Ingat Ibumu, Ia Tidak hanya Madrasah Pertama Bagi Anak

Ingat Ibumu, Ia Tidak hanya Madrasah Pertama Bagi Anak

Apakah hanya ibu yang jadi sekolah pertama bagi anak-anak

Ingat Ibumu, Ia Tidak hanya Madrasah Pertama Bagi Anak

Al-ummu madrasah ula, ibu adalah sekolah pertama bagi anak-anak. Ungkapan itu sudah sering kita dengar bukan? Yaps ungkapan ibu sebagai sekolah pertama bagi anak-anaknya adalah ungkapan yang sangat populer di masyarakat. Semakin populer maka semakin banyak pula tafsiran yang bermacam-macam.

Ungkapan ini menggambarkan jika perempuan mempunyai hubungan erat dengan seorang anak, karena proses pertumbuhan biologis sang anak tidak lepas dari perempuan, mulai dari pembentukan janin hingga anak mampu berjalan dan berbicara, oleh karena itu perempuan harus didukung untuk memperoleh ilmu pengetahuan, memperluas dan mempermudah akses perempuan dalam informasi, kesehatan, ekonomi hingga pendidikan.

Tapi masih ada pula sudut pandang yang menjadikan ungkapan al-umm madrasah ula sebagai alasan untuk domestifikasi perempuan, menurut sudut pandang ini ungkapan tersebut berarti tugas pengasuhan anak adalah sepenuhnya tanggung jawab perempuan (istri), tugas merawat dan menyiapkan kebutuhan anak adalah tanggung jawab penuh perempuan, pada akhirnya menganggap tugas merawat, mengasuh dan membesarkan anak adalah sepenuhnya perempuan, jika anak sakit ataupun melakukan kesalahan maka perempuan (ibu) dianggap tidak mampu melaksanakan tugasnya dengan baik.

Jika ungkapan tersebut ditafsirkan menggunakan metode tafsir mubaadalah, maka akan beda lagi pemaknaanya. Istilah al-umm dalam prespektif mubadalah tidak dimaknai sebagai ibu saja, tetapi juga bermakna orang tua atau keluarga. Jadi ungkapan “al ummu madrasah ula” dalam prespektif mubadalah berarti orangtua adalah sekolah pertama dan utama bagi anak-anak.

Secara substansi berarti siapapun yang dekat dengan anak tersebut, maka dia lah yang menjadi sekolah pertama bagi anak, karena pada prinsipnya pengasuhan anak adalah tanggung jawab kedua orang tua beserta keluarga. Tidak bisa hanya dibebankan kepada perempuan (ibu) karena anak tersebut berkembang di lingkungan dengan beragam karakter orang lain, sehingga keluarga dekat (orangtua) bekerjasama untuk menanamkan nilai keadilan pada anak sejak kecil.

Rasulullah juga mencontohkan sikap mengasuh dan menerapkan pendidikan karakter pada  anak-anak dalam hadis berikut;

Abu Qatadah r.a berkata, “Nabi Muhammad SAW suatu saat keluar dan datang kepada kami, sambil mengemban sang cucu, Umamah binti al-Ash r.a. Baginda shalat (dengan tetap mengembannya). Ketika ruku’ (dan sujud), diturunkan, dan ketika berdiri diemban kembali. (Shahih Bukhari No. 6062)

Abu Buraidah bercerita, “Suatu saat, Rasulullah SAW sedang berkhutbah di hadapan kami, lalu datang Hasan dan Husein berbaju merah berjalan dan terjatuh. Nabi Muhammad SAW turun dari mimbar, menggendong dan membawa mereka di pangkuan baginda” (Sunan al-Tirmidzi, no. 4143)

Kedua hadis tersebut memperlihatkan bahwa Nabi Muhammad SAW juga ikut dalam mengasuh dan mendidik anak-anak, hal ini menegaskan jika tugas pengasuhan bukan hanya menjadi tanggung jawab perempuan, melainkan tanggung jawab keluarga. Orangtua sangat berpengaruh dalam perkembangan anak, karena sejatinya anak terlahir suci dan bagaimana nilai-nilai ditanamkan sejak dini tergantung pada orangtuanya, seperti yang direkam dalam hadis Shahih Bukhori No. 1373

Abu Hurairah r.a menuturkan dari Nabi Muhammad SAW yang bersabda, “Tidak ada seorang anak dilahirkan, kecuali dalam keadaan fitrah (suci dan bersih). Kedua orangtuanyalah yang membuatnya beragama Yahudi, Nasrani, atau Majusi”.

Jadi, begitulah. Sudahkah menghubungi ibumu hari ini?