Ketika Hadis Ahad Bertentangan Dengan Tujuan Syariat

Ketika Hadis Ahad Bertentangan Dengan Tujuan Syariat

Ketika Hadis Ahad Bertentangan Dengan Tujuan Syariat

Sewaktu S-1 dulu, saya sempat berencana untuk menulis skripsi tentang kritik hadis melalui pendekatan Maqashid Syariah. Pertanyaan yang muncul saat itu adalah apakah mungkin sebuah hadis sahih tidak diaplikasikan hanya karena substansinya bertentangan dengan tujuan utama syariah.?

 

Namun karena satu dan lain hal, dosen pengampu metodologi penelitian saya saat itu menyarankan agar mengganti tema dengan upaya memahami hadis melalui pendekatan Maqashid Syariah saja. Beliau beralasan bahwa tema itu terlalu berat dan secara metodologis akan sulit dirumuskan, apalagi diaplikasikan.

 

Setelah 3 tahun berlalu, saya menemukan ternyata konsep itu cukup populer di kalangan ulama, khususnya di lingkungan Mazhab Maliki. Saat diskusi kitab al-Ihkam karya al-Qarrafi beberapa hari yang lalu, saya mendapati redaksi “Terkadang Hadis Ahad tidak diamalkan (ditinggalkan) karena bertentangan dengan qawaid (kaedah-kaedah dasar dalam agama).”

 

Ibarah itu disinggung oleh al-Qarrafi ketika menjelaskan khilafiyah antara Imam al-Syafi’i dengan Imam Malik dalam memahami posisi Nabi dalam hadis “Barangsiapa yang membunuh seorang musuh dalam perperangan, maka peninggalan orang yang terbunuh itu menjadi hak si pembunuh”.

 

Menurut al-Syafi’i, posisi Nabi dalam hadis tersebut adalah sebagai mufti (pembawa syariat) dengan asumsi bahwa sebagian besar kebijakan Nabi dalam hadis-hadisnya adalah sebagai pembawa syariah. Implikasinya dalam memahami hadis tersebut adalah setiap pasukan yang ikut berperang berhak mengambil peninggalan non muslim yang dia bunuh secara langsung tanpa harus meminta izin terlebih dahulu kepada hakim ataupun kepada kepala negara (yang dalam hal ini adalah Nabi Muhammad Saw).

 

Sementara itu, Imam Malik (sebagaimana yang dikutip oleh al-Qarrafi) berbeda pendapat dengan al-Syafi’i dan berpendapat kalau posisi Nabi dalam hadis tersebut adalah sebagai pemimpin negara. Implikasinya adalah setiap tentara yang membunuh non muslim dalam perperangan tidak diperkenankan mengambil peninggalannya kecuali setelah mendapatkan izin dari pemimpin (yang dalam hal ini adalah Nabi Saw). Setidaknya ada tiga argumen yang beliau ajukan untuk memperkuat pendapatnya, yaitu :

 

Pertama, hadis itu harus dikorelasikan terlebih dahulu dengan dalil lain yang punya tema yang sama. Dalam hal ini, Imam Malik mengajukan dalil al-Qur’an Surah Al-Anfal ayat 41 sebagai pentakhsis (pengkhusus makna) untuk hadis di atas. Sehingga keumuman hadis di atas dibatasi oleh kekhususan ayat dalam Surah al-Anfal tersebut, yaitu setiap orang yang mendapatkan harta rampasan perang harus mengeluarkan zakatnya terlebih dahulu sebanyak 20% sebelum mengambil sisanya menjadi hak milik pribadi.

Artinya kepemilikan tersebut harus dikonfirmasi terlebih dahulu oleh Nabi Saw, karena pada zaman dahulu penarikan zakat langsung diambil oleh panitia zakat kepada setiap orang yang sudah memenuhi kewajiban untuk mengeluarkannya.

 

Kedua, seandainya hadis itu diterapkan secara literal, maka bisa saja orang yang ikut berperang mempunyai ambisi khusus yang melenceng dari tujuan awal berjihad, yaitu untuk mengumpulkan harta rampasan perang, padahal tujuan utama dalam berperang (berjihad) dalam Islam hanya untuk menegakkan kalimat Allah, tidak yang lain.

Sehingga kalau hadis tersebut tetap dipahami seperti ini, maka meninggalkan maknanya lebih baik ketimbang mengamalkannya, karena berpotensi besar untuk merusak niat para mujahid yang ikut berperang. Apalagi seandainya mereka kalah dan sampai terbunuh dalam niat seperti itu, maka hampir bisa dipastikan mareka meninggal dalam kondisi suul khatimah karena tidak ikhlas dalam berjihad.

 

Itu solusi yang ditawarkan Imam Malik manakala pemahaman seperti di atas (menganggap posisi Nabi sebagai mufti dalam hadis tersebut) tetap diberlakukan. Namun beliau tidak menerapkan solusi ini. Imam Malik lebih memilih pendapat dengan memposisikan Nabi sebagai pemimpin negara. Sehingga kemungkinan berubahnya niat para mujahid dapat diminimalisir dengan adanya kebijakan khusus dari kepala negara dan para mujahid bisa berjihad dengan orientasi utama hanya karena Allah semata.

 

Ketiga, argumentasi kedua di atas akan semakin kuat dengan memahami posisi Nabi sebagai kepala negara. Pasalnya Nabi (yang saat itu) berposisi sebagai kepala negara mempunyai kepentingan untuk memberikan motivasi kepada para mujahid agar mereka semangat dalam berperang, sehingga wajar beliau menyampaikan hadis yang bersifat umum seperti itu. Hal ini dapat dimaklumi dengan melihat konteks pada saat itu, namun jika dalam kenyataannya kondisi sudah berubah dan para sahabat tidak ada lagi yang mengharapkan harta dalam setiap jihad yang mereka lakukan, maka mungkin saja kebijakan beliau akan berubah. Itulah pentingnya memperhatikan konteks dalam memberlakukan lahiriah teks.

 

Contoh di atas, setidaknya dapat kita jadikan sebagai bukti betapa pentingnya membaca sebuah dalil secara holistik sebelum mengamalkannya secara literal apa adanya. Tulisan di atas bukan berarti menguatkan salah satu dari dua pendapat, namun hanya ingin menampilkan macam ragam pembacaan ulama terhadap dalil tanpa saling menyalahkan, membid’ahkan, apalagi mengkafirkan antar satu sama lain. Semoga kita semua dijaga dari kecenderungan ingin benar sendiri. Wallahu A’lam