Hanya dengan diam menyimak sambil menikmati kopi dan kretek pun, saya merasa seperti lulus sekolah Doktor karena obrolan pagi dua saudara saya yang kelewat dalam. Entah dari mana mulanya, sepagi itu, mereka sudah ngrembug persoalan yang, jujur saja, meskipun dijalani sehari-hari tapi jarang saya pikirkan.
Keduanya tampak tenang, memulai obrolan di suatu pagi setelah sedulur yang lebih muda berselancar di twitter dan mendapati trending soal Abu Janda yang menuduh Islam adalah agama arogan. Sekilas wajahnya tampak tegang, barangkali marah. Tapi akal sehat masih bisa mengontrol dirinya untuk tidak berbuat aneh-aneh.
“Gimana ya.. Islam kok bisa dibilang arogan?”, seloroh sedulur satu memecah keheningan ‘muhasabah’ khas bapak-bapak yang meskipun sedang kumpul bersama namun lebih sering tenggelam dalam pikiran masing-masing.
“Kamu marah?”, timpal sedulur dua yang baru menjawab setelah tiupan asap kreteknya habis.
Saya diam, sengaja tak melempar tanggapan untuk memberi ruang keduanya memasuki arena diskusi. Lagian mendoan anget yang kadung saya gigit terlalu nikmat untuk buru-buru saya telan.
Sedulur satu menjelaskan dengan tenang, “Islam adalah mekanisme. Islam bukan institusi, bukan lembaga, bukan kelompok, apalagi sekadar identitas. Gimana caranya sebuah mekanisme, cara, atau prosedur bisa memiliki sifat sombong? Ya ndak mungkin to?!”
“Mekanisme apa to, Mas?” otak pendek saya tak sabar menyela. Sedulur dua tampak sebentar melirikkan pandangan pada saya, lantas kembali menghisap kreteknya.
“Islam adalah mekanisme kepatuhan, ketundukan, atau…mmm..semacam keberserahdirian,” tampak sedulur satu mencoba mencari-cari penjelasan agar mudah saya cerna.
“Agama dibuat oleh Allah dalam rangka supaya makhlukNya, termasuk kita ini, bisa sampai lagi kepadaNya. Agama ibarat jalan tol menuju Allah; paling dekat, lengang, dan cepat, ketimbang harus bingung kesana kemari tanpa arah malah nyasar. Jadi tanpa Alloh kasih tahu, boro-boro menuju Alloh, kenal aja tidak. Yo ra?”
“Lha terus?”, saya belum puas.
Saya menoleh karena tiba-tiba sedulur dua nimbrung, “Ya Islam itulah cara untuk menempuh jalan tol tadi. Mekanisme jalan menujuNya dengan patuh dan berserah diri atau menghamba pada Allah.”
“Islam adalah keberserahdirian: mengakui bahwa Alloh adalah Tuhan, dan kita adalah hambaNya. Dari sana, akan timbul bermacam konsekuensi, seperti umpamanya, menjalani apa yang diperintah dan menjauhi apa yang dilarang. Ultimate-nya ya supaya selamat sampai pada Allah lagi.”
“Yoi, bener banget!”, ringkas sedulur satu.
Ia melanjutkan, “Itu yang sekarang populer disebut dengan taqwa. Allah memberi syari’at berupa rambu-rambu, metode, cara kerja, atau prosedur-prosedur yang terlihat administratif dan birokratis tapi toh itu semua adalah mekanisme agar proses menuju selamat mudah dijalani. Taqwa adalah kewaspadaan dalam menempuh perjalanan dengan mengikuti semua rambu-rambu tadi. Tapiii..ini berarti juga agama bukan cuma rambu-rambu dan marka jalan saja.”
Sedulur dua saya langsung nyaut, “Setuju! Islam jelas bukan cuma perkara sholat, hijab, halal-haram, dan semacamnya, tapi seluruh mekanisme kehidupan yang berjalan dalam kepatuhan pada sunatulloh, berarti bagian juga dari mekanisme Islam. Itulah kenapa alam semesta, matahari, bintang, rembulan, yang semuanya juga adalah makhlukNya, datang sujud patuh padaNya.”
“Orang yang memahami Islam secara holistik seperti ini akan luas dan luwes menghadapi hidup karena baginya, peribadatan jelas bukan cuma urusan masjid, melainkan seluruh hidupnya adalah ibadah. Penghambaan kan bisa dimana saja, kapan saja, melalui apa saja.”
Sampai di titik ini saya sadar diri bahwa memang lebih baik saya diam untuk lebih banyak mencerna daripada banyak bertanya yang malah bikin kepala puyeng.
“Hanya ya itu tadi, jangankan terhadap Islam, pandangan umum manusia pada agama saja masih meleset. Dikiranya agama sekadar ajaran, nasehat-nasehat bijak, atau mungkin malah sekadar aliran, atau lebih cemen lagi, agama diartikan sebagai identitas, atau terkait dengan personalitas. Sehingga ia bisa dituduh sombong atau semacamnya. Logikane piyeee??..”
Sigap saya selamatkan mendoan terakhir di piring, sebelum diremet sedulur saya yang mulai tampak jengkel.