Nabi meminta kita mengawali pekerjaan atau perbuatan dengan kalimat basmalah. Secara umum ahli tafsir menerjemahkan bismillah adalah “dengan menyebut nama Allah.” Jadi kita, misalnya hendak minum, kita menyatakan bahwa tindakan minum ini kita lakukan dengan mengingat Allah. Apanya yang diingat? Yaitu mengingat bahwa apapun yang kita lakukan hakikatnya selalu “beserta Allah” karena kita dipinjami kemampuan untuk bergerak mengambil segelas air, meneguknya. Ini berarti mengakui bahwa hakikatnya kita tidak mampu, tetapi Allah memampukan kita.
Tetapi kita tidak hanya menyebut asma Allah; kita juga menyebut dua sifat utama: Rahman dan Rahim. Lantaran kalimat basmalah ini redaksinya dari Allah (karena tercantum dalam Qur’an), maka pasti ada sebab mengapa Dia memilihkan dua sifat yang termasuk dalam kategori sifat jamal (keindahan), sifat yang “lembut” dan “menentramkan.” Rahman Rahim biasa ditafsirkan sebagai Pengasih dan Penyayang. Dalam sebagian tafsir, dikatakan dalam konteks sifatNya, Rahmat itu meluas tanpa batas. Sedangkan Rahim mendalam tanpa dasar, karena Allah Mahatakterbatas.
Itu berarti ketika kita melakukan sesuatu kebaikan dengan membaca basmalah, kita menyatakan pengakuan bahwa kita bisa ini dan itu karena Kasih SayangNya yang memberi kita kemampuan berbuat, sekaligus mengakui bahwa Allah senantiasa hadir dalam setiap tindakan atau perbuatan, lisan, pikiran dan hati. Maka tindakan kita, walau sepele seperti membuka jendela dan pintu, dianggap ibadah jika kita memulainya dengan membaca basmalah.
Dan bila saat mulai berbuat kita selalu istiqamah menghadirkan Allah Yang Maha Kasih Sayang dalam batin dan pikiran, dengan perantaraan bacaan basmalah, maka lama-lama hati kita akan semakin lembut dan penuh kasih sayang. Mengapa demikian?
Syeh Ibn Arabi mengatakan bahwa setiap kita berzikir menyebut asmaNya, maka kita sebenarnya “memanggil” salah satu “WajahNya”. Kalau kita berzikir ya Razaq, misalnya, kita memanggil dan “mendatangkan” Dia dari segi rezeki ke diri kita. Kalau kita menyebut Rahman Rahim maka kita “mendatangkan” Rahman RahimNya ke diri kita. Dalam bahasa lain, setiap asma Tuhan yang kita sebut sebenarnya mengaktualisasikan potensi asma itu dalam diri kita. Mengapa? Sebab manusia adalah lokus tajalli asmaNya — yakni kita dipinjami potensi sifat-sifat Tuhan.
Zikir adalah merealisasikan potensi itu sehingga kita bisa menjadi saksi bahwa sungguh Allah mahasegalanya dan karenanya kesaksian kita bahwa Tiada Ilah Selain Allah menjadi kesaksian yang bukan hanya di bibir tetapi menghujam kuat di diri kita. Minimal kita naik dari ilmu yaqin ke ainul yaqin.
Dengan kata lain, sumber kasih sayang itu sudah diinstall dalam diri kita. Bila kita mengaktifkannya maka kasih sayang itu menyala dan memancar. Kita akan selalu melakukan sesuatu atas dasar kasih sayang. Kalau sudah semakin besar rasa itu, kekuatan kasih sayang itu akan dapat dirasakan orang di sekitarnya. Jadi tidak heran kadang kita bisa merasakan kesejukan dan kedamaian bahkan hanya dengan memandang wajah seorang kyai atau ulama atau orang biasa yang tindak tanduknya dilandasi rasa kasih sayang yang tulus.
Sebenarnya jika kita mau menyelam lebih dalam pada ajaran kanjeng nabi, kita akan melihat banyak keindahan, yang lambat laun melahirkan cinta ilahi. Sayangnya, sebagian dari kita hanya berhenti di teks, berhenti di tenggorokan, karena kita berhenti belajar karena merasa sudah banyak ilmu, atau lebih suka menuruti kemauan hawa nafsu syahwat apa saja, mulai dari nafsu bermaksiat, syahwat pada harta dan kekuasaan, dan sebagainya.
Maka yang terjadi adalah perpecahan, lenyapnya keindahan agama, karena agama tampil dalam wajah yang kaku, kasar, garang, dinodai oleh hasud, adu domba dan sejenisnya. Orang menjauh dan sinis pada agama karena sebagian pemeluknya mengaburkan keindahan ruhani dan kasih sayang yang menjadi dasar bagi nilai-nilai kemanusiaan.