Ketika Masjid Raya Syekh Zayed Solo diresmikan oleh pak Jokowi di Jawa Tengah beberapa bulan lalu langsung mengundang decak kagum dengan segala dimensi yang dimilikinya, khususnya soal kemegahan yang diklaim sebagai replika dari aslinya yang bertempat di Dubai.
Tentu, nilai lebih dari masjid itu perlu diapresiasi, namun yang tak kalah penting adalah jangan sampai melupakan fungsi dari masjid itu sendiri.
Sebagaimana tulisan sebelumnya, setidaknya fungsi masjid antara lain bukan soal urusan spiritual melainkan juga fungsi sosial. Selain itu, yang perlu diperhatikan masjid bukan hanya dimonopoli kalangan lelaki, perempuan pun punya hak setara dalam memanfaatkan dan mengelola.
Jika ditelisik dalam sejarah Nabi, perempuan nyatanya memiliki andil dalam mengurus masjid Nabawi – mungkin istilah yang lebih familiar adalah takmir. Ibnu Hajar bertutur, kalangan ulama hadis masih ragu-ragu siapa sesungguhnya sosok yang mengurus masjid Nabawi tersebut. Apakah laki-laki atau perempuan?
Namun Ibnu Hajar sendiri memastikan bahwa pengurus masjid itu adalah seorang perempuan sebagaimana kaul Abi Rafi’ yang menyebut, sosok itu adalah perempuan. Dengan tangkas Imam Baihaqi memperjelas bahwa perempuan itu dijuluki dengan nama Ummu Mihjan, (Fathul Bari: 1/553).
Tidak banyak yang tahu biografi perempuan tersebut. Ia lebih dikenal atas dedikasinya untuk ikut serta mengambil peran dalam mengurus masjid Nabawi. Sebagaimana tercatat dalam kitab-kitab hadis, Ummu Mihjandihikayatkan sangat istikamah menjalani pengabdiannya untuk membersihkan masjid. Hingga suatu ketika ia dipanggil oleh Tuhan ke pangkuannya. Menurut satu sumber, ia wafat di malam hari.
Hanya saja kewafatannya itu tidak banyak yang tahu termasuk Nabi Muhammad saw. hingga beberapa hari, Nabi merasa ada yang “kurang” dengan segala aktivitas di masjid yang kemudian disadari bahwa perempuan yang biasa membersihkan masjid Nabawi lama tidak dijumpai. Maka Nabi langsung bertanya kepada para sahabat di sekelilingnya. Abu Bakar, sebagaimana ditandaskan oleh Buraidah, menjawab pertanyaan yang dilontarkan Nabi bahwa perempuan itu telah wafat beberapa hari yang lalu, (Syarah al-Zarqani: 11/185).
Mendengar berita kematian Ummu Mihjan, Nabi memendam rasa kecewa kepada sahabatnya yang tidak memberi tahu terhadap kematian Ummu Mihjan. Bahkan, menurut Abu Hurairah kalangan masyarakat (sahabat Nabi) meremehkan hal-ihwal perempuan yang telah istikamah mewakafkan dirinya untuk mengurus masjid Nabawi. Sontak saja Nabi pun menegur melalui pertanyaan retorik kepada para sahabatnya, “Mengapa kalian tidak memberi tahu kepada Saya akan kematiannya”?.
Tanpa menunggu jawaban, Nabi langsung meminta diberi tahu letak kuburan Ummu Mihjan. Lalu, Nabi berangkat dan mendatangi kuburan tersebut beserta para sahabat yang ikut. Setelah sampai di kuburan Ummu Mihjan, Nabi mengambil posisi berdiri di samping/atas kuburannya dan melaksanakan salat jenazah yang dihadiahkan kepada Ummu Mihjan. Tidak tanggung-tanggung, setelah salat Nabi memastikan bahwa kuburan itu penghuninya orang yang memiliki reputasi baik lantaran salat yang dilakukan oleh Nabi. Imam Muslim berhasil mendokumentasikan pesan Nabi tersebut.
«إِنَّ هَذِهِ الْقُبُورَ مَمْلُوءَةٌ ظُلْمَةً عَلَى أَهْلِهَا، وَإِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ يُنَوِّرُهَا لَهُمْ بِصَلَاتِي عَلَيْهِمْ»
“Kuburan-kuburan ini penuh dengan kegelapan atas penghuninya dan sesungguhnya Allah Swt memberi sinar untuk mereka sebab salatku atasnya” (HR. Imam Muslim).
Dari hadis itu, Nabi ingin menegur masyarakat yang meremehkan Ummu Mihjan. Padahal, ia telah mendedikasikan diri untuk mengurus masjid Nabawi.
Dari kisah Ummu Mihjan ini ada beberapa pelajaran yang penting untuk ditanamkan. Pertama, perempuan juga memiliki andil dalam menentukan dan memberikan aspirasi tentang rumah ibadah. Artinya, masjid bukan hanya milik laki-laki, karena selama ini perempuan sering kali dimarginalkan karena budaya patriarkhi yang terjadi hingga saat ini.
Tidak jarang orang menyangkal peran perempuan dalam pengurusan rumah ibadah, dengan dalih pendapat ulama tentang perempuan lebih baik di rumah. Padahal, pendapat ulama itu bersifat kondisional yang bisa saja berubah.
Jika ditelusuri, ada satu riwayat dalam kitab fikih, misalnya Fathul Wahhab, bahwa Nabi melarang orang (laki-laki) untuk menghalangi perempuan ke masjid, baik menghalangi fisik maupun sekedar stigma.
Pelajaran kedua, masjid tidak hanya urusan kemegahan dengan segala fasilitas yang memanjakan mata. namun juga perlu ditekankan fungsi yang mencakup urusan spiritual dan sosial.
Ketiga, tidak boleh meremehkan seseorang, siapapun dan dimanapun, karena semua manusia adalah sama. (AN)