“Ya Allah, kokohkanlah Islam melalui salah satu lelaki yang paling Kau cintai, Umar bin Khattab atau Abu Jahal bin Hisyam,” demikian munajat Rasulullah SAW kepada Allah SWT.
Di kemudian hari, doa putra Abdullah ini benar-benar terwujud. Umar bin Khattab, sang pembeda antara hak dan bathil mendapatkan pancaran hidayah dari Sang Ilahi Rabbi.
Dalam ar-Rahiq al-Makhtum dinyatakan, munculnya keimanan dalam hati Umar bin al-Khattab sejatinya berjalan berangsur-angsur.
Pertama, karena lantunan al-Qur’an yang ia dengar langsung dari lisan Rasulullah SAW.
Ketika itu Umar keluar di malam hari, ia melewati Ka’bah lalu menyibak kain penyingkapnya. Ternyata Nabi SAW sedang berdiri melaksanakan shalat di sana. Beliau membaca permulaan surat al-Haqqah.
Umar hanya mematung dan mendengarkan bacaan tersebut. Diam-diam ia menyimpan ketakjuban pada lafaz-lafaznya. Namun hatinya tetap berupaya mengingkari. “Demi Allah ini pasti hanyalah syair seperti yang dikatakan orang-orang Quraisy.”
Pemikiran Umar langsung terbantahkan lantaran Rasulullah SAW kemudian membaca
إِنَّهُ لَقَوْلُ رَسُولٍ كَرِيمٍ (40) وَمَا هُوَ بِقَوْلِ شَاعِرٍ قَلِيلًا مَا تُؤْمِنُونَ
“Sesungguhnya Al-Quran itu adalah benar-benar wahyu (Allah yang diturunkan kepada) Rasul yang mulia (40) dan Al Quran itu bukanlah perkataan seorang penyair. Sedikit sekali kamu beriman kepadanya (41)”
“Jika bukan perkataan penyair, pasti ia dibuat oleh tukang tenung,” ucap Umar dalam hati.
Akan tetapi di ayat selanjutnya Rasulullah SAW membaca:
وَلَا بِقَوْلِ كَاهِنٍ قَلِيلًا مَا تَذَكَّرُونَ (42) تَنْزِيلٌ مِنْ رَبِّ الْعَالَمِينَ (43
Dan bukan pula perkataan tukang tenung. Sedikit sekali kamu mengambil pelajaran daripadanya. (42) Ia adalah wahyu yang diturunkan dari Tuhan semesta alam (43)
Rasulullah SAW terus membaca hingga penghabisan surah. Sedangkan Umar hanya termenung.
Sejak saat itu, benih-benih Islam sejatinya sudah mulai muncul di hatinya. Akan tetapi kecenderungan sifat jahiliyah, fanatisme kabilah dan penghormatan pada agama nenek moyang telah menguasai hati dan pikiran lelaki bergelar al-Faruq ini. Sehingga ia masih tetap memusuhi Islam.
Kedua, peristiwa di kediaman adiknya, Fatimah binti al-Khattab.
Di puncak kebenciannya pada ajaran Islam, Umar memutuskan untuk membunuh Nabi Muhammad SAW. Maka disiapkannya pedang yang amat tajam. Tanpa ragu, ia segera menuju rumah Rasulullah SAW.
Di perjalanan, ia bertemu dengan lelaki bernama Nu’aim bin Abdullah an-Nuham al-Adawi.
“Mau ke manakah engkau wahai Umar?” sapanya.
“Aku hendak menghabisi Muhammad!” jawab Umar lantang.
“Bagaimana engkau bisa aman dari pembalasan Bani Hasyim dan Bani Zuhrah jika kau membunuh Muhammad?” ucap Nu’aim.
“Sepertinya engkau juga telah meninggalkan agamamu,” Umar berkomentar.
Salah tingkah karena dicurigai, Nu’aim mencoba mengalihkan pembicaraan.
“Maukah ku kabarkan kepadamu sesuatu yang lebih mencengangkanmu Umar? Saudarimu beserta suaminya pun telah meninggalkan agama yang kau yakini,” tutur Nu’aim.
Kabar itu begitu mengejutkannya hingga ia tak mampu berkata. Lelaki yang dikenal dengan wataknya yang keras itu akhirnya mengubah rute menuju kediaman Fatimah, saudarinya.
