Imam Al-Juwaini adalah salah satu tokoh penting dalam Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, khususnya di kalangan Asy’ariyah. Beliau adalah generasi ketiga dalam madzhab Asy’ari setelah Imam Abu Hasan al-Asy’ari dan Imam Abu Bakar al-Baqilani. Selain itu, beliau juga dikenal sebagai ulama ensiklopedis yang menguasai semua rancang bangun keilmuan Islam.
Beliau bernama lengkap Abul Ma’ali Abdul Malik bin Abdillah bin Yusuf bin Muhammad bin Abdillah bin Hayyuwiyah al-Juwaini an-Nisaburi. Beliau merupakan seorang keturunan Arab dari Bani Ta’i as-Sanbasi. Lahir di Bustanikan, Naisabur pada tahun 419 H/999 M.
Ayahnya bernama Abu Muhammad Abdullah bin Yusuf bin Abdillah bin Yusuf al-Juwaini, yang merupakan seorang ulama besar pada masanya, yang menguasai berbagai bidang keilmuan seperti tafsir, fikih, dan lain sebagainya.
Rihlah intelektual Imam Al-Juwaini dimulai di lingkungan rumahnya sendiri, dengan belajar kepada sang ayah dalam berbagai disiplin keilmuan seperti Al-Qur’an, hadis, bahasa Arab, fikih, ushul fikih, dan ilmu perbedaan pendapat. Dalam usia yang relative muda, Imam Al-Juwaini juga telah menghafal Al-Qur’an dan menguasai berbagai disiplin keilmuan Islam.
Pada tahun 438 H Imam Al-Juwaini ditinggal oleh ayahnya menghadap sang pencipta, sejak saat itulah Imam Al-Juwaini kemudian menggantikan peran ayahnya untuk mengajar di majlis ilmi milik ayahnya, meskipun usianya belum genap 20 tahun. Walaupun sudah menjadi pengajar, Imam Al-Juwaini tetap haus akan keilmuan yang membawanya belajar kepada para ulama-ulama besar di Naisabur.
Imam Al-Juwaini tercatat pernah belajar kepada Abu al-Qasim al-Iskaf al-Isfarayini dalam bidang fikih dan teologi Asy’ari, kemudian kepada Abu Abdullah al-Khabbazi dalam bidang ilmu Al-Qur’an, dan ulama-ulama lainnya seperti Abu Hasan Muhammad ibn Ahmad al-Muzakki, Abu Sa’ad Abdurrahman ibn Hamdan an-Nasrawi, Abu Nu’aim al-Asbahani, dan lain sebagainya.
Namun ketika terjadi fitnah al-Kunduri, yaitu sekitar tahun 443 H dan 447 H. Imam Al-Juwaini meninggalkan Naisabur dan pergi menuju Mu’askar, Isfahan, Baghdad, dan Makkah Madinah. Ketika di Baghdad, Imam Al-Juwaini belajar kepada ulama yang bernama Muhammad al-Jauhari, dan di Baghdad lah Imam Al-Juwaini menela’ah kitab-kitab Imam Al-Baqilani tentang teologi. Dan ketika berada di Isfahan, Imam Al-Juwaini belajar kepada Abu Nu’aim al-Isfahani.
Pada tahun 450 H, Imam Al-Juwaini pergi ke Hijaz, dan menetap disana Selama 4 sampai 5 tahun untuk mengabdikan diri pada agama dengan mengajar, memberi fatwa dan mengarang kitab di dua kota suci yaitu Makkah Madinah. Berkat penngabdiannya dalam menyebarkan ilmu di Makkah Madinah lah, Imam Al-Juwaini kemudian mendapat julukan Imam al-Haramain (Imam dua tempat suci Masjid al-Haram Makkah dan Masjid Nabawi Madinah).
Pada tahun 455 H, Imam Al-Juwaini kembali ke tanah kelahirannya yaitu Naisabur, dan kemudian mengajar di Madrasah Nizamiyah sekitar 30 tahun lamanya.
Imam Al-Juwaini yang lebih dikenal dengan sebutan Imam Haramain, merupakan penganut madzhab Syafii, sekaligus ulama besar madzhab Syafi’i abad ke-5. Selain itu, Imam Al-Juwaini juga dikenal sebagai peletak dasar teologi rasional dalam Islam, yang merupakan identitas kelompok Muktazilah. Namun setelah munculnya Imam Al-Juwaini, beliau membawa sebuah pemikiran baru yang tetap berpegang teguh dengan madzhab teologi Asy’ari yang beliau anut, yaitu dengan memberikan porsi yang lebih terhadap akal dalam menentukan sebuah hukum atau permasalahan.
Walaupun pemikiran Imam Al-Juwaini memberikan porsi besar terhadap peran akal, namun Imam Al-Juwaini tidak pernah menempatkan akal sejajar dengan naql (Al-Qur’an dan Sunnah). Dalam pandangan Imam Al-Juwaini, akal diberikan porsi lebih semata-mata hanya digunakan untuk memahami naql dan tidak disejajarkan dengannya, apalagi ditempatkan lebih tinggi.
Corak pemikiran yang dibawa oleh Imam Al-Juwaini tetaplah corak Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, yang senantiasa menempatkan Al-Quran dan Hadis sebagai sumber rujukan utama. Hanya saja, corak pemikiran yang dibawa oleh Imam Al-Juwaini adalah pemikiran kreatif-inovatif, yang membawa pemikiran Islam Ahlus Sunnah Wal Jama’ah ke arah yang moderat.
Pemikiran-pemikiran Imam Al-Juwaini tidak hanya terbatas pada kalam dan teologi saja, tetapi juga dalam fikih dan ushul fikih. Bahkan Imam Al-Juwaini merupakan peletak dasar tentang kajian maqashid syari’ah, yang kemudian menjadi sebuah disiplin ilmu baru.
Imam Al-Juwaini merupakan ulama yang melahirkan ulama-ulama besar, seperti Imam Abu Hamid al-Ghazali, Imam Abu Nasr Abdurrahim bin Abdul Karim al-Qusyairi, Abu Fath Nasr bin Ibrahim al-Maqdisi. Tidak heran jika beliau kemudian dijuluki dengan julukan Abul Mawali (bapaknya para pembesar).
Teolog kaum sunni yang sangat menguasai madzhab Syafi’i, dan terkenal dengan gelar Imam Haramain ini wafat pada tahun 478 H/1085 M. dengan meninggalkan warisan intelektual di berbagai bidang, seperti ushul fikih, kalam, fikih, ilmu perbedaan madzhab, ilmu perdebatan, psikologi, dan retorika. Di antara kitab-kitab Imam Al-Juwaini yang fenomenal adalah al-Burhan fi Ushul Fikih, al-Irsyad fi Qawathi’ al-Adillah wa Ushul al-I’tiqad, Nihayah al-Mathlab fi Dirayah al-Madzhab, Risalah fi Fiqh, Gunyah al-Mustarsyidin fi al-Khilaf, Kitab al-Kafiyah al-Jadal, dan lain sebagainya.
Wallahu A’lam.