Ke sini saya merasa semakin “konservatis”. Sengaja saya kasih tanda petik, karena sikap konservatis yang saya rasakan berwujud tesktual. Kepada bunyi teks dalil, saya keukeuh , namun kemudian saya sekaligus membuka diri pada kemungkinan-kemungkinan masuknya makna kontekstual. Saya keukeuh pada tekstualitas first, baru kemudian pada kontekstualitas. Yang pertama lebih utama, prioritas.
Begini jelasnya.
Ketika al-Qur’an mengatakan “Al-yauma akmaltu lakum dinakum, hari ini telah Kusempurnakan buat kalian agama kalian”, bunyi teks tersebut spontan saya yakini dengan haq bahwa agama ini, termasuk syariatnya tentu saja, adalah benar-benar sempurna. Ya, ia literally sempurna. Jika ada kalangan yang mengatakan bahwa syariat Islam tidaklah literally sempurna, itu bukan shaf saya, walau tentu tetap berkawan.
Namun, saya pun seketika memahami bahwa al-Qur’an ini selalu bagaikan “korpus terbuka”, sehingga sebagian besar kandungannya membutuhkan pemahaman-pemahaman tafsir, takwil. Baik yang bercorak tafsir bil ma’tsur (misal kitab tafsir Imam At-Thabari dan Ibnu Katsir) maupun tafsir bil ra’yi (misal kitab tafsir Fakhruddin ar-Razi, Wahbah Zuhaili, Muhammad Thahir bin ‘Asyur, dan Prof. Quraish Shihab). Baik yang menggunakan metode tafsir Tahlili, Ijmali, Maudhu’i, Muqaranah, hingga Maqashid. Bahkan, mungkin sekali, tafsir hermeneutika Qur’ani. Dan sebagainya.
Peran besar semua jenis khazanah tafsir tentulah semata memaksudkan untuk bisa menyajikan “menu-menu siap santap” hasil olah kajian, analisis, dan dasar-dasar penashihnya –baik dari khazanah dalil maupun ilmiah-rasional—kepada khalayak luas dan para cendekiawan generasi berikutnya. Dengan adanya sajian “menu-menu siap santap” tersebutlah, kandungan al-Qur’an, ejawantah syariat Islam menjadi jauh lebih jelas, terang, detail, dan formulatif untuk dikonsumsi siapa pun. Sungguh, kita semua sangat tertolong oleh khazanah kitab tafsir yang luar biasa banyaknya itu. Kepada semua mushannif-nya, semoga Allah Swt mengaruniakan rahmat dan berkahNya selalu. Amin. Al-Fathihah….
Sikap “konservatis” kepada kebenaran haq teks-teks al-Qur’an itulah yang selalu menjadi sikap awal dan sejati saya. Kepada ayat apa pun (juga hadis), mau saya telah paham maknanya ataupun tidak, saya haqqul yaqin serentak berkata: “Amanna bihi kullun min ‘indi Rabbina, aku beriman kepada al-Qur’an, semuanya (kandungannya) benar-benar datang dari sisi Tuhan kami”.
Sikap pertama ini saya dasarkan pada (1) keimanan kepada kitab suciNya, (2) kebenaran semua kandungannya yang berlaku sepanjang zaman, dan (3) keutamaan arti-arti tekstualnya dalam pemahaman bahasa Arab yang holistik (utuh, baik, otoritatif) dibanding kemungkinan arti-arti kontekstualnya jika disusun secara hierarkis.
Poin satu dan dua, tentulah mudah dipahami. Untuk poin ketiga, saya mempercayai bahwa digunakannya bahasa Arab di masa penurunan al-Qur’an pastilah mengandung maksud, arah, dan keutamaan yang jelas. Tanpa syak!
Membayangkan bunyi teks suatu ayat berbahasa Arab yang diturunkan kepada masyarakat yang berbahasa Arab, di suatu zaman yang sama pula, pastilah dalam cara demikianlah bunyi-bunyi tekstual al-Qur’an dimaksudkan olehNya dan kemudian bisa dipahami oleh umat Islam. Tidak mungkin yang selainnya. Dan dalam cara demikian jugalah Kanjeng Nabi Saw sebagai sosok yang paling mengerti kandungan al-Qur’an dengan benar mengajarkan, menetapkan, dan ber-taqrir kepada pemahaman umat Islam itu.
