Penulis artikel ini tahu, bahwa judul di atas akan membuat marah banyak orang. Tetapi penulis membuat judul tersebut seperti itu karena memang kenyataan mutakhir menunjukkan hal demikian. Dalam buku yang membahas kepresidenan George W. Bush yang masih menjadi Presiden AS, disebutkan kegalauannya dalam menghubungi kaum Muslimin. Ia menyebutkan, banyak Muslim yang dihubunginya ternyata tidak mau tahu dengan tindakan-tindakan teror yang dilakukan oleh sedikit orang dalam berbagai gerakan agama tersebut. Maka sebagai seorang konservatif Kristen, ia mengalami kesulitan dalam menghubungi berbagai gerakan Islam. Walaupun ia merasa ‘bermurah hati’ untuk mengerti bahwa beberapa gerakan Islam memang berbeda cara pandang. Namun ia tidak tahu mana yang dihubunginya dan mana yang tidak. Kalau Presiden AS tidak mengetahui hal itu, bagaimana dengan orang-orang ‘awam’.
Di kalangan berbagai gerakan Islam, sebagaimana juga terjadi dengan kalangan berbagai agama yang lain, mengenal berbagai cara untuk menghubungi ‘pihak luar’. Meski demikian, tak urung juga ‘pihak luar’ itu dibuat bingung oleh pembedaan itu. Mereka dibuat bingung lagi, ketika terlontar pengakuan terus terang oleh kalangan Kristen di berbagai negara Eropa bahwa mereka memiliki partai yang bernama Uni Kristen Demokrat (CDU – Christian Democratic Union Party) yang dewasa ini tengah memerintah di Jerman dengan Perdana Menteri Angela Merkel. Di hampir semua negara Eropa, partai tersebut merupakan ‘alat politik yang terbuka’, dan memerintah karena memiliki jumlah mayoritas di parlemen. Kalau di sana boleh demikian, mengapa di negeri-negri Muslim tidak?
Padahal, yang dikhawatirkan banyak ‘orang luar’ adalah terjadinya hal itu. Mendengar istilahnya saja mereka sudah tidak mau, apalagi menjadi anggota. Ini seperti nasib Partai Masyumi di tahun-tahun lima puluhan di negeri kita. Karena keterlibatannya dalam berbagai gerakan yang terang-terangan menuju kepada sebuah negara Islam di Indonesia, maka kemudian ia pun dibubarkan pemerintah. Sekarang pun sejumlah partai menamakan dirinya sebagai partai Islam, tetapi juga menyebutkan tidak akan mendirikan negara Islam. Kini terjadi perdebatan antara berbagai gerakan Islam itu melawan Hizbut Tahrir (Partai Kemerdekaan). Masalahnya, gerakan itu ‘membungkus’ keinginan mendirikan negara Islam itu, dengan menyatakan ingin memiliki ‘negara kekhalifahan’. Begitulah cara orang menyamarkan tujuan politik masing-masing.
Kaum Muslimin memiliki kegiatan bermacam-macam. Semuanya mendasarkan diri pada berbagai ajaran resmi/ formal Islam. Mereka ini yang penulis namai Islam pertama. Namun, ada yang bergerak di bidang politik, yang penulis namai sebagai Islam kedua. Nah, berbagai perkumpulan Islam yang lahir dan berkembang secara budaya penulis namai Islam ketiga. Kalau Muhammadiyah Nahdlatul Ulama dan Al-Wasliyah dan berbagai gerakan Islam yang memiliki pola kelahiran yang hampir sama, penulis menganggap mereka adalah kaum Muslimin/ organisasi Islam, yang disebutkan sebagai Islam ketiga. Ada juga gerakan-gerakan yang lahir berikutnya masuk dalam golongan tersendiri, yang bagaimana pun juga berhak memasuki Islam pertama, kedua dan ketiga. Ini masuk dalam golongan Islam keempat.
Dengan menunjuk kepada hal-hal tersebut diatas, menjadi nyata bagi kita bahwa berbagai hal tidak dapat disederhanakan begitu saja, sebagaimana orang menyebut kalau Islam itu tunggal. Tapi yang pasti semua orang Islam berTuhan satu, yaitu Allah SWT dan Muhammad SAW adalah pesuruh-Nya. Perbedaan ajaran untuk mengenal Allah Swt dan Rasul Nya, maupun lain-lain tidak memisahkan berbagai gerakan Islam secara mutlak, melainkan hanya bersifat peripheral. Hal seperti itulah yang membuat Presiden Bush akhirnya kehilangan pengertian atas Islam.
Pengertian seperti diuraikan di atas, akan memudahkan kita memahami gerakan-gerakan Islam yang ada sekarang. Banyak perbedaan maupun persamaan di dalamnya. Seperti penulis yang menyatakan, sebaiknya Israel dan Palestina berunding saja tentang sebuah negeri tempat kaum Palestina itu. Sementara seorang tokoh dari kategori Islam kedua, bernama Ahmad Sumargono, menyatakan bahwa sebaiknya penulis makalah ini yang mendorong Israel dan Palestina untuk melahirkan negara baru itu. Jadi, dalam hal ini kita harus melihat perbedaan-perbedaan seperti itu biasa-biasa saja, bukan?
Sumber: Sindo, 1 Januari 2009