Sejarah telah mencatat mengenai keterlibatan aktif para sahabat perempuan perawi hadis dalam mewarnai tersebarnya hadis di awal-awal pasca wafatnya Rasulillah shallallahu ‘alaihi wasallam. Dalam al-Itqan li al-Suyuthi, terdata ada bahwa Sayyidah Aisyah (w. 57 H) menduduki peringkat pertama dalam penyebaran hadis, dengan riwayat sebanyak 5.965. Hindun binti Abu Umayyah atau yang terkenal dengan Ummu Salamah (w. 59 H), meriwayatkan sebanyak 622 hadis. Ummu Habibah Ramlah binti Abu Sufyan (w. 42 H), meriwayatkan sebanyak 144 hadis, setara dengan Maimunah binti Haris (w. 51 H). Hafshah binti Umar ibn Khathab telah meriwayatkan kurang lebih 147 hadis.
Masih di dalam al-Itqan, al-Suyuthi menjelaskan mengenai keberadaan sahabat yang terkenal dengan penafsirannya, antara lain adalah para khulafa’ rasyidin yang empat, ditambah Ibn Mas‟ud, Ibn Abbas, Ubay ibn Ka‟ab, Zaid ibn Tsabit, Abu Musa al-Asy’ari, dan Abdullah ibn Zubair. Selain keempat nama itu, ada juga nama sahabat Anas ibn Malik, Abu Hurairah, Abdullah ibn Umar, Jabir ibn Abdullah, Abdullah ibn ‘Amr ibn ‘Ash, dan ‘Aisyah. Kelompok kedua ini dibedakan dari kelompok di atas karena riwayat mereka lebih sedikit (Muhammad Husein al-Zahabi, Al-Tafsir wa al-Mufassirun, Beirut: Dar al-Kutub Al-Ilmiyyah, tt., halaman 13). Menariknya, dari kelompok kedua ini terpampang nama Sayyidah ‘Aisyah sebagai representasi dari para sahabat perempuan di masa awal Islam dan berperan selaku mufassir.
Di sinilah, kita akan coba menghadirkan sisi penafsiran Sayyidah Aisyah radliyallahu ‘anhu terhadap Kalamullah al-Munazzal, yakni al-Qur’an.
Adalah sahabat Masruq yang datang menghadap Ummu al-Mukminin Sayyidah Aisyah radliyallahu ‘anha, sebagaimana dalam hadits berikut:
عن مسروق قال: قلت لعائشة: يا أم المؤمنين، هل رأى محمد ربه؟ فقالت: سبحان الله, لقد قَفَّ شعري مما قلت ! ثم قرأت: لا تدركه الأبصار وهو يدرك الأبصار وهو اللطيف الخبير
“Dari Masruq, ia berkata, Aku menghadap dan bertanya kepada Sayyidah Aisyah: Wahai Ummu al-Mu’minin, apakah Baginda Nabi Muhammad pernah melihat Tuhannya? Sayyidah Aisyah menjawab: “Maha Suci Allah, sungguh telah terhenti rasaku mendengar apa yang engkau tanyakan!” Lalu ia membaca sebuah ayat: “Tiada kamu (Muhammad) kan bisa melihatnya dengan mata namun Dialah Maha melihat terhadap mata. Dia Allah Dzat Yang Maha Lembut lagi Maha Pemberi Khabar.” (Tafsir Ibnu Katsir, Cetakan Dar Thayyibah li al-Nasyr wa al-Tauzi’, Juz 7, halaman 452)
Di dalam hadis yang lain, Sayyidah Aisyah memberikan penegasan:
عن عائشة قالت: من حدَّثك أن رسول الله صلى الله عليه وسلم رأى ربَّه فقد كذب!” لا تدركه الأبصار وهو يدرك الأبصار”، وَمَا كَانَ لِبَشَرٍ أَنْ يُكَلِّمَهُ اللَّهُ إِلا وَحْيًا أَوْ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ ، [سورة الشورى: 51]، ولكن قد رأى جبريل في صورته مرتين
“Dari Sayyidah Aisyah radliyallahu ‘anha, ia berkata: “Barangsiapa mengatakan bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah melihat Tuhannya, maka ia benar-benar telah berdusta! “Tiada kamu (muhammad) kan bisa melihat-Nya dengan mata namun Dialah Maha melihat terhadap mata.” “Tiada seorang nabi pun yang diajak berbicara oleh Allah melainkan lewat wahyu atau dari balik hijab.” (Q.S. Al-Syuura: 51). “Akan tetapi, yang dilihat Baginda Muhammad adalah Malaikat Jibril dalam rupanya yang asli sebanyak dua kali.” (Tafsir Ibnu Katsir, Cetakan Dar Thayyibah li al-Nasyr wa al-Tauzi’, Juz 7, halaman 452)
