Manusia Jawa punya pitutur, “ajining diri ana ing lathi, ajining raga ana ing busana” yang dengan mudah bisa kita terjemahkan bahwa kemuliaan pribadi seseorang terletak pada ucapannya, sedang keelokan penampakannya bergantung dari kepantasan, kesopanan, dan keindahan pakaian yang ia kenakan.
Ucapan itu tentu saja bukan sekadar paribahasa atau otak-atik wacana belaka, melainkan memang begitulah kesadaran filosofis manusia jawa. Dan, seperti umumnya pahaman kolektif, ia tumbuh bersamaan dengan proses pendewasaan budaya masyarakatnya.
Tanpa bermaksud menakar derajat manusia lainnya, secara otomatis perkataan, baik secara lisan maupun tulisan, memang mencerminkan apa yang dikandung dalam kesadaran pikiran dan batin pengucapnya. Artinya, ucapan adalah indikator awal yang paling mudah untuk mengukur sesuatu yang tak tampak, alias abstrak pada diri manusia.
Mengukur barang abstrak adalah pekerjaan yang tak mudah. Sebab ia bukan hanya tak terlihat, namun juga tak jelas wujudnya, tak ada warnanya, apalagi dimensi ukurannya. Apa itu kemuliaan? Bagaimana mekanisme terbentuknya? Seperti apa wujud barangnya? Atau bentuk penampakannya?
Maka, ucapan atau perkataan (dan juga semestinya satu paket sekaligus dengan perbuatan) adalah jalan pintas untuk manakar aspek non materiil tersebut, meskipun secara teknis prosesnya tetap tak bisa logis matematis, melainkan lebih menggunakan roso-pangroso.
Seorang sahabat bisa melontarkan kata-kata yang terdengar bernada penghinaan, namun dalam nuansa kemesraan dan pengertian batin, perkataannya itu justru memiliki dimensi keakraban dan cinta. Hanya ruang rasa yang mampu menerjemahkannya.
Apapun itu, yang jelas, manusia jawa telah memiliki jangkauan kesadaran dan sensitivitas ruhani pada kondisi batin jiwa orang di sekitarnya, juga pastinya bagi diri mereka sendiri. Ada dialektika yang sambung antara logika dengan rasa, ada ruang-ruang perenungan yang tak melulu menuntut penalaran, melainkan lebih berupa penghayatan dan pendalaman nilai-nilai yang terkandung dalam jiwa.
Sayang, arus modernisasi menikam kemampuan manusia dalam mendayagunakan perasaan dan batinnya. Titik sentral pergerakan abad modern ini adalah progresivitas akal. Ukuran kemajuan era milenium terletak pada pendayagunaan logika dan rasio, bahkan pada hampir semua soal: pembangunan, teknologi, ilmu pengetahuan, dsb.
Tentu saja kita OK dan perlu memberikan apresiasi pada logika dan penalaran akal atas berbagai pencapaian teknologi yang memajukan peradaban dan memudahkan banyak pekerjaan manusia. Hanya saja, penempatan akal yang berlebihan, hingga pada ranah-ranah yang tak semestinya, membuat manusia modern terseok-seok dalam memahami kehidupan.
Kita buntu mengerti fenomena mukjizat Nabi hanya karena logika tak bisa menjelaskannya. Buru-buru kita mentahkan cerita-cerita karomah para wali karena serba tak masuk di akal. Perdebatan tentang evolusi dan penciptaan manusia tak pernah usai menemui mufakat.
Bahkan kini kita dapati kebiasaan manusia yang serampangan menyebut seseorang sebagai Ustadz atau bahkan Ulama hanya karena ia memakai jubah dan sorban. Atau kita sebut seseorang sebagai seorang alim karena sehari-hari berdiam di masjid, padahal sebenarnya ia sedang mencari makan gratisan.
Berbekal logika, manusia berbondong-bondong menilai sesuatu berdasar yang tampak-tampak, yang bersifat materiil. Sebab memang rasio akan sangat mudah memasuki ranah-ranah yang wujud, yang fisik, yang padatan-padatan dan bisa diterka pancaindera.
Kelak, cara berpikir materialisasi dan logika yang berlebihan inilah yang membuat silang sengkarut dalam kehidupan manusia modern. Tak cuma soal terbentuknya pola ekonomi dan bahkan pola budaya baru yang pancer pergerakannya adalah materi, yang segala ukuran kemajuannya ada pada pertambahan harta, asset, atau jalan tol dan ibu kota baru umpamanya. Namun ada yang lebih kacau daripada itu.
Sholat tak lagi kita temukan kedalaman ruhaninya melainkan menjadi aktivitas rutin belaka. Do’a-do’a tak kita persembahkan sebagai bentuk penghambaan melainkan menjadi ritus-ritus transaksional dengan Tuhan. Materialisasi dan logika berlebihan membatalkan pemahaman bahwa ibadah atau segala kegiatan penghambaan aslinya lebih berupa perjalanan ruhani dibanding aktivitas-aktivitas jasadi.
Surga-neraka atau akherat kita terka-terka dalam bentuk wujud materiilnya. Malaikat Rakib Atid terbayangkan memegang pensil dan kertas mencatat tanpa henti amalan-amalan istimewa kita. Ridwan Malik ada di dekat pintu surga neraka seperti -maaf- reco di gerbang kraton. Jibril sudah nyantai, pensiun karena tak lagi ada nabi.
Alloh adalah juragan yang serba mengatur dan harus dipersembahi peribadatan-peribadatan demi ketercapaian harapan kita. Dia tak lagi ‘wujud’ sebagai Maha Cinta yang ada dalam dekat dan bahkan mengalir dalam darah.