Munculnya ISIS di panggung teologiko-politik dunia menggemparkan banyak pengamat. Terutama respon dari kalangan Arab Saudi. Arti penting dari tanggapan Arab Saudi ini terletak dalam kebersinggungan ideologis antara Arab Saudi dan ISIS. Keduanya sama-sama mengusung satu teologi puritanistik, dapat dikatakan pula keduanya iaah penerus perjuangan Wahhabi. Tetapi, keduanya berbeda di beberapa poin tertentu.
Kampanye ISIS yang menjadikan kekerasan sebagai unsur niscaya, seolah-olah tidak ditanggapi secara serius oleh pemerintah Arab Saudi. Namun, sikap dari pemerintah Arab Saudi seolah-olah tidak menyadari bahaya dari pendekatan politik ISIS seperti ini. Para warga di Arab Saudi, secara umum terbagi menjadi dua kubu. Yang satu adalah kubu yang mendukung perjuangan ISIS menyucikan “Islam” dari segala macam bid’ah; ISIS menyerukan politik takfiri yang sama seperti Wahhabi, dengan menganggap islam versi mereka adalah satu-satunya kebenaran.
Dalam peta teologi-politik saat ini, lawan besar dari Arab Saudi dalam Islam ialah Syi’ah Iran. Tidak heran, pihak yang mendukung ISIS adalah mereka yang beranggapan bahwa ISIS secara langsung atau tidak langsung membantu mereka menaklukkan Syi’ah Iran, atau setidaknya menunjukkan suatu kekuatan yang mengancam. Arab Saudi jelas ialah penerus Wahhabisme secara monarkis, itulah kenapa dari sudut pandang ini, ISIS dan Arab Saudi memiliki satu musuh bersama.
Pendirian kedua dari kalangan Saudi adalah mereka yang merasa takut akan kehadiran ISIS. Mereka yang mengingat masa lalu yang terjadi, suatu pemberontakan di mana raja mereka dikudeta oleh gerakan “Ikhwan” Wahhabi. Kalangan ini menganggap respon Arab Saudi yang tidak tegas dan ambivalen terhadap ISIS adalah suatu bahaya. Mereka berharap pemerintah mempersiapkan diri untuk menghadapi ancaman ini, Karena mereka tahu bahwa ada perbedaan principal antara ISIS dan Saudi, yang bisa menjadi alasan ISIS menyerang mereka. Ini adalah prinsip “Satu Penguasa, Satu Kekuasaan/Satu Perintah, Satu Masjid” (One Ruler, One Authority, One Mosque).
Sikap elit berkuasa Arab Saudi speerti ini hanya dapat dipahami, jika kita melihat sejarah Wahabisme di Arab. Sikap yang ambivalen ini memang suda berakar dalam dualitas para elit; sebagaimana rakyat Arab secara umum terbagi menjadi dua kubu; pendukung dan penentang ISIS. Elit berkuasa juga memiliki kesadaran yang dualis dalam sikapnya terhadap ISIS.
Di satu sisi, ISIS sama-sama memiliki semangat Wahhabisme yang mereka sendiri kampanyekan. Sikap seperti ini dicerminkan oleh sejarah kerjasama antara ‘ibn Saud dan Muhammad ‘ibn Abd al-Wahhab. Di sisi lain, terdapat suatu pendirian yang menundukkan ultra-radikalisme Wahhabi, yang ditunjukkan oleh Abd al-Aziz sebagai politik diplomasi multilateralnya.
Jadi, bisa disimpulkan bahwa, elit Arab Saudi memiliki dua contoh dari Wahhabisme, Wahhabisme generasi pertama, yang diwakili kampanye teologis ‘Abd al-Wahab melalui gerakan politis ‘ibn Saud, serta generasi kedua yang dilambangkan oleh Abd al-Aziz dengan menundukkan gerakan Wahhabisme yang mengusung kekerasan fisik menjadi suatu gerakan budaya.
Keputusan mengubah arah gerakan Wahhabisme ini adalah Karena ditemukannya minyak sebagai komoditas yang begitu besar. Kesadaran ekonomi-politik ‘Abd al-Aziz melihat ini sebagai kesempatannya secara politis dan teologis. Dengan modal kekayaan dari tambang minyak, ia bisa melakukan kerja sama ekonomi global dengan satu misi teologi khusus, yakni mendakwahkan Wahhabisme secara budaya.
Perubahan arah gerakan teologi-politik inilah salah satu factor yang menyebabkan kemunculan gerakan ISIS di Irak. Menurut mereka, gerakan pemurnian Islam tidaklah bisa dilakukan hanya dengan kampanye budaya seperti Saudi sekarang ini, namun dengan gerakan politik besar seperti semangat gerakan “Ikhwan” Wahhabi saat itu, jika pemerintah Wahhabi telah menjadikan Wahhabi hanya menjadi institusi yang diam dan konformis, maka tindakan harus dilakukan untuk mengembalikan semangat Wahhabisme generasi pertama.
Dari sini, terlihat bahwa perbedaan dari ISIS dan Saudi adalah perbedaan antara dua anak dengan satu ayah. Mereka memiliki semangat puritanisme Wahhabi, tetapi mewujudkannya dalam gerakan yang berbeda. Di satu sisi, terdapat ISIS yang memiliki idealism tinggi dengan politik anti kompromi dengan barat, atau mereka yang menentang semangat puritanistik ini. Di sisi lain, terdapat Saudi Arabia yang bersikap lebih kompromistik dan pragmatis dalam berteologi.
Apa yang dapat kita simpulkan dari sini, ialah bahwa hubungan antara ISIS dan Saudi Arabia ialah hubungan sejarah, politik, ekonomi, dan teologi. Perbedaan keduanya terdapat dalam sikapnya memilih ideal gerakan puritanistik, dapat kita sebut sebagai puritanisme teologi-politik, dan puritanisme teologi-kultural. Mereka terbagi menjadi perwakilan dari dua fase historis yang berbeda. Mereka merespon politik global dengan cara yang berbeda pula.
Jelas sudah apa yang menjadi penyebab sikap elit berkuasa Arab Saudi yang ambivalen terhadap gerakan politik ISIS. Karena ISIS memiliki persamaan sekaligus perbedaan dengan Arab Saudi.
Nampaknya, dari segi sikap, justru lebih jelas sikap politik ISIS terhadap Arab Saudi, dengan menolak keabsahan Raja Arab sebagai sumber otoritas umat Islam, mereka jelas-jelas menjadikan Arab sebagai musuh politik mereka. Adapun, secara teologis, Karena bersumber dari akar teologis yang sama, Saudi dan ISIS sama-sama menganggap mazhab Islam lain sebagai yang tidak murni sehingga pemahaman teologis mereka harus dimurnikan. []
Disarikan dari tulisan di Huffington post bertajuk You Can’t Understand ISIS If You Don’t Know the History of Wahhabism in Saudi Arabia