Diriwayatkan dari jalur al-Sya’bi, bahwasanya Sayyidah Aisyah radliyallahu ‘anha pernah berkata:
من قال إن أحدًا رأى ربه فقد أعظم الفرية على الله! قال الله: ” لا تدركه الأبصار وهو يدرك الأبصار
“Barangsiapa ada yang berkata bahwa seseorang telah melihat Tuhannya, maka sungguh ia sebenar-benarnya telah lari dari Allah SWT (kafir). Allah SWT telah berfirman: “Tiada kamu (Muhammad) kan sanggup melihat-Nya dengan mata namun Dialah Maha melihat terhadap mata”. (Tafsir Ibnu Katsir, Cetakan Dar Thayyibah li al-Nasyr wa al-Tauzi’, Juz 7, halaman 452)
Apa yang disampaikan oleh Sayyidah Aisyah radliyallahu ‘anhu ini pada akhirnya mempengaruhi penafsiran sejumlah sahabat. Pertama, terkait dengan kata ganti –hu pada ayat la tudrikuhu al-abshar. Sayyidah Aisyah menjelaskan bahwa dlamir -hu itu adalah kembali kepada Malaikat Jibril alaihi al-salam, sebagaimana yang termuat dalam hadis ke-2 di atas.
Kedua, hadis tersebut secara tidak langsung merupakan kritik terhadap penafsiran Ibnu Abbas radliyallahu ‘anhuma, yang mengatakan bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bisa melihat Allah SWT di saat perjalanan mi’raj dengan mata hatinya. Dengan kata lain, dlamir –hu, memiliki ‘aid kepada Allah. Jadi, melihatnya Nabi dalam ayat tersebut, adalah melihat Allah. Di dalam sebuah hadis yang panjang, sahabat Ibnu Abbas radliyallahu ‘anhuma meriwayatkan:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ” رَأَيْتُ ربِّي فِي أَحْسَن صُورَةٍ، فَقالَ لي: يا مُحَمَّدُ –إلى أن قال- مَا كَذَبَ الْفُؤَادُ مَا رَأَى ,” فَجَعَل نُورَ بَصَري فِي فُؤَادِي, فَنَظَرْتُ إلَيْهِ بفُؤَادِي”
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda: “Aku melihat Tuhanku dengan sebagus-bagus shurah.” Kemudian Dia berfirman kepadaku: “Wahai Muhammad! – sampai dengan firman – Tiada hati kan pernah mendustai apa yang pernah dilihat.” Beliau Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam lalu bersabda: “Maka Dia telah jadikan cahaya penglihatanku pada hatiku, sehingga aku bisa melihat-nya (-Nya) dengan hatiku.” (Tafsir al-Thabary, Juz 22, halaman 502)
Lebih lanjut, sahabat Ibnu Abbas radliyallahu ‘anhuma meriwayatkan penjelas berupa hadis yang lain:
عن ابن عباس, قال: إن الله اصطفى إبراهيم بالخُلَّة, واصطفى موسى بالكلام, واصطفى محمدا بالرؤية صلوات الله عليهم
“Dari Ibnu Abbas radliyallahu ‘anhuma, berkata: Sesungguhnya Allah SWT telah memilih Ibrahim alaihissalam sebagai kekasih-Nya, dan memilih Musa alaihissalam dengan kalam-Nya, serta Baginda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dengan melihat Allah subhanahu wa ta’ala.” (Tafsir al-Thabary, Juz 22, halaman 502)
Argumentasi dari Sayyidah Aisyah radliyallahu ‘anha dan Ibnu Abbas radliyallahu ‘anhuma di atas pada akhirnya memunculkan simpulan penafsiran-penafsiran berikutnya, seperti: bagaimana cara kaum muslimin akan melihat Allah kelak di hari kiamat? Mungkinkah Allah SWT dilihat di dunia? Ataukah bahwa Allah SWT hanya bisa dilihat di akhirat saja?
Demikianlah perdebatan itu hingga akhirnya mengundang banyak rangkaian ilmu kalam, khususnya terkait dengan pokok-pokok dasar agama (ushuluddin). Semua itu disebabkan karena intelektualitas Siti Aisyah radliyallahu ‘anha yang melampaui perempuan dijamannya dan berani mengajukan argumen sesuai dengan apa yang diajarkan oleh Baginda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam secara langsung kepada-Nya.