Sikap sebagian orang Islam negeri ini terhadap Syiah baru saja tertuang dalam deklarasi dengan istilah yang tampak megah, tapi mengancam: Aliansi Nasional Anti-Syiah. Kata “aliansi” dan “anti” mengingatkan saya pada dua metafora yang dipakai Goenawan Mohamad (GM), dalam Catatan Pinggir-nya di Majalah Tempo (11/01/2010) yang berjudul Gus Dur, tentang iman: sebagai benteng dan sebagai suluh.
“Benteng kukuh dan tertutup,” tulis GM, “bahkan dilengkapi senjata untuk menangkis apa saja yang lain yang diwaspadai.” Benteng ialah sebuah konstruksi. Ia berdiri; bisa untuk melindungi, tapi lebih sering karena kecemasan: yang dibentengi merasa rapuh maka ia membutuhkan tameng pelindung kerapuhannya.
Hari-hari ini kita melihat iman diperlakukan laksana benteng. Metafora ini, saya pikir, bisa dilanjutkan dengan yang kata yang lebih mendalam, yaitu penjara: iman terperangkap dalam dogma atau akidah. Akidah, yang berasal dari bahasa Arab (‘aqidah), artinya ikatan. Ia mengikat, dan lebih sering memenjara. Iman menjadi sekumpulan batu-bata argumen. Akidah membuat iman jadi kaku, susah bergerak, sangat terlarang untuk keluar.
Akidah sebagai penjara mengharamkan sang mukmin, yang dipenjara itu, untuk mencoba-coba masuk dalam ceruk-ceruk keraguan. Keraguan itu sendiri adalah musuh. Ragu, yang dipandang sebagai ancaman iman, dilarang menyebar dan karena itu mesti diberangus.
Hari-hari ini kita melihat iman di negeri ini, khususnya dalam agama Islam, terpenjara dalam dogma mazhab mayoritas, Sunni. Islam mengerucut, atau menyempit, jadi benteng, atau tepatnya penjara akidah. Konstruksinya ialah argumen-argumen tekstual yang tertulis di masa lampau—sebuah konstruksi yang akhir-akhir kerap jadi palu untuk menghancurkan hampir ke setiap yang berbeda.
Lalu kita melihat konstruksi itu makin rigid, bahkan menegasikan mereka yang sedikit berbeda saja dengan sikap “anti”: vonis kafir bagi mereka yang berada di luar benteng itu. Sebagian bilang, itu akibat menguatnya “politik identitas” di tubuh umat Islam hari ini: umat Islam merasa diancam-diserang oleh sekumpulan nilai disekitarnya sehingga, agar teguh identitasnya, perbedaan mesti dipertegas. Konstruksi akidah mengeras.
Kenyataanya, Sunni yang mayoritas ini masih memerlukan benteng. Kita menyimak, dari retorika anti-Syiah yang mengemuka tampak ada perasaan keterancaman. Mungkin, para ulama anti-Syiah itu begitu “peduli” pada kerapuhan iman umatnya sehingga khawatir pada serangan argumentasi Syiah, yang minoritas—sebuah kerapuhan yang, menurut saya, sering tak pada tempatnya sebab, kita tahu, mayoritas orang Islam negeri ini tak tahu persis beda Sunni dengan Syiah.
Akidah menjadi amunisi. Mazhab, dalam taraf tertentu, menjadi politis: sengketa sektarian adalah kata lain dari rebutan umat.
Padahal, saya berharap, iman lebih diperlakukan, dalam metafor kedua GM, sebagai suluh: “Sang mukmin membawanya dalam perjalanan menjelajah,” tulis GM, “menerangi lekuk yang gelap dan tak dikenal.”
Iman sebagai suluh bukan untuk menyingkirkan gelap. Justru, gelap butuh ada agar sinar suluh makin tampak terang. Iman sebagai suluh tak khawatir pada ceruk-ceruk ragu.
Tentang ini, al-Quran (2:260) menamsilkan iman dalam kisah dialog Ibrahim dengan Tuhannya. “Tuhanku,” kata Ibrahim, “perlihatkan padaku bagaimana Engkau menghidupkan yang mati!” Tuhan bertanya, “Adakah kau belum beriman?” Ibrahim menjawab, “Ya, namun itu agar hatiku tenang.”
Lalu Nabi Muhammad pernah berkata soal permintaan Ibrahim pada itu. “Nahnu ahaqqu bisy-syakki min Ibrâhîm,” kata Nabi, “kita lebih layak untuk ragu dibanding Ibrahim.” Iman yang seperti ini, bagi saya, bukanlah iman yang terikat dalam penjara akidah, yang ingin membasmi setiap yang lain, melainkan iman yang percaya diri.
~ Esei ini pertama kali dimuat di Koran Tempo (5/5/2014)