Aisyah ternyata bukan hanya sekedar istri Rasulullah SAW. Walaupun kondisi perempuan pada saat itu memprihatinkan dan berbeda jauh dengan kondisi laki-laki, terutama dalam bidang pengetahuan, Aisyah bisa melaluinya. Bahkan disebutkan ada tiga ilmu yang dikuasai Aisyah.
Hal ini dijelaskan oleh Zainuddin al-Zarkasyi dalam al-Ijabah fi Iradi ma Istadrakathu Aisyah ala Sahabah. Ia mengkurasi 40 kelebihan Aisyah, salah satu di antaranya adalah ia merupakan perempuan paling cerdas di masanya. Salah satu sebabnya, karena ada tiga ilmu yang dikuasai Aisyah.
Hal ini disebut oleh Abu Amr bin Abdul Barr bahwa tiga bidang keilmuan tersebut adalah ilmu fikih, kedokteran, dan syair.
Kehebatan Aisyah dalam hal fikih dan syair ini diakui oleh Urwah bin Zubair. Dalam hal fikih, Urwah memaklumi karena Aisyah adalah istri Rasul. Ia bebas kapan saja belajar dengan Rasulullah SAW. Ia juga bebas kapan saja bertanya permasalahan fikih langsung kepada Rasulullah.
Dalam bidang syair dan ansab (menyebutkan nasab-nasab kaum Arab), Urwah juga memaklumi. Pasalnya ia adalah putri Abu Bakar RA. Laki-laki hebat dan pembesar kaum Quraisy. Namun Urwah agak musykil dengan kemahiran Aisyah dalam ilmu kedokteran. Keanehan yang dirasakan Urwah ini pun ditanyakan langsung kepada Aisyah.
“Wahai Aisyah, dari mana engkau belajar kedokteran?” tanya Urwah.
“Aku belajar sendiri, wahai Urwah,” jawab Aisyah.
“Lalu dengan apa engkau belajar ilmu kedokteran?” tukas Urwah.
“Wahai Urwah, sesungguhnya Rasulullah SAW (saat itu) orang yang sering sakit. Para ahli kedokteran, baik dari orang Arab maupun non-Arab mendatangi dan mengobati beliau. Pada saat itu lah aku banyak belajar dari mereka,” jelas Aisyah.
Urwah pun memahami jawaban Aisyah. Dari penjelasan Aisyah tersebut menunjukkan bahwa Aisyah adalah sosok perempuan yang mampu belajar dengan cepat serta mampu memanfaatkan kesempatan apapun untuk belajar. Tak peduli saat itu budaya Arab memperbolehkan atau tidak memperbolehkan.
Pernyataan Aisyah tersebut diriwayatkan oleh Abu Nuaim al-Asbahani dalam Hilyatul Auliya-nya. Selain itu, juga diriwayatkan oleh al-Hakim dalam Mustadrak–nya, dan disebut sahihul isnad. Pernyataan al-Hakim ini juga diafirmasi oleh ad-Dzahabi dalam Mukhtashar-nya yang menyebutkan bahwa pernyataan Aisyah di atas adalah Sahih ala sarthis sahihain. (AN)
Wallahu a’lam.