Misal, ketika al-Qur’an berkata “Qul lil mu’minina yaghuddu ‘ala absharihim wa yahfadhu furujahum dzalika azka lahum, katakanlah (wahai Nabi Muhammad Saw) kepada orang-orang mukmin hendaklah menundukkan pandangannya dan menjaga kemaluannya, sikap demikian itu lebih suci bagi mereka”, pastilah dalam arah, maksud, dan pengertian bahasa Arab demikianlah maksud ayat itu diturunkanNya dan lalu bisa dipahami oleh masyarakat muslim saat itu.
Pun ketika al-Qur’an mengatakan “Al-yauma akmaltu lakum dinakum, hari ini telah Kusempurnakan buat kalian agama kalian”, pastilah dalam arah, maksud, dan pengertian bahasa Arab demikianlah ayat itu diturunkanNya dan lalu bisa dipahami oleh masyarakat muslim saat itu. Dan sebagainya, dan seluruhnya.
Sikap ini memustahilkan makna-makna yang dimaksud oleh bunyi-bunyi tekstual ayat al-Qur’an itu ada yang tidak sesuai dengan bunyi-bunyi letaralnya. Ini mustahil! Bagaimana mungkin, misal, saat saya mengatakan: “Apakah kamu sudah makan?” kepada kawan yang berbahasa sama, lalu itu tidak dipahaminya sebagai pertanyaan “Apakah kamu sudah makan?” Mustahil, kan?
Oke, kesannya, saya sungguh tekstualis, skripturalis, ya. Tak masalah. Itu telah saya akui di awal.
Tetapi kini saya ingin melengkapi dengan sikap kedua yang juga saya percayai keberadaannya, yakni pemahaman kandungan ayat-ayat al-Qur’an secara substansial-kontekstual. Jelasnya, kepada makna dan maksud yang dikandung ayat-ayat al-Qur’an, saya memahami sekali bahwa tak terhindarkan akan senantiasa diperlukan dukungan kajian rasional dan kritis untuk dapat menggali, mendudukkan, dan menjalankan pesan-pesannya (termasuk yang dikandung dalam bunyi-bunyi ayat tekstualnya) dalam kehidupan riil kita seiring dinamika zaman.
Saya ingin mengilustrasikan ini bagaikan sebuah rumah.
Saya memiliki sebuah rumah yang banyak kamarnya. Di depan sendiri, dekat ruang tamu, ada kamar tamu. Lalu di sebelahnya, ada kamar saya. Kemudian ada dua kamar lain lagi buat kamar anak-anak. Lalu ada dua kamar lagi buat mbak-mbak yang rewang. Seluruh kamar itu adalah bagian dari rumah saya –belum lagi adanya garasi, ruang makan, ruang keluarga, ruang bermain, taman, teras, dan halaman.
Ketika saya berkata, “Ini rumah saya.”, maka secara tekstual ya inilah rumah milik saya, yang saya huni, yang saya tunjukkan dan katakan pada Anda. Inilah makna tekstual yang saya katakan dengan benar, sehingga Anda seharusnya bisa menerima makna dan maksud dari tekstualitas ucapan saya.
Soal lalu saya membawa Anda masuk ke dalam pagar, lalu Anda berkata: “Ini rumah Pak Edi.”, ya Anda benar. Kemudian saya bawa Anda ke teras, lalu Anda berkata: “Ini rumah Pak Edi.”, ya Anda benar. Kemudian saya ajak Anda ke ruang tamu, lalu Anda berkata: “Ini rumah Pak Edi.”, ya Anda benar. Kemudian saya ajak Anda ke kamar tamu, ruang keluarga, ruang makan, dapur, toilet, taman, dan sebagainya, lalu Anda berkata: “Ini rumah Pak Edi.”, ya itu benar. Semua yang Anda katakan benar!
