Mengisolasi wabah suatu penyakit, seperti Corona, agar tidak sampai menular ke setiap individu di wilayah asalnya merupakan sebuah keharusan dan bahkan wajib. Resikonya, ada beberapa aktifitas rutin menjadi tidak bisa berlangsung sebagaimana kondisi normalnya. Misalnya, aktifitas shalat berjamaah. Aktifitas ini secara tidak langsung menjadi bagian yang terganggu akibat wabah itu. Bahkan dalam kondisi yang parah, aktifitas shalat fardhu berjamaah di masjid bisa ditiadakan. Meskipun demikian, adzan yang merupakan tengara akan masuknya waktu shalat tetap sunnah dikumandangkan. Bahkan bisa meningkat menjadi hukum wajib manakala tidak ditemui adanya perangkat waktu lain yang bisa diakses oleh masyarakat yang tinggal di rumah.
Ketika wabah sudah terjadi dan berlangsung dalam kondisi yang sedemikian rupa, dan adzan tetap harus dikumandangkan, serta adanya tujuan agar masyarakat yang mendengar tidak datang ke masjid karena menyangka bahwa di Masjid telah didirikan shalat berjamaah, maka ada tuntunan mengenai lafadz adzan yang boleh disampaikan.
Dalam kitab hadis Shahih Bukhari, Nomor 666, dan Shahih Muslim, nomor 697, yang diriwayatkan dengan sanad yang disandarkan pada Nafi’, disebutkan:
أَذَّنَ ابْنُ عُمَرَ فِي لَيْلَةٍ بَارِدَةٍ بِضَجْنَانَ ، ثُمَّ قَالَ : صَلُّوا فِي رِحَالِكُمْ ، فَأَخْبَرَنَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَأْمُرُ مُؤَذِّنًا يُؤَذِّنُ ، ثُمَّ يَقُولُ عَلَى إِثْرِهِ : ” أَلاَ صَلُّوا فِي الرِّحَالِ ” فِي اللَّيْلَةِ البَارِدَةِ ، أَوِ المَطِيرَةِ ، فِي السَّفَرِ
“Sahabat Ibnu Umar suatu ketika melakukan adzan pada malam hari di musim dingin di tanah Dajhnan, dan beliau menyerukan: “Shallu fi rihalikum (Shalatlah kalian dengan kelompok rombongan kalian!).” Kemudian kami diberitahunya, sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam suatu ketika memerintahkan seorang muadzin agar menyerukan adzan. Lalu ia berkata setelahnya: “Ingatlah! Shalatlah kalian dengan kelompok rombongan kalian!). Adzan seperti ini dikumandangkan ketika malam hari di musim dingin, atau musim penghujan, saat perjalanan safar.” (HR. Bukhari–Muslim)
Al-Hafidz Ibnu Hajar al-‘Asyqalani mengomentari hadis ini sebagai:
صريح في أن القول المذكور كان بعد فراغ الأذان
“Melihat lafadznya hadis “Ingatlah! Shalatlah kalian bersama kelompok rombongan kalian!” menandakan secara jelas bahwa lafadz seruan ini disampaikan setelah lafadh adzan selesai.” (Fathu al-Bari, Juz 2, halaman 113).
Masih dari Kitab Hadiss yang sama, dalam riwayat yang lain disebutkan:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الحَارِثِ، عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَبَّاسٍ، أَنَّهُ قَالَ لِمُؤَذِّنِهِ فِي يَوْمٍ مَطِيرٍ : ” إِذَا قُلْتَ : أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ ، أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللهِ ، فَلَا تَقُلْ : حَيَّ عَلَى الصَّلَاةِ ، قُلْ : صَلُّوا فِي بُيُوتِكُمْ ” ، قَالَ : فَكَأَنَّ النَّاسَ اسْتَنْكَرُوا ذَاكَ ، فَقَالَ: ” أَتَعْجَبُونَ مِنْ ذَا ؟! ، قَدْ فَعَلَ ذَا مَنْ هُوَ خَيْرٌ مِنِّي، إِنَّ الْجُمُعَةَ عَزْمَةٌ، وَإِنِّي كَرِهْتُ أَنْ أُحْرِجَكُمْ، فَتَمْشُوا فِي الطِّينِ وَالدَّحْضِز
Dari Abdullah ibn Harits, dari Abdullah ibn Abbas radliyallahu ‘anhum, beliau bercerita, bahwa sesungguhnya Baginda Nabi telah memerintahkan kepada Muadzinnya di musim penghujan: “Ketika kamu selesai menyeru: Asyhadu an La ilaha illa allah, Asyhadu anna Muhammadan Rasulullah, maka jangan menyeru: “Hayya ‘ala al-shalah.” Tapi serukanlah: “Shallu fi buyutikum” (Shalatlah kalian di rumah-rumah kalian!)” Demi mendengar keterangan dari Ibnu Abbas itu, Ibnu Haris berkata: “Hari itu, seolah-olah para sahabat mengingkari semua penjelasan Ibnu Abbas.” Sampai, Ibnu Abbas balik bertanya: “Apakah kalian heran dengan keterangan ini!? Pribadi yang jauh lebih baik dari aku, benar-benar telah melakukan itu semua. Sesungguhnya shalat jum’atan itu adalah ‘Azmah (perintah yang tak bisa ditolak). Tapi aku tidak menghendaki kalian keluar dari rumah kalian, lalu berjalan di atas lumpur dengan kesulitan/kepayahan.” (Hadis Riwayat Bukhari dengan Nomor Hadits 668, dan Imam Muslim, dengan Nomor Hadits 699)
