Pagi ini seperti biasa, saya menaiki bus Transjakarta menuju tempat kerja. Tapi ada yang berbeda saat pandangan saya tertuju pada supir bus, sang supir adalah perempuan muslimah. Ia tampak masih muda, stylenya trendy, kepalanya dibalut dengan jilbab navy bercorak bunga. Sambil memasang kaca mata cokelat, supir itu tampak enjoy menyetir meski jalanan padat merayap.
Tiba-tiba ada sebuah truk melintas di samping bus kami, seorang laki-laki di sana bersegera mengeluarkan ponselnya, kemudian merekam sambil memanggil sang supir Transjakarta. Mungkin dia kaget sekaligus kagum melihat supir busnya adalah perempuan.
Di Indonesia, perempuan memang diberikan kebebasan memilih pekerjaan yang dikehendakinya. Meskipun pekerjaan sebagai supir bus masih cukup tabu, tapi saya sendiri beberapa kali melihat perempuan menyetir bus transjakarta atau bus tingkat di Jakarta. Saya juga beberapa kali mendapatkan driver ojek online perempuan.
Jika kalian berkunjung ke Bank BRI di kawasan Ciputat, kalian juga akan menemukan petugas keamanan banknya adalah perempuan. Tidak hanya itu, saat saya berkunjung ke Pesantren Gontor Mantingan beberapa tahun lalu, saya bahkan melihat banyak ibu-ibu yang menjadi kuli bangunan, mereka tanpa takut memasang bongkahan-bongkahan bata pada bangunan yang cukup tinggi di Pesantren Gontor.
Jangan remehkan perempuan Indonesia, banyak perempuan Indonesia yang berkontribusi besar untuk negara dan bangsa, dari mulai pahlawan-pahlawan masa penjajahan hingga perempuan modern zaman sekarang.
Siapa tak kenal Kartini, ikon emansipasi perempuan di Indonesia yang dengan gigih memperjuangkan pendidikan untuk perempuan. Demi memperingati jasa besarnya, tanggal 21 April bahkan diperingati sebagai hari Kartini.
Di tanah Aceh kita mengenal Cut Nyak Dien, pahlawan yang gigih berperang secara gerilya melawan Belanda. Sedangkan di tanah Sunda kita mengenal Dewi Sartika, perintis pendidikan untuk kaum perempuan yang juga dinobatkan sebagai Pahlawan Nasional.
Di masa kini, kita juga menemukan banyak perempuan tangguh yang bergerak dalam berbagai bidang. Dalam bidang fikih, kita mengenal Huzaemah Tahido Yanggo, rektor Institut Ilmu al-Qur’an Jakarta yang karir intelektualnya tak diragukan lagi.
Dalam bidang jurnalistik, ada Najwa Shihab, jurnalis senior yang memiliki ketajaman berpikir dan sangat piawai dalam mewawancarai lawan bicaranya. Ada pula Susi Pudjiastuti, mantan Menteri Kelautan dan Perikanan yang terkenal dengan ketegasannya menghadapi para pencuri ikan. Ia bahkan termasuk satu dari 100 tokoh pemikir terbaik dunia versi Majalah Foreign Policy.
Jika contoh perempuan masa kini belum cukup, coba kita tengok para perempuan di masa Rasulullah SAW. Mari kita ingat kembali bagaimana piawainya istri Rasulullah SAW, Khadijah binti Khuwailid dalam berniaga, juga keberanian Nusaibah binti Ka’ab al-Anshariyah dalam menghadapi musuh di medan perang.
Ada pula Aisyah binti Abu Bakr, istri Rasulullah SAW yang senantiasa menyebarkan ilmu hingga akhir hayatnya. Tak lupa pula Ummu Salamah, istri Rasulullah SAW yang selalu lantang membela hak-hak perempuan, dan masih banyak lagi sahabat perempuan lainnya. Peran para sahabat perempuan itu menunjukkan bahwa Islam pun tak membatasi kontribusi perempuan di ruang publik.
Beberapa bulan lalu, saya sempat bertemu dengan kawan asal Jepang yang sedang melakukan penelitian di Indonesia. Saat itu kami berbincang tentang media Islam dan politik di Indonesia. Kawanku menyampaikan kekagumannya tentang Indonesia, terutama tentang peran perempuan dalam panggung politik. Menurutnya, Indonesia memberikan peluang besar bagi para perempuan dalam dunia politik, hal yang sungguh berbeda dengan keadaan perempuan di negeri semaju Jepang.
Tirto.id pernah juga memuat liputan berjudul “Problem Perempuan Jepang: Dilarang Punya Karier Tinggi” pada Agustus 2018. Liputan itu menceritakan kisah Riko Miyauchi yang bercita-cita menjadi dokter.
Demi menggapai cita-citanya, Riko mendaftar di Tokyo Medical Shool, namun ternyata kampus itu mencurangi skor tes masuk agar pelamar laki-laki bisa mendapat nilai bagus, sementara skor perempuan akan anjlok. Alasannya klise: dokter perempuan diklaim akan terganggu kerjanya usai berumah tangga dan punya anak. Jepang secara sengaja memang menekan jumlah dokter perempuan.
Jepang memang dikenal sebagai negara modern yang kultur masyarakatnya masih bersifat patriarkis. Para perempuan di Jepang seringkali didomestifikasi dan dicurangi, bahkan kalaupun mereka berhasil bekerja, tak jarang mereka didiskriminasi dan diperlakukan tidak adil.
Ini baru berbicara tentang negara Jepang, belum lagi negara-negara lainnya yang juga melakukan diskriminasi pada perempuan. Di negara demokrasi ini, perempuan bebas berekspresi, mereka bisa menjadi apapun yang mereka inginkan, mereka bebas belajar setinggi-tingginya dan bebas menjadi apa saja, bahkan hak-hak perempuan juga dijamin. Jadi buat kamu perempuan Indonesia, yuk belajar setinggi-tingginya dan jangan ragu menggapai cita-cita yang kamu inginkan!
Wallahu a’lam.
Artikel ini diterbitkan kerja sama antara islami.co dengan Direktorat Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik Kemkominfo