Muhammad Iqbal (1877-1938), penyair dari anak benua India, adalah generasi awal paska penjajahan yang menjelajah rimba sekaligus surga pengetahuan di negeri penjajah. Iqbal menghabiskan waktu belajar di perguruan tinggi yang berkelas dan bergengsi di Eropa. Tapi kematangannya akan tradisinya, terutama kultur asketis di keluarganya (ayahnya Syeikh Nur Muhammad adalah seorang sufi), membuatnya kalis dari keterpesonaan berlebihan kepada Barat. Harus diakui, Iqbal adalah contoh dari orang bermodal tebal (bukan dalam artian materi) yang berangkat ke Barat. Tapi ketika dia diperkenalkan ke Indonesia, sayap-sayap spiritual dalam hidupnya “disamarkan” oleh para penerjemahnya yang memuja Barat. Dan, di sini saya “endak” perlu berpanjang lebar memberikan gambaran sosok Iqbal karena tahun 1980-an sosok filsuf-pembaharu ini sangatlah ramai dibicarakan.
Dalam banyak kesempatan Iqbal menegaskan Maulana Rumi sebagai pembimbingnya. Sebuah puisinya berjudul Mastnawi merupakan perwujudan dari citanya menulis puisi semisal kitab Mastnawi Maulana. Rumi telah dipilihnya daripada para penunjuk jalan lainnya. Rumi adalah sumber gagasannya tentang ego yang aktif (berkehendak) sekaligus kreatif : sebuah gagasan yang diolahnya dari kekayaan Timur dengan Barat. Saya tidak akan membahas ini panjang lebar, kita bisa membaca sendiri di banyak tulisan Iqbal (Mizan baru-baru ini kembali menerjemahkan buku Rekonstruksi Pemikiran Islam karena mungkin tidak sepaham dengan terjemahan Goenawan Mohammad dkk), dan juga ulasan pemikirannya. Sayang sekali beberapa buku tentang Iqbal dan poskolonial tidak bisa kita akses di sini, kudu beli online.
Saya hanya ingin menceritakan Iqbal terkait mulud Kanjeng Nabi SAW. Sepulang dari Eropa, Iqbal tetaplah sosok yang sederhana, bahkan sangat sederhana. Menurut MM Syarif, karib mudanya di Pakistan, ia juga sosok yang lembut dan dermawan. Hidupnya untuk Islam dan kemajuan Islam. Iqbal pernah menyumbangkan seluruh tabungannya semenjak pulang dari Eropa dan merupakan satu-satunya harta andalannya kepada pemimpin Afghanistan yang mampir di kotanya. Istilah lembut tidak sama dengan “halus” dalam literatur tasawuf. Lembut adalah pancaran dari stabilnya kualitas spritual (haal dalam bahasa Arab). Sedangkan “halus” adalah etiket formalistik, lipstik tatakrama yang penuh dengan aniyaya diri. Kalau seorang dikatakan lembut, maka dia adalah penampakan riil dari Yang Maha Lembut sehingga stabil kadarnya.
Salah satu bukti bahwa Iqbal adalah mistikus yang tidak pernah kalis oleh apapun adalah begitu banyak puisinya tentang Kanjeng Nabi SAW. Puisi pujian kepada “sahabat Arab” (demikian para penyair anak benua menyebut nama Kanjeng Nabi) adalah tradisi panjang di dunia Islam, khususnya di anak Benua, yang juga dilakukan oleh Iqbal. Baginya, puisi lebih dalam dari filsafat. “Penyair menyelam, sedangkan filsuf berenang” adalah ungkapannya mengenai sentralitas puisi sebagai medium pembabaran pengalaman spritual.
Iqbal menulis banyak tentang sosok “kutub dari putaran semesta” dalam banyak puisinya, dalam asrar-i khudi (Rahasia diri) dalam buku Javid Nama (Kitab Keabadian), dan sebagainya:
Ia (Kanjeng Nabi) adalah materai bagi para nabi, dan kami (umat Islam) adalah materai kepada bangsa-bangsa
Kau dapat menolak Tuhan tetapi mustahil kau menyangkal Nabi
Banyak lagi puisinya yang dipersembahkan kepada Kanjeng Nabi. tapi pada tahun 1936, dua tahun menjelang wafatnya, Iqbal menulis sebuah diwan “Bang-i-Dara”. Iqbal menggambarkan dirinya sebagai genta dalam sebuah karavan yang membimbing para penziarah ke pusat kota suci Mekkah. Iqbal menggambarkan sang Nabi sebagai kekuatan pengubah sekaligus rosa mystica : Pemberi syafaat kepada ummatnya. Menurut Iqbal sendiri, diwan Bang-i-Dara ditulisnya sebagai “washilah“nya, perantara untuk mengharap kesembuhan dari penyakitnya. Filsuf besar Pakistan ini mengingatkan kita pada kepercayaan umat Islam akan kekuatan syair Burdah sebagai penyembuh berbagai penyakit dan manfaat lainnya. Iqbal juga pernah datang ke makam Syeikh Ahmad Sirhindi meminta didoakan sang syeikh (mirip praktik orang NU) untuk mendapatkan anak-anak laki-laki, dan dikabulkan Gusti Allah pada kemudian hari.
Ketulusan seorang doktor filsafat memuja kekasih pujaannya: nilai muspra di kalangan muslim Indonesia modern, apalagi yang pulang dar Barat. Bahkan pembaharu lain di anak benua seperti Sayyid Akhmad Khan digambarkan Iqbal sebagai sosok yang penuh dengan cita perubahan tapi memancarkan ketulusan mendalam pada Islam.
*) Catatan ngawur ini semoga adalah washilah untuk mendapatkan rembesan wangi rosa mystica Kanjeng Nabi, para wali besar seperti Rumi dll seperti yang diharapkan Iqbal ketiak menulis Bang-i-Dara. ALLAHUMMA SHOLLI ‘ALA SAYYIDINAA MUHAMMAD…. Selamat merayakan Mulud Sang Nabi.