Abdul Rahim ibnu Zain al-‘Iraqy memberikan komentar:
وهذا الحديث صريح في أن قول: “صلوا في الرحال” يقال بدلا من “حي على الصلاة
“Hadis di atas secara sharih menyebutkan bahwa lafadz “Shallu fi al-rihal” diucapkan sebagai ganti dari “Hayya ‘ala al-shalah”.” (Al-Hafidh al-Iraqy, Tharhu al-Tatsrib fi Syarhi al-Taqrib, Kairo: Ihya al-Turats al-‘Araby, 2008, Juz 2, halaman 320)
Di dalam Kitabnya, al-‘Iraqy menjelaskan lebih jauh mengenai lafadhnya muadzin: “Shallu fi rihalikum”. Mengapa tidak menggunakan lafadh “hayya” sebagaimana “Hayya ‘ala al-shalah”. Ia menyampaikan:
وبأنَّ قَوْلَهُ صَلُّوا فِي رِحَالِكُمْ، يُخَالِفُ قَوْلَهُ حَيَّ عَلَى الصَّلَاةِ، فَلَا يَحْسُنُ أَنْ يَقُولَ الْمُؤَذِّنُ تَعَالَوْا، ثُمَّ يَقُولُ : لَا تَجِيئُوا
“Sesungguhnya alasan seruan muadzin dalam menggunakan lafadz shollu fi rihalikum, berbeda dengan “hayya ‘ala al-shalah” adalah disebabkan karena “tidak elok jika seorang muadzin menyeru “ta’alau” (Mari melaksanakan shalat!) kemudian setelah itu diserukan “Tapi jangan datang kemari (melainkan shalatlah dirumah)”. (Al-Hafidh al-Iraqy, Tharhu al-Tatsrib fi Syarhi al-Taqrib, Kairo: Ihya al-Turats al-‘Araby, 2008, Juz 2, halaman 320)
Ada dua keterangan menarik dari Al-Hafidz Ibnu Hajar al-‘Asyqalany mengenai dialektika penggunaan lafadz shallu fi rihalikum sebagai ganti dari hayya’alah dalam adzan.
Pertama, dengan menukil dari Ibnu Khuzaimah rahimahullah, Al-Hafidh Ibnu Hajar menjelaskan mengenai maksud ucapan Ibnu Abbas radliyallahu ‘anhuma bahwa:
لأن معنى حي على الصلاة : هلموا إليها، ومعنى الصلاة في الرحال : تأخروا عن المجيء، فلا يناسب إيراد اللفظين معا؛ لأن أحدهما نقيض الآخر
“Lafadz hayya ‘ala al-shalah lebih menunjukkan pada nuansa makna “Berlalulah kalian menuju ke melaksanakan shalat!” Adapun makna al-shalatu fi al-rihal, adalah menunjukkan kesan agar menunda keberangkatan menuju tempat panggilan. Oleh karena itu, tidak cocok bila kedua lafadz yang berbeda nuansa itu disejajarkan penggunaannya. Karena satu sama lain dari kedua lafadz menunjukkan kesan pertentangan.” (Fathu al-Bari, Juz 2, halaman 113)
Kedua, meski demikian, Al-Hafidz Ibnu Hajar al-‘Asyqalani tetap memberikan ruang bagi kemungkinan penyandingan dua lafadh di atas, yakni:
بأن يكون معنى الصلاة في الرحال : رخصة لمن أراد أن يترخص ، ومعنى هلموا إلى الصلاة: ندب لمن أراد أن يستكمل الفضيلة ، ولو تحمل المشقة
“Ada kemungkinan mengumpulkan dua lafadz tersebut dalam satu adzan, yaitu dengan menjadikan makna “Al-shalatu fi al-rihal” sebagai keringanan bagi orang yang menghendaki rukhshah. Sementara itu, maka “Terus berlalulah kalian menuju shalat” disejajarkan dengan makna sunnah bagi orang yang ingin menyempurnakan fadlilah / keutamaan sholat, kendati harus menanggung beban kesulitan.” (Fathu al-Bari, Juz 2, halaman 113)
Imam Nawawi dalam kitab Syarah Shahih Muslim-nya, menyampaikan sebuah ulasan:
في حديث ابن عباس رضي الله عنه أن يقول : ألا صلوا في رحالكم. في نفس الأذان ، وفي حديث ابن عمر أنه قال في آخر ندائه
“Di dalam hadis riwayat Ibnu Abbas, lafadz “Ala shallu fi rihalikum” adalah disampaikan di dalam adzan (menggantikan hayya’alah). Sementara di dalam hadis Ibnu Umar radliyallahu ‘anhu, lafadz itu disampaikan di akhir adzan.” (Syarah Shahih Muslim, Juz 5, halaman 207).
Walhasil kedua model penggunaan sebagaimana yang disampaikan oleh Ibnu Hajar al-Asyqalani adalah sama-sama bolehnya. Namun, beda tata cara mengumandangkan sebagaimana yang Imam Nawawi rahimahullah sampaikan dalam kitabnya. Ibnu Muflih dalam kitabnya “Al-Furu’” Juz 3, halaman 3, beristidlal dengan haditsnya Ibnu Umar dengan menyampaikan, “susunan itu bisa dipraktikkan sesuka muadzin.”