Akhir-akhir ini, istilah bid’ah menjadi sangat populer di Indonesia. Ia kembali mencuat setelah kurang lebih satu abad tak lagi diperbincangkan. Sayangnya, kehadiran kembali istilah bid’ah telah disalahgunakan. Istilah bid’ah telah direduksi dan dihidupkan dengan penuh kebencian. Ia dihadirkan kembali dalam narasi penyerangan, bahkan pengkafiran terhadap kelompok Islam tertentu.
Keadaan semacam ini tentu sangat menghawatirkan. Jika dibiarkan, hal tersebut tak hanya mengancam intregitas umat Islam di Indonesia, tapi juga intregitas bangsa ini. Oleh karena itu, istilah bid’ahi (membidahkan) perlu ditinjau ulang untuk mengatasi kesalahpahaman, sehingga sebagai umat Islam kita tidak ceroboh dan tergesa gesa dalam menilai kelompok tertentu, terlebih mengkafirkan atau menyerang kelompok lain.
Di negeri tercinta ini, diskursus mengenai bid’ah bukanlah merupakan sesuatu yang baru. Kurang lebih seabad yang lalu, Syaikh Hasyim Asy’ari telah membahas hal itu dalam kitabnya “Risalah Ahl As-Sunnah wa Al-Jama’ah”. Beliau mengulas istilah bid’ah dalam pasal pertama, tepat setelah beliau mengakhiri muqaddimah kitab tersebut.
Secara definitif, istilah bid’ah dinegasikan dengan as-sunnah yang secara bahasa berarti thariqah/jalan. Dalam istilah syara’, as-sunnah berarti jalan beragama yang telah diridlai dan dipraktikkan oleh Nabi maupun sahabatnya. Difinisi tersebut kemudian berkembang menjadi sesuatu yang ditekuni oleh orang-orang yang patut dianut, yaitu Nabi.
Sedangkan bid’ah menurut syara’ berarti pembaruan sesuatu dalam wilayah agama dimana sesuatu tersebut menyerupai agama padahal bukan, perubahan tersebut baik secara esensi maupun bentuknya saja. Pendapat yang dikutib dari Syaikh Zaruq ini didasarkan pada dua hadis Nabi yaitu hadis yang menjelaskan tentang tertolaknya pembaruan dalam agama dan hadis yang menjelaskan bahwa semua pembaruan disebut sebagai bid’ah.
Namun, hal ini bukan berarti setiap pembaharuan bisa disebut sebagai bid’ah. Menurut ijitihad para ulama’, bid’ah merupakan suatu pembaharuan hukum dengan meyakini sesuatu yang bukan meupakan bentuk qurbah (upaya mendekatkan diri pada Allah) sebagai suatu qurbah. Dengan begitu, tidak semua pembaharuan dapat disebut sebagai bid’ah.
Terkait hal ini, ada tiga sudut pandang yang dapat dipakai untuk menilai apakah sesuatu bisa disebut sebagai bid’ah atau tidak.
Pertama, dilihat dari sesuatu yang diperbarui, jika sebagaian besarnya terdapat dalam syari’at maka hal tersebut bukanlah merupakan bid’ah, dan jika sebaliknya, maka sesuatu tersebut barub dapat disebut sebagai bid’ah. Namun, jika sesuatu tersebut terjadi berulang-ulang (tradisi), atau tercampur dengan sesuatu yang syubhat, maka dihukumi sesuai unsur yang dikandungnya.
Kedua, ditinjau dari kaidah-kaidah para Imam (madzhab) dan salafussalih yang mempraktikkan sunnah. Pembaruan yang tidak sedikitpun sesuai dengan kaidah-kaidah disebut sebagai bid’ah. Pembaruan yang masih memiliki sisi kesesuaian dengan kaidah-kaidah dan dasar hukum, maka tidaklah disebut sebagai bid’ah. Bahkan, Imam Syafi’i menegaskan bahwa tradsi keagamaan yang secara jelas tidak dilarang oleh sunnah bukanlah merupakan bid’ah, semisal berdzikir dan berdo’a dengan suara keras atau dilakukan dengan berjama’ah.
Ketiga, ditinjau dari aspek dalil-dalil hukum syari’at yang terperinci dalam enam bentuk, yaitu wajib, sunnah, haram, makruh, khilaf al-ula, dan ibahah (diperbolehkan). Setiap hal yang condong kepada dalil tertentu yang sahih dan jelas, maka hukumnya dapat di-ilḥaq-kan/disamakan dengan sesuatu yang ada dalam dalil tersebut. Jika sebaliknya, maka barulah dikatakan sebagai bid’ah.
Masih megutip pendapat Syaikh Zaruq, Kyai Hasyim Asy’ariy memaparkan macam-macam bid’ah. Pertama, Bid’ah yang jelas (al-Bid’ah al-Ṣariḥah), yaitu sesuatu yang tidak memiliki pondasi syara’ sebagai lawan dari sesuatu yang telah ditetapkan oleh syara’, sehingga ia mematikan sunnah atau membatalkan sesuatu yang haqq. Bid’ah seperti ini merupakan jenis bid’ah yang paling buruk, meskipun telah disandarkan pada ribuan dalil.
Kedua, al-Bid’ah al-Idhafiyyah, yaitu bid’ah yang disandarkan pada sesuatu yang lain. Jika sesuatu tersebut diterima secara syara’, maka bid’ah tersebut diperbolehkan, atau sebaliknya. Hal ini seperti halnya contoh yang ada dalam sudut pandang kedua dalam mengidentifikasi bid’ah.
Ketiga, al-bid’ah al-khilafiyyah (bid’ah yang diperselisihkan), yaitu bid’ah yang memiliki dua landasan sekaligus, semisal praktik dzikir berjama’ah. Para ulama’ memiliki pendapat yang berbeda terkait praktik dzikir semacam ini. Menurut Imam Malik, hal tersebut merupakan bid’ah, sedangkan menurut iama Syafi’i hal tersebut bukanlah bid’ah karena tidak ada dalil yang secara khusus melarang praktik tersebut.
Hal serupa juga terjadi pada hal lain semisal sesuatyang bersifat ijtihadiy dimana tidak ada penghubung secara langsung antara sebuah praktik dengan dalil, kecuali dzann (pandangan) dari mujtahid, penulisan mushaf, menulisan kitab nahwu, ilmu hitung dan lain-lain.
Oleh karena itu, Syaikh Izzuddin Ibn Abdussalam memiliki definisi dan pembagian tesendiri terkait bid’ah. Menurutnya, yang dimaksud dengan bid’ah adalah segala sesuatu yang tidak diketahui atau tidak dipraktikkan di masa Rasullah. Selanjutnya, ia membagi hukum sesuatu yang baru (al-ḥawadis) menjadi lima, yaitu wajib, haram, sunnah, makruh dan mubah.
Dari paparan Mbah Hasyim tersebut, setidaknya dapat kita ketahui bahwa tidak semua hal yang bersifat baru bisa dikatakan sebagai bid’ah yang dilarang agama. Penetapan status terkait sesuatu, apakah disebut bid’ah atau tidak, perlu didasari landasan hukum yang kuat juga analisis yang matang.
Sehingga tidaklah patut bagi seseorang untuk membid’ahkan, mengkafirkan atau menyerang kelompok lain di luar kelompoknya. Dalam mendakwahkan Islam, alangkah baiknya kita mengedepankan akhlak terpuji seperti yang telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW.
Wallahu A’lam.