Pada tahun-tahun 50-an dan 60-an, di Mesir terjadi perdebatan sengit tentang bahasa dan sastra arab, antara para eksponen modernisasi dan eksponen tradisionalisasi. Dr. Thoha Husein, salah seorang tuna netra yang pernah menjabat menteri pendidikan dan pengajaran serta pelopor modernisasi, menganggap bahasa dan sastra arab harus mengalami modernisasi, jika diinginkan ia dapat menjadi wahana bagi perubahan-perubahan sosial di jaman modern ini. Ia menganggap bahasa dan sastra arab yang digunakan secara klise oleh sajak-sajak puja (al-madh) seperti bahasa yang digunakan dalam dziba’iyyah dan al-barzanji sebagai dekadensi bahasa yang justru akan memperkuat tradisionalisme dan menentang pembaharuan. Dari pendapat ini dan dari tangan Dr. Thoha Husein, lahirlah para pembaharu sastra dan bahasa arab yang kita kenal sekarang ini.
Nama-nama terkenal seperti Syauqi Dhaif dan Suhair Al-Qalamawi muncul sebagai bintang-bintang gemerlapan dalam perbincangan mengenai pembaharuan bahasa dan sastra arab. Sejak masa itu, munculah madzhab baru bahasa arab, yang dirasakan oleh mereka sebagai pendorong dinamika dan perubahan sosial. Bahasa dan sastra arab dari masa lampau, yang lebih berbau agama dikesampingkan oleh kebangkitan kembali bahasa dan sastra arab masa pra-Islam (‘asr al-jahiliyah).
Dalam pandangan ini, produk-produk dekaden harus dikesampingkan, guna memberi jalan kepada proses modernisasi bahasa dan sastra arab. Ini merupakan reaksi terhadap paham serba agama yang merajai Timur Tengah sebelum itu. Sejalan dengaan tumbuhnya nasionalisme arab (al-qawmiyyah al-arabiyyah, yang kala itu menjadi pikiran dominan di kalangan para pemikir arab. Dengan demikian, tradisionalisme yang dibawakan agama, dianggap sebagai penghalang bagi munculnya kecenderungan baru tersebut. Karena sifatnya yang intelektual, pandangan ini tidak langsung diikuti oleh rakyat kebanyakan. Halnya menjadi pemikiran elitis dari kaum cendekiawan di negeri-negeri arab selama dua puluh lima tahun.
*****
Di negeri kita, kemunculan kelompok nasionalis itu juga berkembang, namun tidak dengan sikap memandang rendah tradisionalisme yang dibawakan oleh agama. Namun ada persamaan, antara pandangan elitis anti-tradisionalisme bahasa dan sastra arab di kalangan banga-bangsa arab, dan elitisme kaum cendekiawan yang tidak menyentuh pikiran-pikiran rakyat awam di negeri tersebut. Dengan demikian, agama dengan tradisionalisme-nya tidak dipersalahkan jika menghambat kemajuan. Mungkin ini disebabkan oleh kekuatan politik organisasi tradisional agama, seperti NU. Tradisionalisme agama yang dibawakannya justru menyatu dengan kaum nasionalis, karena kedua-duanya harus berhadapan dengan modernisme non-idiologis yang datang dari barat, dalam berbagai bentuk. Yang terpenting diantaranya adalah pragmatisme yang dibawakan oleh paham tehnokrasi, yang dipermukaan berarti penyerahan diri secara total kepada sistem nilai yang dimiliki orang-orang barat.
Modernisasi dianggap sebagai pengikisan tradisionalisme agama dan rasa kebangsaan kaum nasionalis. Tidak heran, jika yang muncul dipermukaan adalah manifestasi tradisionalisme agama itu sendiri. Digabungkan dengan semangat nasionalisme yang mengagungkan kejayaan masa lampau, kedua kecenderungan itu menampilkan tradisionalismenya sendiri: anti-barat, anti penuhnya rasionalisme dan penghormatan berlebihan kepada masa lampau. Kalau hal ini diingat benar, dengan sendirinya kita lalu dapat melihat kedangkalan pendekatan tradisional tersebut, dan mengembalikan pertimbangan-pertimbangan rasio ke tempatnya semula.
