Aksi terorisme yang dilakukan oleh kelompok radikal bukanlah barang baru. Peristiwa tersebut setiap saat bisa terjadi, sangat mungkin terulang kembali dan menyasar target yang sama, yaitu pihak kepolisian. Aksi teror kerap mengarah ke aparat kepolisian karena dirasa pihak yang selalu berhadapan langsung pada penumpasan terorisme. Tim Densus 88 juga dianggap sebagai penghalang dan penghilang nyawa rekan seperjuangan kelompok jihadis. Oleh karenanya, aksi teror ini kerap menargetkan korban dari pihak kepolisian sebagai simbol yang wajib diperangi.
Pemberantasan kasus terorisme belum pernah selesai karena kelompok ini masih bisa menghirup udara kebebasan dalam melakukan aksi teror. Pengeboman di berbagai tempat masih marak terjadi, kaderisasi brainwash (cuci otak) terus berjalan di organisasi sekolah atau kampus dan anehnya kecenderungan ini sudah ada puluhan tahun namun terkesan pembiaran begitu saja sehingga peristiwa yang terjadi saat ini bagian dari puncak es.
Disisi lain, ceramah provokatif kerap menimbulkan kegaduhan di masyarakat. Ujaran kebencian begitu merebak, semangat pertentangan memperlihatkan arah yang kritis dan geliat sebagian kelompok untuk mensyariahkan negara kian kuat.
Pada konteks ini, Islam sebagai agama sebetulnya tidak ada hubungan antara pelaku aksi teror dengan kultur Islam, hanya saja komunitas agama ini dimanfaatkan sebagai alat untuk menggaduhkan atau mengacaukan negara. KH. Hasyim Muzadi pernah mengatakan bahwa agama sengaja dibenturkan dengan negara untuk melawan pemerintah, negara menjadi penindas agama dan agama menjadi pemberontak negara. Faktanya, inilah yang perlahan coba dipraktekkan kelompok radikal untuk merusak negara dengan memainkan agama sebagai fase kehancuran.
Terorisme berangkat dari ketidaksiapan menerima keberagaman, keputus-asaan dan keraguan hidup di tengah kemajemukan lintas kultural. Kelompok ini mengekslusifkan diri dalam barisan kelompok tersendiri, menganggap yang berbeda pemahaman dianggap kafir sehingga layak untuk diperangi dan rajin membooking kebenaran. Kondisi ini sangat membahayakan keberlangsungan masyarakat yang beragam karena kedamaian akan terancam dan radikalisme menjadi tumbuh subur.
Perang yang berkecambuk di Irak dan Suriah menandakan bahwa kelompok radikal berkuasa secara brutal dengan membunuh jutaan orang yang tidak bersalah. Keluarga kehilangan anak, para istri ditawan, disandera dan diperkosa bergiliran secara tak manusiawi hingga kekejaman yang membati-buta. Fenomena ini adalah gambaran riil bahwa agama dijadikan kedok untuk merusak negara sehingga kekacauan terjadi dimana-mana, kesengsaraan bertambah dan hilangnya akal sehat untuk merawat kebersamaan.
Konservatisme Islam selalu berpandangan bahwa aturan negara harus tunduk pada ketentuan syariah, terlalu sibuk membongkar konsensus dan memperdebatkan kerangka negara yang sudah final. Kelompok ini meletakkan pikirannya pada persoalan yang tidak substansial dan riskan pada kemadharatan yang besar. Disisi lain, tantangan keberagaman ini diuji dengan maraknya radikalisme berkedok agama yang menyayat hati semua orang.
Kejahatan aksi teror membutuhkan pengakuan dunia, berharap dicitrakan seram dan memaksa negara untuk mengakui keberadaan kelompok ini. Tragedi peledakan bom diklaim sebagai bagian upaya menunjukkan eksistensi guna menakuti negara sehingga kejahatan terlarang ini menjadi satu bentuk kegelisahan. Kelompok radikal ini berharap korban lebih banyak terjadi pada pihak kepolisian karena dijadikan alat legitimasi keberhasilan dalam melakukan aksi teror.
Negara harus dua langkah lebih berani menumpas kejahatan aksi teror karena selalu bermetamorfosa menjadi gerakan yang berbahaya. Sejarah telah mencatat pahitnya tragedi peledakan bom baik, bom Bali (1-2), bom hotel JW Marriot dan The Ritz-Carlton, bom Sarinah, bom di tiga Gereja Surabaya dan sebagainya. Persoalan terorisme yang semakin berderet ini mengindikasikan bahwa kejahatan aksi serupa berpeluang muncul di kemudian hari dengan pola yang berbeda, medium yang berubah-ubah dan target lokasi yang bisa semakin luas.
Kesiapan negara untuk melawan kejahatan terorisme harus melibatkan perangkat aksi, mengajak organisasi keagamaan untuk konsisten mengawal paham ajaran perdamaian dan menolak kegiatan yang dapat memecah keutuhan umat. Agama harus berkembang subur sebagai jalan menangkal gerakan radikalisme yang kian meluas. Disisi lain, perlu kiranya mengajak eks terorisme untuk bekerjasama mengurangi kejahatan aksi teror yang sewaktu-waktu bisa terjadi dengan korban yang lebih banyak.
Kejahatan terorisme bagian dari efek buruk berkembangnya intoleransi, ketimpangan hukum dan citra politik yang menurun. Negara bisa tersandera jika penanganan kejahatan terorisme lemah, kebencian terhadap sesama bukan tidak mungkin terjadi klimaks sehingga negara menjadi kacau. Keterlibatan masyarakat dalam memproteksi munculnya bibit baru radikalisme amat penting karena kesadaran kolektif akan membantu upaya deradikalisasi.
Terorisme sendiri merupakan produk kejahatan terlarang yang rawan ditumpangi berbagai bentuk kepentingan. Terlepas adanya upaya pemanfaatan, keberadaanya tentu amat mengkhawatirkan banyak orang. Kasus ISIS misalnya, rentan kepentingan global untuk menguasai sumber minyak sehingga invasi asing kian marak terjadi. Oleh sebab itu, semua orang harus terbuka bahwa kasus terorisme tidak semata rekayasa melainkan kejahatan kemanusiaan yang harus dibumihanguskan.
Mustaq Zabidi, Penulis adalah Pegiat di Islami Instiute Jogja.