Beberapa hari yang lalu (21/04) ramai diperingati di seantero negeri sebagai Hari Kartini. Di sekolah-sekolah, perusahaan, bahkan lembaga pemerintahan ramai diselenggarakan lomba-lomba yang bernuansa perempuan, seperti lomba memasak, memakai kebaya, memasang sanggul, merias wajah, dan lainnya.
Sungguh bahagia bila melihat berbagai elemen bersatu padu untuk merayakan dan menyemarakkan peringatan Hari Kartini. Namun, yang hendaknya diperhatikan adalah bagaimana substansi Hari Kartini menjadi ruh setiap peringatan kegiatan, bukan hanya hegemoni dan seremoni yang miskin makna.
Dalam lomba memasak misalnya, bukankah hal tersebut menjadi sebuah simbol bahwa perempuan hanya berkutat pada ranah domestik saja, masyarakat Jawa sering menyebutnya dengan 3-ur (kasur-sumur-dapur), kemudian lomba kebaya bukankah menjadi simbol perempuan itu memiliki langkah gerak terbatas, tidak memiliki jangkauan yang luas, dan lomba lainnya.
Memang lomba-lomba yang diselenggarakan tersebut tidak sepenuhnya salah, tapi alangkah lebih baik jika lomba-lomba yang dilaksanakan memiliki ruh perjungan Kartini. Penentuan Hari Kartini dinisbatkan kepada hari kelahiran Kartini, yaitu 21 April 1879. Kartini berasal dari kalangan priyayi (kelas bangsawan Jawa). Ia merupakan putri dari Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, seorang patih yang diangkat menjadi bupati Jepara setelah Kartini lahir.
Pergolakan batin dalam diri Kartini yang menjadikannya ingin mendobrak kejumudan yang terjadi kala itu. Di mana perempuan sulit terhadap akses pendidikan, sehingga dalam dirinya menggelora apa yang dewasa ini sering disebut emansipasi perempuan, bahwa perempuan harus memiliki pilihan terhadap hidup dan kehidupannya. Maka lomba-lomba seperti orasi tentang peran perempuan, penghargaan terhadap perempuan berprestasi, dan lainnya sudah selayaknya diagendakan sebagai alternatif meneladani spirit juang Kartini.
Sebuah keniscayaan di era global ini, posisi perempuan memiliki andil yang strategis dalam pembangunan bangsa. Dalam jajaran Kabinet Kerja Jokowi saja, bisa dilihat sosok Susi Pudjiastuti, Menteri Kelautan dan Perikanan yang sepak terjangnya sungguh luar biasa, mengamankan laut Indonesia dari jarahan asing.
Kemudian sosok Sri Mulyani Indrawati, Menteri Keuangan, yang beberapa waktu lalu mendapatkan penghargaan Menteri Terbaik di Dunia (Best Minister in the World Award) di World Government Summit yang berlangsung di Dubai, Uni Arab Emirates, dan sederet perempuan lainnya.
Lalu dalam khazanah Islam, bagaimana sebenarnya posisi perempuan dalam gambaran teks-teks suci (baca: Al-Qur’an dan Hadits)? Posisi perempuan tentu sangat dimuliakan, bisa dilihat misalnya dalam hadis-hadis yang menjelaskan para perempuan Anshar Madinah di masa Rasul. Mereka dicitrakan sebagai perempuan aktif, bebas, dinamis, kritis, bertanggung jawab dan mandiri, namun tetap santun, sopan, dan terpelihara akhlaknya. Mereka aktif dalam berbagai bidang kehidupan, di ranah publik maupun di ranah domestik.
Sejumlah hadis melukiskan para istri Rasul sebagai perempuan yang kritis, aktif, dinamis, dan peduli terhadap persoalan masyarakatnya, serta terlibat dalam aktivitas publik, baik dalam kondisi damai maupun perang. Rasulullah tidak membuat diskriminasi terhadap mereka dalam menjalankan peran-peran sosial.
Bahkan, Al-Qur’an menjelaskan dengan jelas tipe ideal perempuan Islam (muslimah) sebagai pribadi yang memiliki kemandirian dalam berbagai bidang kehidupan, Siti Musdah Mulia (2006: 18) menyebutkan citra tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:
Pertama, muslimah harus memiliki kemandirian politik, al-istiqlal al-siyasah (QS. Al-Mumtahanah, 60:12), seperti figur ratu Bilqis pemimpin ‘arsyun ‘azhim atau kerajaan super power (QS. Al-Naml, 27:23). Kemandirian politik dapat juga diwujudkan dalam bentuk gerakan “oposisi” terhadap berbagai kebobrokan dalam masyarakat dan keberanian menyampaikan kebenaran, dan Al-Qur’an secara tegas mengizinkan kaum perempuan melakukannya (QS. Al-Taubah, 9:71).
Kedua, muslimah harus memiliki kemandirian dalam bidang ekonomi, al-istiqlal al-iqtishadi (QS. An-Nahl, 16:97), seperti figur perempuan pengelola peternakan dalam kisah Nabi Musa di Madyan (QS. Al-Qashas, 28:23).
Ketiga, muslimah harus memiliki kemandirian dalam bidang individual, al-istiqlal al-syakhshi, misalnya keberanian menentukan pilihan pribadi yang diyakini kebenarannya sekalipun berhadapan dengan suami bagi perempuan yang sudah menikah (QS. Al-Tahrim, 66:11) atau menantang pendapat orang banyak (public opinion) (QS. Al-Tahrim, 66:12).
Islam adalah agama yang rahmatan li al-‘alamiin, artinya agama yang menebarkan rahmat bagi semesta alam. Dan salah satu bentuk dari rahmat itu adalah pengakuan Islam terhadap keutuhan kemanusiaan perempuan. Ukuran kemuliaan seorang manusia di hadapan Allah SWT adalah prestasi dan kualitas takwanya, tanpa membedakan jenis kelaminnya (QS. Al-Hujurat, 49:13).
Perempuan atau laki-laki berpotensi untuk menjadi manusia yang paling bertakwa. Al-Qur’an tidak memberikan keutamaan kepada jenis kelamin tertentu. Semua manusia tanpa dibedakan jenis kelaminnya mempunyai potensi yang sama untuk menjadi ‘abid dan khalifah (QS. Al-Nisa’, 4:124 dan QS. Al-Nahl, 16:97).
Tidaklah mengherankan jika pada masa Nabi SAW, ditemukan sederetan nama perempuan yang memiliki kemampuan dan prestasi cemerlang sebagaimana diraih oleh laki-laki, seperti Khadijah, Aisyah, dan lainnya. Al-Qur’an memberikan jaminan kepada semua perempuan sesuai posisi masing-masing untuk secara bebas berkiprah dalam berbagai sektor kehidupan di masyarakat, termasuk politik, ekonomi, dan berbagai sektor publik lainnya. Akhirnya.