Palestina kembali bergejolak. Secara sepihak, Donald Trump mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel dan akan merelokasi kedutaan besarnya ke kota suci itu. Kebijakan Trump menuai penolakan dan perlawanan. Dunia Islam dan masyarakat internasional bereaksi keras. Beberapa pemimpin negara mengecam, termasuk juga warga Amerika sendiri.
Bagi umat Islam, hal ini merupakan bentuk penghinaan yang luar biasa, mengingat posisi spesial Yerussalem dan keberadaan Masjid Al Aqsha yang secara historis menjadi kiblat pertama sebelum Ka’bah di Makkah.
Sebelumnya AS cenderung kucing-kucingan dengan Israel, maka manuver Trump semakin membuka kedok bahwa telah terjadi persekongkolan jahat antara AS dan Israel. Menariknya, Arab Saudi justru memberikan dukungan pada Trump. Kabarnya, sebagai solusi perdamaian, Saudi menawarkan Abu Dis kota dekat Jerussalem Timur sebagai ibu kota pengganti Palestina.
Ini bukan kali pertama Trump melakukan tindakan gegabah dan merugikan umat Islam. Sesaat setelah dilantik, ia mengumumkan larangan memasuki AS bagi imigran dari tujuh negara mayoritas muslim, yakni Irak, Suriah, Iran, Sudan, Libya, Somalia dan Yaman. Sebuah paradoks bagi negara yang selalu berkoar anti diskriminasi, cinta damai, dan menjamin kebebasan hak asasi manusia.
Manuver politik Trump tidak hanya melanggar HAM dan Resolusi Dewan Keamanan PBB, tetapi juga menciptakan teror baru bagi rakyat Palestina. Sebagai sekutu AS, Israel seakan mendapat pembenaran untuk mengintimidasi dan melakukan tindakan represif bagi siapapun yang menentang kekuasaan Israel. Sangat dikhawatirkan ini dapat menjadi legitimasi untuk melakukan penindasan kaum minoritas di belahan dunia lain. Jika AS saja berlaku demikian, maka pihak lain sah-sah saja menirunya.
Dalam catatan sejarah, konflik Palestina-Israel sejatinya telah berlangsung sejak jaman Al Kitab, kekaisaran Romawi, hingga perang salib. Di abad 20 ini, konflik lebih banyak seputar nasionalisme, antisemit, perebutan wilayah, hingga isu agama. Pemicu konflik tidak terlepas dari intervensi barat pasca perang dunia II. Kala itu, Inggris yang tengah menjajah Palestina merestui berdirinya negara Yahudi di tanah Palestina pada 2 November 1917. Restu ini sebagai bentuk simpati terhadap pembantaian dan pengusiran kaum yahudi di Eropa oleh Nazi Jerman.
Pasca deklarasi negara Israel, muncul konflik antara bangsa Arab dengan Yahudi. Dimulai dari perang enam hari Arab-Israel 1948, dilanjutkan dengan perang 1967 dan perang Yom Kippur 1973. Efeknya, wilayah Palestina sedikit demi sedikit dicaplok oleh Israel. Represi Israel terus berlanjut dengan pembangunan tapal batas dan blokade perbatasan, termasuk juga aksi-aksi provokatif melalui Masjidil Aqsha.
Perlawanan demi perlawanan tidak pernah membuahkan hasil, termasuk gerakan Intifadah pertama (1987-1993) dan Intifadah kedua (2008-2015). Upaya diplomasi dari masa Yasser Arafat hingga Mahmoud Abbas selalu membentur tembok terjal, demikian pula diplomasi yang diupayakan oleh negara lain untuk Palestina. Di tengah upaya diplomasi, tidak jarang terjadi insiden bersenjata di Jalur Gaza dan Tepi Barat. Kekuatan yang tidak seimbang menyebabkan korban nyawa dari rakyat Palestina terus berjatuhan.
Diplomasi Indonesia untuk Palestina
Pemerintah Indonesia secara konsisten membangun upaya diplomasi untuk kemerdekaan Palestina sejak jaman Presiden Soekarno. Saat ini, presiden Jokowi melalui Menlu Retno Marsudi bergerak cepat, berpacu dengan waktu. Kabarnya, menlu menggandeng Yordania, Turki, dan Belgia untuk memperkuat diplomasinya dan mendorong negara-negara Organisasi Konferensi Islam (OKI) untuk serius memikirkan nasib Palestina. Langkah taktis Jokowi ini patut diapresiasi, mengingat kritikan tajam kepada Presiden selama ini yang kerap dianggap tidak memihak kelompok Islam.
Dalam rangka membantu pemerintah, PBNU secara organisasi terus aktif lahir batin bergerak dan menyuarakan perdamaian dan kemerdekaan Palestina. Pada tahun 1938 KH Mahfudz Siddiq, ketua PBNU menggalang aksi solidaritas dan penggalangan dana besar-besaran untuk Palestina. Di tahun 1969, KH Muhammad Ilyas, mantan menteri agama RI, dubes untuk Arab Saudi yang menggerakkan KTT Islam di Rabat, Maroko. Kiai Ilyas dianggap sebagai penggerak utama kepedulian terhadap Palestina dan menjadi singa podium di konferensi tersebut.
Di era Gus Dur, aksi solidaritas digelar melalui aksi Malam Solidaritas Palestina (1982), menghadiri penandatanganan perdamaian Yordania dan Israel (1994), dan kunjungan resmi sebagai presiden maupun tidak resmi sebagai PBNU ke Timur Tengah dan Palestina (2000) serta kunjungan dan pidato perdamaian di Jalur Gaza (2003). Bagi Gus Dur, mewujudkan perdamaian di Palestina bisa dilakukan dengan cara menjadi juru damai kedua belah pihak. Sebagai juru damai, win-win solution harus diambil Gus Dur untuk mengambil hati dan meyakinkan Palestina dan Israel.
Atas dasar itulah Gus Dur bersedia menjadi anggota Shimon Peres Foundation meski menuai banyak kecaman. Demikian juga rencana membuka jalur diplomasi Indonesia dengan Israel saat menjabat presiden. Selama ini kita hanya “titip suara” melalui markas PBB di Amerika, sementara Amerika adalah sekutu Israel.
Jadi, suara kita tidak akan pernah sampai. Bagaimana mungkin dapat membantu kemerdekaan Palestina jika tidak memiliki hubungan diplomatik dengan Israel?
Hari ini kita menyaksikan, satu per satu negara di dunia termasuk negara Islam juga membuka kedutaan besar Israel di negaranya masing-masing. Salah satu agendanya adalah membantu Palestina untuk memperoleh kemerdekaannya kembali melalui jalan diplomasi.