Dalam mistisisme Islam (tasawuf), sosok Isa al-Masih adalah teladan bagi orang-orang yang hendak mendekatkan diri kepada Allah (as-salik). Untuk sampai pada puncak spiritualitas, seorang salik harus melewati beberapa maqam atau terminal spiritual (al-maqamat) seperti taubat, zuhud, sabar, tawakkal dan yang lainnya.
Dalam literatur sufi, Isa Al-Masih diilustrasikan sebagai orang yang berhasil mendaki puncak spiritualitas tertinggi, dan dalam waktu bersamaan selalu bersama dan memihak kepada orang-orang miskin. Keberpihakannya terhadap kaum duafa ini diinformasikan sudah menjadi tabiat yang diberikan Allah kepadanya.
Wahb bin Munabbih (w. 110 H), seorang Yahudi yang masuk Islam, menceritakan, bahwa Allah telah memberikan wahyu kepada Isa a.s. yang berisi:
يَا عِيسَى، إِنِّي قَدْ وَهَبْتُ لَكَ حُبَّ الْمَسَاكِينِ، وَرَحْمَتَهُمْ؛ تُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَكَ، وَيَرْضَوْنَ بِكَ إِمَامًا وَقَائِدًا، وَتَرْضَى بِهِمْ صَحَابَةً وَتَبَعًا، وَهُمَا خُلُقَانِ، اعْلَمْ أَنَّهُ مَنْ لَقِيَنِي بِهِمَا، لَقِيَنِي بِأَزْكَى الْأَعْمَالِ، وَأَحَبِّهَا إِلَيَّ
“Wahai Isa, Aku telah memberikan kepadamu rasa cinta dan kasih sayang kepada orang-orang miskin. Engkau mencintai mereka, dan mereka mencintaimu. Mereka rela engkau menjadi pemimpin dan penuntun hidupnya, dan engkau juga menerima mereka sebagai sahabat dan pengikut setiamu. Kedua sikap tersebut adalah budi pekerti yang baik. Ketahuilah, barang siapa bertemu pada-Ku dengan membawa dua budi pekerti itu maka ia bertemu pada-Ku dengan sejernih-jernihnya perbuatan, serta sebaik-baiknya perbuatan yang paling menyenangkan-Ku.” (Ahmad bin Hanbal, 1999: 1).
Pemberian Allah kepada Isa berupa mencintai orang-orang miskin dan menjadi pemimpinnya bisa dipahami bahwa kejernihan batin dapat menjadikan perasaan semakin peka terhadap penderitaan manusia. Karenanya, dalam perspektif tasawuf, orang yang semakin tinggi spiritualitasnya maka akan semakin jernih dan sarat belas kasih dalam memandang sesama.
Keberpihakan Isa terhadap kaum duafa bukan tanpa tantangan. Dalam perjalanan hidupnya ia selalu menghadapi badai protes dan kecaman sebagaimana lumrah terjadi di kalangan para rasul Allah lainnya yang memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan.
Bagi Isa, kecaman yang merugikan dirinya dalam hal-hal yang bersifat duniawi bukan menjadi hal yang penting. Karena mencintai kaum duafa bagian dari perintah Allah yang bersifat ukhrawi, sedangkan dampak kerugian-kerugiannya bersifat duniawi. Baginya, jika harus memberhentikan cintanya pada kaum duafa demi mendapatkan keuntungan duniawi, maka tidak lebih dari “menuhankan” dunia. Dan ini hal yang dilarang.
Kepada para pengikutnya, Isa al-Masih mengatakan:
“Janganlah engkau menuhankan dunia. Jika engkau menjadikan dunia sebagai tuhan, maka engkau akan dijadikan budak olehnya. Simpanlah tabungan kalian di sisi Dzat yang tidak akan menyia-nyiakannya. Orang yang memiliki tabungan dunia maka akan takut berkurang atau rusak. Sedangkan orang yang punya tabungan akhirat maka tidak akan takut terjadi kerusakan.” (Al-Ghazali, 2004: III, 259).
Itulah sepenggal kisah dan nasihat Isa al-Masih dalam tradisi Islam yang banyak dijumpai di dalam literatur tasawuf, seperti dalam kitab Ihya` ‘Ulumiddîn karya Al-Ghazali, Az-Zuhd karya Ahmad bin Hanbal, dan buku tasawuf lainnya. Kisah-kisah Isa a.s dalam khazanah Islam banyak yang sama dengan kisah-kisahnya dalam Kitab Injil meski dengan redaksi berbeda. Besar kemungkinan, para sarjana Islam masa lampau memang mengambil atau minimal terinspirasi darinya.