“Tidak ada kitab fikih yang lebih baik dari Bidayah al-Mujtahid”, kata Ibn al-Abar dalam al-Takmilah dan Ibn Farhun dalam al-Dibaj al-Madzhab. Kenapa kitab ini mengundang decak kagum dari banyak kalangan? Apa saja keunggulannya? Sejak semula karya ini diproyeksikan guna membuka pintu ijtihad dan mendobrak kejumudan. Caranya adalah dengan memetakan pendapat ahli fikih sejak era sahabat hingga era taqlid kemudian menggali metodologi-metodologi ijtihad mereka. Dengan demikian, pembaca diharapkan mampu menyerap varian metode inferensi hukum (istinbath al-hukm) kemudian mengaplikasikannya dalam rangka mencetuskan produk hukum baru terkait problematika-problematika sosial keagamaan yang senantiasa muncul di masyarakat. Dari sini dapat dipahami bahwa tujuan Ibn Rusyd bukan hanya sekadar perbandingan madzhab, namun lebih jauh dari itu ia hendak menggali varian metodologi hukum sekaligus teknis dan mekanisme operasionalnya.
Bidayat al-Mujtahid tidak membatasi diskursusnya hanya seputar empat madzhab saja. Selain memaparkan madzhab Malikiyah, Hanafiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah, Ibn Rusyd pun tak mengabaikan pendapat-pendapat dari madzhab Ibn Abi Layla, Sufyan al-Tsauri, al-Layts bin Sa’d, Abi Tsaur, Ibn Sabramah, Ishaq bin Rahawiyah, al-Auza’i, Abu ‘Ubayd, Sufyan bin ‘Uyaynah, Hasan al-Bashri, Ibn Jarir al-Thabari, al-Sya’bi, Dawud al-Dhahiri, Ibn Hazm, dan lain-lain. Keterbukaan Ibn Rusyd terhadap pendapat-pendapat madzhab lain menunjukkan bahwa ia adalah ahli fikih yang sangat inklusif dan pluralis. Pertanyaan yang patut dikemukakan adalah kenapa Ibn Rusyd tidak memaparkan pendapat-pendapat dari madzhab fikih sekte Syiah? Apakah ini terkait dengan ideologi Dinasti Sunni Andalusia yang sepanjang sejarahnya memiliki rivalitas dengan Dinasti Syiah Fatimiyah? Ataukah inklusivisme (sikap terbuka) Ibn Rusyd hanya terbatas pada sekte Sunni? Ini artinya Ibn Rusyd terjebak dalam fanatisme sektarianistik Sunni, sementara pada waktu bersamaan ia bersedia, bahkan mewajibkan, menerima kebenaran rasional meski datangnya dari para filosof Yunani sekalipun. Disamping itu, sejatinya tetap saja ada kebenaran yang tercecer dalam kitab-kitab fikih Syiah karena ijtihad-ijtihad fuqaha Syiah tidak seluruhnya salah.
Penulis berpandangan bahwa tidak dipaparkannya fikih Syiah dalam Bidayat al-Mujtahid bukan ditengarai oleh eksklusivisme (sikap tertutup) Ibn Rusyd terhadap fikih Syiah, sebab realitanya ia sangat terbuka menerima kebenaran dari manapun . Dalam Fashl al-Maqal fi Taqrir ma bayn al-Syariah wa al-Hikmah min al-Ittishal, ia menegaskan bahwa kebenaran dapat dipetik dimana-mana; kebenaran terdapat dalam Islam dan filsafat Yunani. “Kebenaran-kebenaran itu tidak saling bertentangan tetapi saling menguatkan satu sama lain”. “Kita harus mendapuk metodologi dari para pendahulu meskipun berasal dari penganut agama lain”. “Kita wajib membaca buku-buku filosof pendahulu. Jika ada kebenaran maka kita terima. Jika ada kesalahan maka kita tolak”. Statemen-statemen tersebut menunjukkan bahwa Ibn Rusyd sangat terbuka menerima kebenaran dan ijtihad-ijtihad rasional meskpiun datangnya dari kalangan non-Islam sekalipun. Inilah gagasan pluralisme dan inklusivisme Ibn Rusyd.
