Islami.co (Tangerang Selatan) – Mantan aktivis JI, Fuad Junaedi, memaparkan sejarah berdirinya organisasi terorisme itu hingga akhirnya membubarkan diri. Kelompok tersebut awalnya berdiri karena didasari keyakinan bahwa Indonesia adalah negara kafir yang tidak sejalan dengan ajaran Islam. Namun, sejak tahun 2016, JI mulai membuka diri dan mempelajari ideologi Pancasila. “JI sudah mulai mempelajari Pancasila dan berencana membubarkan diri sebelum gelombang penangkapan pada tahun 2019,” ujar Junaedi.
Meskipun JI tidak pernah terdaftar resmi sebagai organisasi, dialog antara tokoh JI dan Densus 88 berhasil menciptakan pemahaman baru mengenai kesesuaian Pancasila dengan nilai-nilai Islam yang dianut oleh JI.
Pembubaran resmi JI terjadi pada 30 Juni 2024. Awalnya pertemuan tersebut dimaksudkan untuk evaluasi diri terkait ekstremisme dalam JI. Namun akhirnya berujung pada kesepakatan pembubaran dini.
“Pembubaran JI bukan karena ketakutan, tetapi merupakan hasil dari proses keilmuan,” ujar Junaedi dalam Seminar Nasional bertajuk “Mengikis Benih yang Pernah Tumbuh: Islamisme Pasca Pembubaran Jamaah Islamiyah (JI)” yang diselenggarakan oleh El-Bukhari Institute bekerja sama dengan Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Densus 88 (10/10).
Muhammad Syauqiillah, Ketua Program Studi Kajian Terorisme UI, menanggapi pembubaran JI sebagai puncak keberhasilan program deradikalisasi oleh aparat penegak hukum. Syauqiillah juga mengapresiasi niat baik dari pihak JI untuk mengakui kesalahan dan meminta maaf.
Namun, ia menekankan perlunya penyelidikan mendalam untuk memastikan apakah ekstremisme di dalam tubuh JI benar-benar sudah berubah.
Ia menambahkan, “Belum ada model penanganan eks-terorisme yang ideal di dunia, sehingga monitoring berkala dan roadmap integrasi JI masih diperlukan dalam satu hingga dua dekade ke depan.”
Noor Hadi Ismail, pendiri Yayasan Prasasti Perdamaian, juga turut berkomentar dalam seminar ini. Setelah bertemu dengan beberapa anggota JI, ia menilai bahwa meskipun organisasi ini telah berusaha beradaptasi, masih ada pemimpin JI yang belum sepenuhnya sejalan dengan Pancasila. Ia menyebutkan pentingnya dialog lebih lanjut untuk memastikan integrasi penuh dalam tatanan bernegara.
Dalam sambutannya, Prof. Ismatu Ropi, Selaku Dekan Fakultas Ushuluddin, menjelaskan pentingnya seminar ini dalam memperdalam pemahaman tentang kelompok radikal seperti Jamaah Islamiyah (JI), sekaligus menjadi sarana untuk memperkuat moderasi beragama di tengah masyarakat.
“Kita perlu memahami bagaimana kelompok-kelompok radikal bekerja dan berpikir, sehingga kita bisa menciptakan solusi preventif yang berbasis pada ilmu pengetahuan dan dialog antaragama,” ujarnya.
Prof. Ismatu juga menyoroti pentingnya kerja sama antara lembaga akademik dan institusi penelitian seperti El-Bukhari Institute dalam menyebarkan pemahaman yang seimbang dan berlandaskan ilmu.
“Dengan adanya kajian seperti ini, kita berharap dapat memberi kontribusi nyata dalam memitigasi potensi radikalisme dan menyebarkan pesan Islam yang moderat dan damai,” tambahnya.
Sementara itu, Direktur El-Bukhari Institute, Abdul Karim Munthe berharap seminar ini dapat mendorong mahasiswa dan peserta yang hadir untuk berpikir kritis dalam menghadapi ideologi radikal yang dapat memecah belah bangsa. “Ekstremisme adalah salah satu ancaman nyata bagi persatuan Indonesia, dan melalui diskusi ini, kami berupaya menyebarkan kesadaran akan bahaya tersebut,” ungkapnya.