Manifestasi budaya dari munculnya kembali tradisionalisme agama itu, seperti terlihat dalam blantika musik kita dewasa ini. Musik arab tradisional dengan enam belas birama (bahr, pluralnya buhur) seperti yang ada dalam sajak-sajak arab tradisional yang hampir seluruhnya di dominasi sajak-sajak keagamaan, muncul sebagai “wakil agama” dalam blantika musik kita dewasa ini. Pembaharuan bahasa dan sastra nasional, yang dirintis Sutan Takdir Ali Syahbana tidak sampai menyentuh akar tradisionalisme agama itu dan sebagai akibatnya kita melihat sebuah penampilan yang lucu: bahasa dan sastra nasional yang diperbaharui dan berwatak kontemporer dan –pada saat yang sama, menampilkan tradisionalisme agama
*****
Dengan memperhatikan kenyataan di atas, kita sampai kepada sebuah pertanyaan yang fundamental: haruskah kehidupan beragama kita semata-semata berwatak tradisional dan adakah penggunaan rasio dalam menyegarkan kembali tradisionalisme agama itu dianggap sebagai “bahaya”? Pertanyaan ini patut dipikirkan jawabannya secara mendalam, karena percampuran antara semangat kebangsaan kaum nasionalis dan tradisionalisme agama hanya membawa hasil positif di bidang politik belaka, bukannya di bidang budaya dan bahasa. Tradisionalisme agama tidak menyukai idiologi-agama dalam kehidupan bernegara, seperti terbukti dari penolakan atas Piagam Jakarta.
Kehidupan beragama kita, yang dengan sendirinya membawakan aspek kebudayaan dalam kebudayaan kita, bagaimanapun juga haruslah berwatak rasional. Apa yang dikemukakan A.A. Navis dalam cerpen “Robohnya Surau Kami” adalah rasionalitas kehidupan beragama yang kita perlukan, bukannya sesuatu yang harus ditakuti. Ini tidak berarti memandang rendah tradisionalisme agama, karena elemen-elemen positif dan rasional dari tradisionalisme itu sendiri harus kita teruskan. Tetapi unsur-unsur irrasional yang akan menghambat pem-fungsi-an tradisionalisme itu sendiri haruslah diganti dengan nilai-nilai rasional yang akan menjamin kelangsungan tradisionalisme agama itu sendiri. Sama halnya dengan kontra-reformasi yang dijalani oleh gereja Katholik Roma, yang diperlukan untuk menjamin kelangsungan hidup tradisionalisme agamanya. Penggunaan gamelan di satu sisi –misalnya, dan musik hardrock serta rap di sisi lain, sama-sama rasionalnya dalam penyampaian pesan-pesan gerejawi melalui misa dan sebagainya.
Dengan demikian, revitalisasi tradisionalisme agama sangat diperlukan, dalam bentuk memasukkan unsur-unsur rasional ke dalamnya, hingga tradisionalisme agama itu sendiri dapat dirasakan sebagai kebutuhan baik di kalangan elitis yang diwakili para cendekiawan, maupun rakyat jelata yang mengembangkan tradisionalisme agama populis. Di sinilah terletak tantangan yang dihadapi Islam di negeri kita, dengan penduduk muslimnya yang berjumlah lebih dari 170 juta jiwa. Masalahnya sekarang, bagaimana mengembangkan modernisme agama dan tradisionalisme agama yang serba rasional, dan menghindarkan agar keduanya tidak bertubrukan secara praktis. Dapatkah kaum muslimin di negeri ini mencapai hal itu?
Sumber: Kompas