Nah, jika kita menyepakati hal ini, maka tidak dipaparkannya fikih Syiah dalam Bidayat al-Mujtahid bukan disebabkan eksklusivisme Ibn Rusyd, tetapi lebih disebabkan oleh keterbatasan literatur Syiah di Andalusia. Hal ini atas dasar pertimbangan: pertama, Andalusia adalah basis fanatik Malikiyah sehingga masyarakatnya enggan atau bahkan takut mengoleksi khazanah Syiah; kedua, Syiah memiliki doktrin taqiyah yang menyebabkan banyak kalangan non Syiah sulit mempercayai kebenaran informasi-informasi yang datang dari pihak Syiah, dan; ketiga, proyek kebudayaan yang dibangun oleh dinasti-dinasti Andalusia adalah dalam rangka bersaing dengan identitas kebudayaan Dinasti Syiah Fatimiyah di Cairo. Untuk itu, dinasti-dinasti Andalusia senantiasa mempertahankan diri dari pengaruh kebudayaan lain, tak terkecuali kebudayaan corak fikih Syiah. Konsekuensinya, ulama yang inkslusif sekalipun merasa kesulitan merujuk khazanah keilmuan di luar kebudayaannya sendiri.
Setelah pendapat lintas madzhab sekaligus argumentasi masing-masing diuraikan, Ibn Rusyd kemudian menakar kekuatan dan kelemahannya. Sebagai pakar hukum yang besar dalam tradisi Malikiyah, Ibn Rusyd tidak fanatik memihak pada madzhab Malikiyah, namun justru berani mengkritik madzhabnya sendiri apabila dasar argumentasinya lemah. Contohnya dalam kasus apakah dua juru runding—yang tugaskan oleh seorang hakim dalam rangka melerai polemik suami-istri—berhak menceraikan? Al-Syafi’i dan Abu Hanifah berpendapat bahwa juru runding tersebut tugasnya hanya mendamaikan dan tidak berhak menceraikan “tanpa izin suami”. Sedangkan Malik bin Anas berpendapat bahwa juru runding tersebut berhak menceraikan meskipun “tanpa izin suami”. Ibn Rusyd dalam kasus ini mendukung pendapat al-Syafi’i dan Abu Hanifah seraya mengkritik pendapat Malik bin Anas yang dinilai menyimpang dari kaidah dasar agama bahwa suamilah yang memegang kendali perceraian (al-ashlu anna thalaq bi yadi al-rajuli). Ini hanyalah contoh kecil inklusivisme Ibn Rusyd yang bersedia menerima pendapat dari luar madzhabnya. Inklusivisme ini tentunya muncul dari kritisisme Ibn Rusyd dalam menyikapi perbedaan pendapat.
Sikap kritis Ibn Rusyd tidak pandang bulu. Dalam beberapa kasus, ia berani mengkritik para sahabat Nabi yang argumentasinya dinilai absurd. Salah satu contohnya adalah kasus pernikahan dalam masa ‘iddah. Semua fuqaha sepakat pernikahan ini hukumnya ilegal. Namun mereka berbeda pendapat terkait konsekuensi yang timbul dari hukum itu. Malik bin Anas berpandangan bahwa perempuan tersebut haram secara permanen dinikahi oleh sang suami setelah keduanya diceraikan. Sedangkan al-Syafi’i dan Abu Hanifah berpendapat bahwa pernikahan itu ilegal dan harus diceraikan. Tetapi setelah masa ‘iddah-nya selesai, perempuan tersebut boleh dinikahi lagi oleh mantan suami. Dalam hal ini, Malik bin Anas bertendensi pada keputusan Umar bin Khathab yang menceraikan pasangan Tulayhah al-Asadiyah dan Rasyid al-Tsaqafi akibat nikah dalam masa ‘iddah. Selain menceraikan, Umar bin Khathab mengharamkan pernikahan kedua kalinya—secara permanen—bagi mereka berdua setelah selesai iddah. Setelah mempertimbangkan matang-matang, Ibn Rusyd mengkritik Malik bin Anas dan Umar bin Khathab sekaligus. Ia berkata, sesuai dengan kaidah dasar agama, “perempuan tersebut sejatinya halal dinikahi setelah iddah-nya selesai karena tidak ada yang bisa mengharamkan menikahi perempuan tersebut kecuali apabila ada ayat al-Quran, hadits, atau konsensus umat”.
