Ngaji Shahih Bukhari di Masjid Manarul Ilmi ITS tadi pagi sampai pada hadis no 302, di antara isi hadis tersebut bahwa wanita berpengaruh dalam menghilangkan kecerdasan laki-laki.
Kyai Hasyim Muzadi sering dawuh bahwa lelaki yang pandai jika dimarahi oleh istrinya maka akan hilang kepandaiannya. Mengapa istri sampai marah kepada suami padahal tak jarang suaminya adalah orang terpandang, berpangkat, atau bahkan Kyai?
Ada satu maqalah dalam kitab Tasawuf Nuzhat Al-Majalis:
إذا صدقت المحبة سقط الأدب
“Jika cinta sudah benar-benar terbukti, maka gugurlah etika”.
Jika banyak wanita kepada laki-laki tersebut menaruh hormat, setiap lewat di depannya pakai “permisi”, dan etika lainnya, maka hal itu tidak berlaku bagi istri. Karena cinta dari istri sudah tidak diragukan lagi.
Tetapi bagaimanakah marah yang dicontohkan oleh istri Rasulullah shalallahu alaihi wasallam? Berikut penjelasannya:
ﻋَﻦْ ﻋَﺎﺋِﺸَﺔَ ﺭَﺿِﻲَ اﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻨْﻬَﺎ، ﻗَﺎﻟَﺖْ: ﻗَﺎﻝَ ﻟِﻲ ﺭَﺳُﻮﻝُ اﻟﻠَّﻪِ ﺻَﻠَّﻰ اﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ: «ﺇِﻧِّﻲ ﻷََﻋْﻠَﻢُ ﺇِﺫَا ﻛُﻨْﺖِ ﻋَﻨِّﻲ ﺭَاﺿِﻴَﺔً، ﻭَﺇِﺫَا ﻛُﻨْﺖِ ﻋَﻠَﻲَّ ﻏَﻀْﺒَﻰ
“Kata Aisyah bahwa Nabi SAW berkata kepadanya, ‘Aku tahu kapan kau senang kepadaku dan kapan kau marah padaku.”
ﻗَﺎﻟَﺖْ: ﻓَﻘُﻠْﺖُ: ﻣِﻦْ ﺃَﻳْﻦَ ﺗَﻌْﺮِﻑُ ﺫَﻟِﻚَ؟
“Saya bertanya, ‘Dari mana engkau tahu?'”
ﻓَﻘَﺎﻝَ: ﺃَﻣَّﺎ ﺇِﺫَا ﻛُﻨْﺖِ ﻋَﻨِّﻲ ﺭَاﺿِﻴَﺔً، ﻓَﺈِﻧَّﻚِ ﺗَﻘُﻮﻟِﻴﻦَ: ﻻَ ﻭﺭﺏ ﻣﺤﻤﺪ، ﻭَﺇِﺫَا ﻛُﻨْﺖِ ﻋَﻠَﻲَّ ﻏَﻀْﺒَﻰ، ﻗُﻠْﺖِ: ﻻَ ﻭَﺭَﺏِّ ﺇِﺑْﺮَاﻫِﻴﻢَ
“Nabi menjawab, ‘Jika kau senang padaku maka kau akan berkata, ‘Demi Tuhannya Muhammad’. Jika kau marah maka kau berkata, ‘Demi Tuhannya Ibrahim.'”
ﻗَﺎﻟَﺖْ: ﻗُﻠْﺖُ: ﺃَﺟَﻞْ ﻭَاﻟﻠَّﻪِ ﻳَﺎ ﺭَﺳُﻮﻝَ اﻟﻠَّﻪِ، ﻣَﺎ ﺃَﻫْﺠُﺮُ ﺇِﻻَّ اﺳْﻤَﻚَ
“Saya berkata, ‘Benar wahai Rasulullah. (Jika saya marah) saya hanya meninggalkan namamu.'” (HR: Bukhari)
Jadi marahnya istri yang sesuai sunnah adalah cukup tidak menyebut nama suami. Jika istri sampai pergi meninggalkan rumah maka marah yang keluar dari sunnah.