Ketika al-Qur’an mengatakan “Al-yauma akmaltu lakum dinakum, hari ini telah Kusempurnakan buat kalian agama kalian”, saya langsung menerima kebenaran kandungan paham dan maksud dari bunyi tekstualnya bahwa Islam adalah agama yang telah sempurna betul seluruh ajarannya, kandungannya, syariatnya. Ini sikap pertama saya, yang tadi saya sebut konservatis.
Akan tetapi, manakala Anda bertanya kepada saya apakah tatanan demokrasi ala Indonesia dan tatanan demokrasi ala Turki sesuai dengan syariat politik Islam (al-ahwal al-siyasiyah) sebagaimana yang dikandung ayat-ayat kepemimpinan dan kemasyarakatan dalam al-Qur’an, tepat saat itulah saya bersikap kontekstual –bahwa apa yang dijalankan oleh demokrasi Indonesia yang sebagiannya berbeda secara teknis operasionalnya dengan demokrasi Turki, keduanya dapat diumpakan bagaikan “Anda saya ajak ke ruang tamu, lalu Anda berkata: “Ini rumah Pak Edi.”, ya Anda benar.” Atau berikutnya “Anda saya ajak ke ruang makan, lalu Anda berkata: “Ini rumah Pak Edi.”, ya Anda benar.” Keduanya secara kontekstual dapat diterima dan dibenarkan sebagai bagian dari makna dan maksud dari ayat-ayat kepemimpinan dan kemasyarakatan, seperti musyawarah (syura), persamaan (musawah), keadilan (‘adalah), tolong-menolong/kerjasama (ta’awun), kerakyatan (ra’iyyah), perwakilan (wakil), keseimbangan (tawazun), moderasi (wasathiyah), dan sebagainya.
Apa yang dipahami, disepakati, dan dijalankan dalam sistem politik demokrasi Indonesia adalah ejawantah dari kontekstualisasi ayat-ayat politik-kepemimpinan dalam al-Qur’an, serupa dengan apa yang dipahami, disepakati, dan dijalankan dalam sistem politik demokrasi Turki juga adalah ejawantah dari kontekstualisasi ayat-ayat politik-kepemimpinan dalam al-Qur’an, yang kendati sebagian keduanya berbeda tetaplah merupakan bagian dari “sebuah rumah besar” tekstualitas itu. Kontekstualisasi ayat-ayat al-Qur’an karenanya dapat saya katakan sebagai “anak-anak, bagian-bagian” dari tekstualitas al-Qur’an.
Tentu saja, sebagai “anak-anaknya”, musykil dipahami adanya pemahaman-pemahaman kontekstual yang bertentangan dengan nyata dan terang terhadap “induknya”, bunyi tekstualnya. Bagaimana mungkin praktik otoritarianisme disebut sebagai penafsiran kontekstual terhadap ayat-ayat musawah dan syura itu? Bagaimana mungkin praktik monopoli dagang dapat disebut sebagai tafsir kontekstual terhadap ajaran dasar ‘an taradhin (saling rela) dalam jual-beli sebagaimana dikatakan al-Qur’an yang jelas-jelas ia rentan gharar (madharat)? Dan, satu tamsil lagi, bagaimana mungkin menyentuh lawan jenis non mahram di luar kepatutan umum bersalaman (bagian ini mesti diikat dengan kaidah al-‘adat al-muhakkamah), misal mendekap, memeluk, atau rebahan, dapat dibenarkan sebagai bentuk tafsir kontekstual terhadap ayat “yaghuddu ‘ala absharihim wa fahfadhu furujahum, menundukkan pandangannya dan menjaga kemaluannya” dengan argumen bahwa yang dilarang dilakukan adalah zina?
Saya kira itu adalah “anak-anak yang durhaka” kepada induknya –sebutlah, tafsir kontekstual yang melampaui batas.
Penting kiranya untuk sekaligus saya dedahkan di titik ini bahwa:
Pertama, kebenaran otentik ayat-ayat al-Qur’an, juga hadis-hadis, adalah apa yang tertera dalam bunyi tekstualnya. Ini haruslah diimani.