Masih banyak lagi kasus-kasus lain yang memperlihatkan kritisisme Ibn Rusyd dalam menyikapi perbedaan pendapat. Dalam beberapa kasus, ia terkadang menentang pendapat mayoritas ulama dan pada waktu bersamaan mendukung kelompok minoritas ulama. Sikap-sikap ini memberikan pelajaran kepada umat Islam bahwa kebenaran tidak senantiasa berpihak pada, dan dimonopoli oleh, pihak mayoritas. Kebenaran tercecer dimana-mana, dan terkadang justru terselib dalam pendapat kaum minoritas yang lemah. Sekali lagi, sikap Ibn Rusyd ini merupakan pelajaran berharga bagi kita semua agar senantiasa menghormati pendapat kaum minoritas, terutama bagi kita yang hidup di negara demokrasi yang kebijakan-kebijakannya lebih mengacu pada pendapat mayoritas. Inilah ajaran demokrasi Ibn Rusyd.
Pelajaran berharga lainnya yang bisa kita petik dari sikap Ibn Rusyd adalah pentingnya kritisisme dalam menyikapi pelbagai persoalan sosial keagamaan. Dengan kritisisme, Ibn Rusyd tidak bisa dipasung oleh pendapat pendahulu. Kita telah melihat betapa beraninya Ibn Rusyd mengkritik pendapat Malik bin Anas dan sahabat Umar bin Khathab. Baginya, pendahulu adalah manusia biasa yang bisa salah dan benar. Pendahulu (salaf) tidak boleh disakralkan. Pendahulu juga bukan satu-satunya pemilik otoritas kebenaran. Hal ini merupakan postulat yang membuktikan betapa rapuhnya jargon kalangan tradisional konservatif yang menyatakan “wa kullu khayrin fi ittiba’i man salaf”.
Maqashid Syariat dalam Perspektif Ibn Rusyd
Maqasid al-Shari`ah adalah bidang keilmuan yang membahas tujuan disyariatkannya hukum-hukum Islam. Disiplin keilmuan ini telah menarik banyak perhatian dari para sarjana karena mampu menyuguhkan wajah sejati humanisme Islam. Syariat Islam, menurut teori ini, pada dasarnya dikerangkakan untuk mewujudkan kemaslahatan manusia. Syariat diturunkan bukan untuk kepentingan Tuhan belaka karena Tuhan tak butuh apa-apa. Shalat, misalnya, mempunyai fungsi sosiologis guna mewujudkan stabilitas kehidupan dan mencegah dari kerusakan sosial (tanha ‘an fakhsya’i wa al-munkar). Zakat disyariatkan untuk kesejahteraan ekonomi dan meminimalisir kesenjangan sosial. Haji disyariatkan untuk membangun kerukunan umat muslim dan kesetaraan melalui simbol pakaian ihramnya. Dan puasa disyariatkan untuk memunculkan ketakwaan (la’allakum tattaqun) dan rasa solidaritas sesama manusia. Syariat sangat menghargai nilai-nilai kemanusiaan sehingga segala peraturan di dalamnya semata-mata diagendakan untuk menjaga keselamatan jiwa, harta benda, keturunan, akal, harga diri, dan agama. Disinilah letak dimensi antroposentrisme Islam.
Dalam pandangan Ibn Rusyd, tujuan syariat diturunkan adalah untuk memperbaiki moralitas manusia agar menjadi insan yang bertakwa. Jika individu-individu masyarakat mempunyai kualitas kesadaran akan nilai-nilai etika dan norma, maka tatanan masyarakat akan membaik. Sebaliknya, kerusakan sosial biasanya diakibatkan oleh merosotnya moralitas individu-individu anggota masyarakat. Syariat yang turun memperbaiki akhlak ibarat dokter yang menghampiri pasiennya. Ilmu kedokteran memperbaiki raga manusia sedangkan syariat memperbaiki jiwa manusia.
