan cinta dan kasih sayang tidak lah mengajarkan kepada kita untuk mendiskriminasikan kelompok Difabel. Islam justru memberikan tuntunan supaya kita mendekati kelompok difabel ini sama-sama sebagai ciptaan Allah Swt. Seperti yang tertera dalam surat Abasa: “Dia bermuka masam dan dia berpaling saat datang kepadanya seorang buta”.
Surat ini diturunkan sebagai teguran oleh Allah Swt kepada Nabi Muhammad Saw supaya tidak bermuka masam kepada sahabat Abdulah bin Ummu Maktum yang mendatangi beliau ketika sedang berdakwah kepada kaum Quraisy. Sedangkan Nabi sendiri ketika itu kurang mengetahui tentang keberadaan sahabat Abdullah Ibn Ummu Maktum dalam keadaan tidak bisa melihat atau buta. Maka turunlah surat Abasa ini sebagai teguran agar tidak memalingkang wajah kepada kaum difabel.
Surat ini menjadi peringatan yang jelas bagi kita semua agar keberadaan kelompok difabel tidak kita jauhi. Baik dalam artian menjauhi secara pergaulan maupun dijauhkan dari kebijakan yang adil terhadap kelompok difabel.
Islam lahir dengan semangat Kasih sayang kepada sesama umat manusia tanpa membeda-bedakan satu dengan yang lainnya. Kehadiran Islam sesungguhnya ingin memberikan pemahaman kepada kita semua, bahwa semua manusia memiliki derajat yang sama di hadapan Tuhan. Baik itu manusia yang secara fisik lengkap ataupun yang memiliki keterbatasan. Yang membedakan manusia di hadapan Tuhan adalah sifat dan perilaku sebagai cermin ketaqwaannya kepada Allah yang memiliki sifat kasih sayang kepada seluruh alam.
Agama Islam sendiri akan selalu hidup, jika umat Islam itu sendiri tidak mendiskriminasikan kelompok difabel. Apabila manusia sudah memperhatikan kelompok difabel, maka sesungguhnya dirinya telah menjalankan bagian dari ajaran-ajaran Islam.
Bahkan seorang ulama pengarang kitab Bajuri, sebuah kitab yang biasa diajarkan di pesantren-pesantren, menjelaskan dalam bab Pajak bahwa seorang pemimpin tidak boleh menarik pajak secara penuh kepada orang tua yang memiliki anak berkebutuhan khusus. Ibn Qosim memberikan masukan agar Pemimpin hanya boleh menarik separuh pajak dari jumlah pajak yang dimiliki oleh orang tua dari anak difabel.
Begitupun persoalan difabel sampai hari ini masih dianggap oleh sebagian masyarakat sebagai sosok manusia yang terbatas, tidak memiliki peran sebagaimana yang lainnya. Meski di lain pihak, ada beberapa difabel yang mampu keluar dengan potensinya sebagai seorang Pemimpin atau dengan potensi-potensi lain yang dimilikinya. Sebut saja K.H. Abdurrahman Wahid, seorang kyai dan juga presiden RI ke -4 yang mampu melewati semua keterbatasan yang dimilikinya (tidak melihat) untuk tetap menjalankan fungsi kemanusiaan. Dengan semangat nilai-nilai Islam yang sudah ia peroleh, K.H. Abdurahman Wahid dalam hidupnya tidak pernah lepas dari bentuk pembelaan terhadap kaum yang lemah. Baik lemah secara fisik, maupun lemah dalam memperoleh akses sebagai hak warga negara Indonesia.
Jadi, Agama Islam adalah agama yang dengannya menjadi sebuah semangat bagi umatnya untuk tidak lagi mengucilkan ataupun melemahkan kelompok difabel dari kebijakan negara yang meyakini adanya keberadaan Tuhan Yang Maha Esa.