Belum lama ini publik begitu heboh menanggapi beberapa pasal aneh dalam RKUHP terkait pemidanaan terhadap seorang suami yang memerkosa istri. Banyak pihak beranggapan bahwa pasal itu hanya akal-akalan anggota dewan saja, dalam praktiknya tidak ada istilah suami perkosa istri, karena di samping istri harus patuh dan hormat pada suami, hubungan mereka berada pada koridor yang sah secara hukum.
Lalu, apakah ada istilah suami memerkosa istri dalam Islam, atau sebaliknya? Bagaimana Islam mengajarkan tentang hubungan baik antara suami dan istri.
Tulisan ini akan berusaha mengurai relasi suami-istri dalam konteks ayat “Mereka adalah pakaian bagimu”, sebagaimana tertuang dalam Q.S al-Baqarah: 187, Allah berfirman: “(Para istri) mereka adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka”. Ayat ini mengandaikan bahwa keduanya sama rasa sama rata, saling berkebutuhan satu sama lain, dan tidak ada yang lebih rendah antara satu dengan yang lain.
Selain itu, dalam ayat di atas, Allah SWT dengan tegas menggambarkan pernikahan serta hubungan interelasi antara suami dan istri sebagai pakaian untuk dipakai satu sama lain. Hal ini menarik, karena gambaran tersebut mengandung pemahaman yang sangat mendalam dan isyarat yang penting.
Di antaranya; pertama, pakaian merupakan kebutuhan setiap manusia normal, bahkan pakaian menjadi kebutuhan primer yang tidak bisa ditinggalkan. Hanya manusia yang tidak normal atau berada dalam kondisi kurang waras saja yang tidak menggunakan pakaian.
Demikian pula setiap manusia, membutuhkan pakaian dalam arti pasangan-pasangan. Pria membutuhkan keberadaan wanita dan demikian pula sebaliknya. Tidak bisa dibayangkan bagaimana bila dunia ini hanya diisi oleh laki-laki saja. Makhluk-makhluk lain pun, juga butuh berpasang-pasang, hewan, tumbuh-tumbuhan, alam, dan lain sebagainya.
Hanya saja, dalam konteks manusia, kebutuhan akan pasangan tersebut harus disalurkan melalui jalan yang benar dan sarana yang halal. Manusia tidak seperti hewan yang hanya menyalurkan kebutuhannya melalui hasrat hewani saja. Dengan akal, manusia memiliki standar moral yang dapat memastikan baik-buruknya sebuah perbuatan.
Rasulullah SAW bersabda, ”Wahai para pemuda, siapa di antara kalian yang mampu menikah hendaknya menikah. Sebab, hal itu bisa membuat pandangan lebih terjaga dan kehormatan lebih terpelihara. Siapa yang tidak mampu, hendaknya ia berpuasa, karena puasa merupakan tameng (yang bisa menjaga dari maksiat).” (HR Bukhari Muslim).
Jadi, bila seseorang belum siap menikah, ada banyak jalan agar ia dapat terhindar dari kemaksiatan. Rasulullah, dalam hal ini, mengajurkan kita untuk berpuasa karena puasa dapat menolong orang dalam mengendalikan hasrat libidonya. Namun bila siap secara jasmani dan ruhani, maka ia sangat diharuskan untuk segera menikah.
Kedua, pakaian berfungsi untuk menutupi aurat dan sekaligus melindungi tubuh dari cuaca panas atau dingin. Demikian pula dengan fungsi dan kedudukan suami-istri. Masing-masing harus bisa menutupi dan melindungi pasangannya. Suami harus bisa menutupi aib dan kekurangan istri, dan istri pun harus bisa memahami dan menutupi kekurangan suami.
Pasalnya, suami bukan malaikat yang tidak punya dosa dan istri juga bukan bidadari yang tidak punya salah. Sebagai manusia pastilah keduanya memiliki aib dan kekurangan. Di sinilah suami istri dituntut untuk siap menerima kekurangan pasangannya sekaligus bekerja sama untuk menutupi dan memperbaikinya. Allah befirman, ”Tolong-menolonglah kalian dalam kebaikan dan ketakwaan; jangan tolong menolong dalam dosa dan permusuhan” (QS al-Maidah: 2).
Ketiga, pakaian berfungsi sebagai hiasan bagi pemakainya. Karena itu, dalam hal ini suami-istri harus bisa menjadi hiasan bagi masing-masing. Mereka harus bisa saling menyenangkan, menghibur, dan memberikan yang terbaik. Rasulullah SAW bersabda, ”Sebaik-baik kalian adalah yang terbaik untuk istrinya. Dan, aku adalah orang yang paling baik untuk istriku” (HR at-Tirmidzi).
Membuat pasangan senang dan terhibur bisa dilakukan lewat ucapan, perbuatan, ataupun penampilan. Dan, itulah yang dicontohkan oleh Nabi SAW. Kalau para suami dan istri memahami kedudukan dan fungsi dirinya dalam keluarga secara baik sebagaimana yang disebutkan di atas, tentu keluarga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah akan bisa dicapai dengan mudah.
Rohmatul Izad. Dosen Filsafat di IAIN Ponorogo