Kedua, peta ayat-ayat muhkamat (qath’iyyah dalalah, terang/pasti petunjuknya) dan mutasyabihat (dzanniyah dalalah, tidak terang/pasti petunjuknya) dalam al-Qur’an mengisyaratkan wajibnya kepatuhan tanpa syak terlebih dahulu kepada kebenarannya di satu sisi dan bagaikan pintu gerbang bagi jalan absah tafsir kontekstual yang luas di sisi lainnya. Akan tetapi, tentulah selalu wajib kita dudukkan pemahaman mendasar dalam hati bahwa di dalam ayat-ayat mutasyabihat pun pasti mengandung kemuhkamatan (kepastian maksud, pesan, arah). Jika nilai kemuhkamatan ini tak diyakini ada, bukankah itu sepadan belaka dengan mengatakan bahwa ayat-ayat mutasyabihat tidak memiliki arah hukum yang jelas? Bagaimana mungkin Allah Swt memfirmankan ayat-ayat yang tidak berarah jelas? Sungguh mustahil!
Habib Ali Zainal Abidin al-Jufri menasihatkan dalam Al-Insaniyyah Qabla al-Tadayyun: ayat-ayat mutasyabihat, mau berdiri sendiri atau dikelompokkan secara tematik (maudhu’i), jelas mengandung ajaran yang muhkamat, qat’iyyah dalalah. Hal ini hendaknya dipahami dan diyakini dengan sungguh-sungguh dan saksama, sebab hal ini merupakan bagian dari fondasi keimanan kepada kitab suci.
Dengan pemahaman tersebut, dapat dikatakan bahwa karena di dalam mutasyabihat mengandung muhkamat, maka seluruh ayat al-Qur’an pada hakikatnya muhkamat semua. Hanya saja, ini clue-nya, sebagiannya memerlukan ruang penafsiran yang luas secara kontekstual hingga menjadi bangunan muhkamat yang bisa diamalkan.
Pandangan di atas takkan sama nilai dan dampaknya dengan kalangan yang mengatakan bahwa di dalam ayat-ayat mutasyabihat tidak ada ke-muhkamat-an. Secara nilai, pandangan ini riskan mendorong kita mendesakralisasi ayat-ayat mutasyabihat, karena kita cenderung mendapuk diri sebagai pemangku utama bagi otoritas makna, maksud, dan penerapannya. Sikap begitu tentulah bermasalah di hadapan kesucian kalamuLlah. Dampaknya, pemahaman demikian akan rawan mendorong kita ugal-ugalan kepada ayat-ayat mutasyabihat, menjadikannya “bancaan” untuk bebas kita tarik ke sana-sini sesuka pikiran dan bahkan hawa nafsu. Soal argumen-argumen ijtihadinya, semuanya bisa dibikin, ditata, dan dimantap-mantapkan, bukan? Walhasil, suatu tafsir yang ugal-ugalan demikian sepintas tampak ilmiah-rasional dan meyakinkan, tetapi sejatinya sedang menjadikan ayat-ayat sebagai permainan logika belaka untuk mentashih kemauan-kemauannya sendiri. Na’udzubiLlah min dzalik. Berhati-hatilah terhadap tabiat begitu.
Ketiga, kita semua pada pokoknya menyadari dan memahami secara rasional bahwa ada berbagai ayat al-Qur’an, juga hadis-hadis, yang memang hanya meletakkan nilai-nilai substansialnya (ini termasuk dalam maksud ke-muhkamat-an tadi, lazim disebut maqashidus syariat) tanpa menyediakan petunjuk-petunjuk teknis sehingga alamiah membutuhkan keterangan-keterangan tafsir agar bisa diamalkan. Wajar belaka jika juknis ini lantas dilahirkan dari kajian-kajian rasional –juga tentunya berdasar khazanah atsar—sampai tersimpulkan dalam sebuah bangunan pemahaman yang bisa diterapkan. Seluruh khazanah pembangun pemahaman inilah yang dimaksud tafsir kontekstual tadi dengan berdasar kepada maqashidus syariat.
