Dalam madzhab Syafi’i, niat puasa Ramadhan itu ada beberapa ketentuannya; pertama, niat harus dilakukan malam hari sebelum esoknya berpuasa atau istilahnya “Tabyit”, imam Nawawi dalam kitab al-Majmu’ mengatakan;
تَبْيِيْتُ النِّيةِ شَرْط في صَوْم رَمَضَانِ وَغَيْرِهِ مِنْ الصَّوْمِ الْوَاجِبِ فَلَا يَصِحُّ صَوْمُ رَمَضَانَ وَلَا الْقَضَاءُ وَلَا الْكَفَّارَةُ وَلَا صَوْمُ فدية الحج غيرها مِنْ الصَّوْمِ الْوَاجِبِ بِنِيَّةٍ مِنْ النَّهَارِ بِلَا خِلَافٍ
“Tabyit niat adalah syarat dari puasa Ramadhan dan puasa wajib lainnya. Tidak ada khilaf (ulama) bahwa tidak sah puasa Ramadhan, puasa qadha, puasa kafarat, puasa fidyah haji dan selainnya yang merupakan puasa-puasa wajib apabila niatnya pada waktu siang hari.”
kedua, niat puasa ini juga harus dilakukan setiap hari. Apabila ada orang berniat di awal ramadhan saja, misalnya dia berniat akan berpuasa sebulan penuh, maka semua puasanya di bulan itu tidak sah, kecuali puasa di hari pertama saja.
تَجِبُ النِّيَّةُ كُلَّ يَوْمٍ سَوَاءٌ رَمَضَانُ وَغَيْرُهُ وَهَذَا لَا خِلَافَ فِيهِ عِنْدَنَا فَلَوْ نَوَى فِي أَوَّلِ لَيْلَةٍ مِنْ رَمَضَانَ صَوْمَ الشَّهْرِ كُلِّهِ لَمْ تَصِحَّ هَذِهِ النِّيَّةُ لِغَيْرِ الْيَوْمِ الْأَوَّلِ
“Wajib berniat di tiap hari, baik untuk puasa Ramadhan atau puasa lainnya, masalah ini tidak ada khilaf di antara kami (para ulama syafi’iyah). Apabila ada orang berniat di awal malam Ramadhan akan berpuasa sebulan penuh, maka niatnya ini tidak sah (berlaku) kecuali untuk hari yang pertama saja.”
Namun, sebagai tindakan preventif ketika terjadi lupa tidak niat di hari tertentu, dianjurkan ketika di awal malam Ramadhan untuk berniat puasa sebulan penuh. Syekh Nawawi al-Bantani dalam kitab Nihayatu al-Zain mengatakan:
وَيُسَن فِي أَولِ الشَّهْر أَن يَنْوِي صَوْم جَمِيعه وَذَلِكَ يُغني عَن تجديدها فِي كل لَيْلَة عِنْد الإِمَام مَالك فَيسنّ ذَلِك عندنَا لِأَنَّهُ رُبمَا نسي التبييت فِي بعض اللَّيَالِي فيقلد الإِمَام مَالِكًا
“Disunahkan ketika di awal bulan (Ramadhan) untuk berniat sebulan penuh. (berniat puasa sebulan penuh ini) tidak perlu lagi niat tiap harinya menurut imam Malik. Maka niat (sebulan penuh) ini disunahkan dalam madzhab kami (Syafi’i), karena mungkin saja orang itu lupa berniat di sebagian malam, maka (ketika itu) dia bertaklid kepada fatwanya imam Malik.”