Salah satu kasus yang memperlihatkan konsep maqashid al-syariat Ibn Rusyd adalah perdebatan seputar boleh atau tidaknya meminta kembali harta yang sudah dihibahkan. Sebagian ulama melarangnya sebab Rasulullah bersabda, “seseorang yang meminta kembali pemberiannya maka ia seperti anjing yang menjilat ludahnya sendiri”. Sebagian ulama lainnya memperbolehkan khususnya bagi orang tua kepada anaknya berdasarkan sabda Nabi, “tidak boleh meminta kembali harta yang dihibahkan kecuali bagi orang tua”. Al-Syafi’i menilai hadits yang kedua ini tidak valid. Sedangkan Ibn Rusyd mendukung pendapat pertama dengan alasan karena “meminta kembali pemberian tidak sesuai dengan nilai etika, sementara Rasul diutus untuk menyempurnakan akhlak manusia”.
Melalui contoh kasus ini, Ibn Rusyd pada dasarnya tengah menjembatani korelasi antara etika dan hukum yang idealnya bersinergi dan integral. Tanpa etika, hukum terasa kering, hambar, dan kaku. Inklinasi etis ini pada abad berikutnya mempengaruhi konsep maqashid al-syariah Syathibi (w. 790 H), seorang utilitarianis Andalusia, dalam magnum opus berjudul al-Muwafaqat. Selaras dengan Ibn Rusyd, al-Syathibi berkata, “Semua hukum syariat sesungguhnya adalah anjuran berperilaku dengan akhlak mulia. Oleh sebab itu Rasulullah saw bersabda ‘Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak mulia’ (al-syariat kulluha innama hiya takhalluqun bi makarim al-akhlaq wa lihadza qala ‘alayhi al-shalatu wa al-salamu bu’itstu liutammima makarim al-akhlaq)”.
Maqashid al-Syariat bagi Ibn Rusyd adalah filsafat hukum. Hukum-hukum Islam, baik dalam hal ritual maupun aturan sosial, semuanya bermuara pada tujuan filosofis. Syariat Islam adalah aturan-aturan rasional yang bertujuan mewujudkan keutamaan dan keselamatan, sebagaimana tujuan filsafat. Keselarasan tujuan-tujuan tersebut karena “filsafat adalah saudara syariat” (al-hikmah shahibat al-syariat). Dalam epilog Bidayat al-Mujtahid, Ibn Rusyd berpendapat, “Hukum-hukum Islam disyariatkan untuk berbagai tujuan: mewujudkan keutamaan jiwa (al-fadhail al-nafsaniyah) seperti dalam ritual, menjaga kehormatan (‘iffah) seperti dalam aturan sandang-pangan dan pernikahan, mewujudkan keadilan dan melawan kejahatan seperti hukuman kriminal, mewujudkan keutamaan kedermawanan seperti dalam masalah zakat dan sedekah, dan ada pula hukum-hukum yang berlaku dalam kehidupan sosial dan pemerintahan yang menjadi syarat untuk menjaga keutamaan manusia secara amaliah maupun ilmiah. Oleh karenanya pemimpin wajib mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang sesuai dengan agama. Dan diantara aturan-aturan yang penting adalah hal-hal berkaitan dengan cinta, kebencian, dan gotong-royong, yaitu aturan amar ma’ruf nahi munkar”.
Statemen Ibn Rusyd tersebut sudah sangat gamblang dan tidak membutuhkan komentar yang panjang lebar. Seperti yang kita cermati bersama, Ibn Rusyd memahami tujuan syariat dari perspektif multidisipliner; etika, sosiologi, kedokteran, politik, filsafat, dan lain-lain. Inilah salah satu bentuk pembaharuan paradigma hukum yang diusung oleh Ibn Rusyd; sebuah kerangka pemikiran brilian yang melampaui ulama pada zamannya dan bahkan mendahului penemuan sarjana-sarjana modern dalam bidang filsafat hukum. Itulah alasan mengapa pembaharu Arab modern sekaliber Muhammad Abduh mengakui urgensitas Bidayat al-Mujtahid. Lebih dari itu, ketika Fazlur Rahman, Charles E. Butterworth, George Maqdisi, Kemal Faruki, George F. Hourani, Wilferd Madelung, dan Frederick M. Danny mendiskusikan diskursus seputar Law and Ethics in Islam, Ibn Rusyd telah mendahului mereka berabad-abad yang lalu.
Wallahu a’lam bi al-shawab