Bahwa adanya latar yang mejemuk di kalangan para ahli dan ulama serta cendekiawan yang menggali dan menyusun bangunan juknis itu kemudian menyebabkan bangunan juknis itu tidak tunggal, tetapi majemuk pula, itu kealamiahan yang bisa diterima secara wajar. Justru tidaklah wajar bila bangunan juknis itu harus tunggal, karena itu adalah kemustahilan di hadapan kemajemukan realitas hidup umat muslim sedunia yang memiliki kekhasan ‘urf (kahanan budaya) masing-masing. Dan bila ada suatu bangunan juknis yang telah diterima secara mapan di suatu masa dan suatu wilayah pada suatu masa mengalami perubahan bentuk, baik pengurangan maupun penambahan, hal demikian pun wajar untuk dipahami dan diterima seiring dinamika hidup umat Islam sendiri. Tepat pada sikap penerimaan demikianlah, sifat Islam sebagai agama yang rahmatan lil ‘alamin (dalam Ushul Fiqh diistilahkan shalih likulli zaman wa makan, selalu selaras dengan setiap zaman dan wilayah) memancar deras ke segala penjuru tempat dan zaman –yang secara metodologis disumbangkan oleh dinamika tafsir kontekstual. Begitu. Ya, begitu.
Ada beberapa clue penting dalam masalah ini:
Pertama, hendaklah hati selalu beriman kepada kesucian dan kebenaran semua ayat al-Qur’an sebagai kalamuLlah ‘Azza wa Jalla tanpa kecuali. Kepada semua ayat, baik yang sudah kita pahami atau belum, yang sudah kita amalkan atau belum, ikrarkan saja dalam hati: “Ini semua benar, kuimani, semuanya dari sisi Allah Swt.”
Kedua, janganlah peta ayat-ayat muhkamat dan mutasyabihat menjadikan kita kewanen meletakkan takwil-takwil kita lebih utama dan dahulu daripada otoritas bunyi lateral ayat-ayat, baik secara rohani maupun interpretasi. Bahkan kepada ayat, misal, “Pencuri laki-laki dan pencuri perempuan hendaklah tangannya dipotong….”, kita harus meletakkan kebenaran otoritas maksud dipotong itu sebagai yang utama dan dahulu, kendati di negeri kita wujudnya tidak dijalankan begitu rupa melainkan diganti dengan hukuman penjara –yang kemudian dapat diterima sebagai bentuk tafsir kontekstual.
Ketiga, senantiasa meletakkan kebenaran tafsir, seotoritatif apa pun disiplin ilmu dan argumennya, tidak sejajar dengan kebenaran otoritatif ayat-ayat. Kebenaran tafsir selalu berada di bawah kebenaran ayat-ayat (wama ya’lamu ta’wilahu illaLlah, dan tiada yang tahu takwil hakikinya kecuali Allah Swt). Maka jikapun kita mengikuti suatu pendapat, takwil, tafsir, atau bahkan melakukan penggalian tafsir sendiri, semendalam apa pun, tetap wajiblah untuk senantiasa dikatakan “waLlahu a’lam bish shawab” sebagai ekspresi ta’dhim hakiki kepada kebenaran mutlak al-Qur’an.
Keempat, terakhir, semua khazanah tafsir –yang kita sepakati dan ikuti dan yang tidak kita sepakati dan tidak kita ikuti—sederajat secara otoritas kebenarannya –di bawah otoritas mutlak ayat-ayat—kecuali dalam ranah kajian keilmuannya. Ihwal ranah kebenarannya senantiasa relatif dan karenanya waLlahu a’lam bish shawab; ihwal ranah ilmunya, inilah yang bisa kita kaji, dalami, dan kritisi terus-menerus, sehingga barangkali lalu lahir khazanah tafsir berikutnya yang lebih otoritatif secara fondasi keilmuan dan kontekstualitasnya.
Kitab tafsir Al-Tahrir wa al-Tanwir karya Muhammad Thahir bin ‘Asyur dan Al-Mishbah karya Prof. Quraish Shihab merupakan dua contoh karya tafsir yang lebih maju dan mendalam dibanding berbagai kitab tafsir sebelumnya (tentu kurang etis bila saya sebutkan judul-judul kitabnya). Anda mungkin ada yang tidak setuju, tetapi saya yakin sangat sulit untuk menunjukkan bantahan-bantahan yang mantap dan meyakinkan.
Wallahu a’lam bish shawab.