Benar saja, sesampainya di sana, Umar mendengar lantunan Al-Qur’an sedang dibacakan Khabab bin al-Arat kepada Sa’ad dan Fatimah binti al-Khattab.
Menyadari kedatangan Umar, Khabab segera menyelinap ke dalam, sedangkan lembaran kitab suci itu disembunyikan oleh Fatimah.
“Bisik-bisik apa yang kudengar dari dalam rumah kalian?” bentak Umar.
“Hanya percakapan biasa saja di antara kami,” ucap Fatimah dan suaminya.
“Jangan-jangan kalian telah menganut agama baru itu.”
Maka sang ipar berkata, “Hai Umar, bagaimana menurutmu jika kebenaran ada di luar agamamu?”
Umar geram, ia segera lompat dan menginjak Sa’ad. Fatimah yang menyaksikan suaminya diperlakukan kasar berupaya melerai, namun hantaman pukulan justru mengenai Fatimah hingga wajahnya berdarah.
Sang adik kemudian berkata, “Wahai Umar jika memang kebenaran itu berada di luar agamamu, bersaksilah bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah.”
Melihat adiknya terluka, Umar mulai menyesal dan malu, ia lalu berkata, “Coba berikan padamu al-Kitab yang tadi engkau baca.”
“Tidak, engkau orang najis, Al-Kitab ini hanya boleh disentuh oleh orang orang-orang suci. Pergilah mandi dulu.”
Umar akhirnya bergegas mandi kemudian barulah mengambil Kitab itu dan membaca “Bismillahirrahmaanirrahim.”
“Betapa indah dan sucinya kalimat ini,” komentar Umar.
Ia kemudian membaca surah Taha, saat selesai di ayat 14, Umar kembali terkagum-kagum, “Indah dan mulia sekali kalam ini. Antarkanlah aku menemui Muhammad.”
Khabab yang mendengar pernyataan Umar segera keluar dari persembunyiannya, “Berbahagialah hai Umar, aku benar-benar berharap agar doa Rasulullah SAW pada malam Kamis itu terkabul pada dirimu.”
Maka berangkatlah Umar menuju Darul Arqam, sebuah tempat di kaki bukit Shafa. Tempat Rasulullah SAW berdakwah kepada para sahabatnya. Kali ini Umar bukan bermaksud membunuh Nabi, melainkan bersyahadat dan menyatakan keislamannya.
Sesampainya di sana, Umar mengetuk pintu. Seorang sahabat mengintip dari celah-celah pintu. Dilihatnya Umar berdiri tegak dengan pedang di pinggangnya. Seluruh isi rumah panik. Mereka berkumpul hendak melindungi Nabi SAW.
“Ada apa dengan kalian?” ucap Hamzah bin Abdul Muthalib.
“Umar datang,” jawab mereka.
“Memangnya kenapa dengan Umar? Buka pintunya. Jika dia bermaksud baik, kita akan menyambutnya. Jika dia bermaksud buruk, kita bunuh dia dengan pedangnya sendiri,” ucap Hamzah yang saat itu baru memeluk Islam selama tiga hari.
Maka, dibukalah pintu, Umar masuk dan Rasulullah SAW menemui Umar. Beliau memegang baju dan hulu pedang Umar, lalu menariknya keras-keras seraya berkata, “Tidakkah engkau mau menghentikan tindakanmu wahai Umar, sampai Allah mendatangkan kehinaan kepadamu seperti yang menimpa Walid bin Mughirah? Ya Allah, inilah Umar bin Khattab, Ya Allah, kokohkanlah Islam dengan Umar bin Khattab.”
“Aku bersaksi tiada tuhan selain Allah dan Engkau adalah utusan Allah,” ucap Umar begitu yakin.
Haru biru menyelimuti Darul Arqam, seluruh sahabat bertakbir bahagia menyambut keislaman Umar, suara mereka begitu lantang hingga terdengar ke Masjidil Haram.
Demikianlah, sejak saat itu Umar bin Khattab resmi berada di barisan Islam. Kekuatan kaum musyrikin Makkah semakin meredup, sedangkan cahaya Islam makin kuat dengan keberadaan Umar. (AN)