Ketiga, niat puasa itu harus ditentukan spesifikasinya alias di-“Ta’yin”, maksudnya ketika kita berniat puasa, harus disebutkan perinciannya, seperti puasa apa, jenisnya apa dan kapan waktunya. Imam Nawawi mengatakan:
قَالَ الشَّافِعِيُّ وَالْأَصْحَابُ لَا يَصِحُّ صَوْمُ رَمَضَانَ وَلَا قَضَاءٌ وَلَا كَفَّارَةٌ وَلَا نَذْرٌ وَلَا فِدْيَةُ حَجٍّ وَلَا غير ذلك من الصيام الواحب إلَّا بِتَعْيِينِ النِّيَّةِ
“Imam Syafi’i dan ulama-ulama syafi’iyah mengatakan: tidak sah puasa Ramadhan, puasa qadha, puasa kafarat, puasa nadzar, puasa fidyah haji dan puasa waajib lainnya kecuali dengan niat yang di-ta’yin.”
Mudahnya, ketika seseorang hendak berniat puasa Ramadhan, maka ketika malam hari, dia mengatakan dalam niatnya “saya berniat puasa esok hari, yaitu puasa fardhu Ramadhan tahun ini karena Allah Ta’ala”
Para ulama sudah memberi standar ta’yin niat ini, apa saja yang harus disebutkan dan apa yang tidak harus disebutkan.
صِفَةُ النِّيَّةِ الْكَامِلَةِ الْمُجْزِئَةِ بِلَا خِلَافٍ أَنْ يَقْصِدَ بِقَلْبِهِ صَوْمَ غَدٍ عَنْ أَدَاءِ فَرْضِ رَمَضَان هَذِهِ السَّنَةَ لِلَّهِ تَعَالَى
“Tatacara niat yang sempurna, yang sah menurut para ulama tanpa adanya khilaf adalah, seseorang berniat dalam hatinya akan berpuasa esok hari, yaitu puasa fardhu Ramadhan tahun ini karena Allah Ta’ala.”
Ketiga hal di atas, yaitu tabyit niat, niat harus tiap malam dan ta’yin niat, sudah dipahami oleh ulama-ulama kita di Indonesia. Sebagai bentuk pengajaran kepada umat dan implementasi dari teori fiqh Syafi’i, maka para ulama kita menganjurkan agar setiap malam selepas taraweh, jama’ah dibimbing melafadzkan niat, tujuannya, pertama, supaya jama’ah tidak lupa berniat (karena niat harus di malam hari dan di tiap malam), kedua, supaya jama’ah tau perincian niat yang harus disebutkan dalam hati, yaitu niat puasa esok hari, puasa fardhu Ramadhan tahun ini karena Allah Ta’ala, atau dalam bahasa arabnya
نَوَيْتُ صَوْمَ غَدٍ عَنْ أَدَاءِ فَرْضِ رَمَضَان هَذِهِ السَّنَة لِلَّهِ تَعَالَى
“Nawaitu shauma ghadin ‘an adaa i fardhi ramadhani haadzihis sanati lillaahi ta’aala. Artinya: saya niat puasa esok hari, yaitu puasa fardhu Ramadhan tahun ini karena Allah Ta’ala.”
Jadi sangat jelas, bahwa apa yang dilakukan oleh ulama-ulama di tanah air ini bukan asal-asalan, melainkan sebagai bentuk ijtihad dan pengajaran pada umat yang berdasarkan pada madzhab Syafi’i. Adapun beberapa kelompok yang menganggap tidak boleh melafadzkan niat, maka ketahuilah, melafadzkan niat itu dianjurkan menurut mayoritas ulama, cukuplah apa yang dikatakan imam Nawawi yang mewakili madzhab Syafi’i:
وَمَحَلُّ النِّيَّةِ الْقَلْبُ وَلَا يُشْتَرَطُ نُطْقُ اللِّسَانِ بِلَا خِلَافٍ وَلَا يَكْفِي عَنْ نِيَّةِ الْقَلْبِ بِلَا خِلَافٍ وَلَكِنْ يُسْتَحَبُّ التَّلَفُّظُ مَعَ الْقَلْبِ
“Tempatnya niat adalah hati, tidak disyaratkan untuk diucapkan dengan lisan berdasarkan kesepakatan ulama. Tidak sah niat yang tidak dengan hati, (masalah ini ) tidak ada khilaf, tetapi dianjurkan untuk melafadzkan niat dengan lisan bersama (niat) di hati.”