Selama kurang lebih 9 bulan di Jakarta, sering saya jumpai teriakan demonstran jalanan“stop kriminalisasi ulama”, “kembalikan imam besar kami”. Ya emang bising, Jakarta kan. Emangnya tempat perseteruan seluruh jenis manusia, mulai dari mafia politisi hingga Ulama dan Ustadz yang ceramahnya sarat kepentingan politik. Semuanya berkeliaran.
Nah, Ulama-ulama yang demikian ini oleh al-Ghazali disebut sebagai ulama su’, ulama yang selalu menjadikan agama sebagai ladang mencari dunia, keilmuan yang dimilikinya digunakan sebagai alat untuk mendapatkan harta dan jabatan, hingga selalu menghabiskan waktu dengan berangan-angan dan bercita-cita untuk mendapatkan dunia, pangkat, dan kedudukan yang begitu tinggi. Kata Gus Dur, mereka orang tak berkemanusiaan.
Dewasa ini, ulama yang demikian ini sudah mulai banyak di Indonesia. Beberapa bulan yang lalu, ada Ulama yang mempermalukan dirinya sendiri. Mereka asal ngomong soal agama, tapi nyatanya salah. Sebelumnya, ulama-ulama gadungan ini sudah berhasil merengkut simpati dan kepercayaan sebagain bangsa kita. Mulai dari Aksi bela Islam, Bela Tauhid, hingga sebagian lagi di antara mereka harus bela diri karena terjerat hukum penganiyaan.
Hari ini (Rabu, 1 Mei 2019), kelompok ini berkumpul dalam rangka memproduksi Fatwa Ijtima’ Ulama Jilid III, setelah sebelumnya Ijma’ Ulama Jilid II mulai usang dan tidak laku lagi dipasarkan (tidak diikuti masyarakat). Kabarnya, Ijmak Ulama kali ini akan membahas agenda demontrasi kembali sebagaimana demontrasi-demonstrasi sebelumnya.
Dalam Al-Mustashfa min Ilmi al Ushul, al-Ghazali menerangkan bahwa Ijma’ hanya boleh di ikuti setelah memenuhi berapa rukun. Pertama, Ijtma’ harus disepakati seluruh umat Muahammad. Al-Ghazali memaksudkan bahwa Ijma’ harus diikuti seluruh mufti dari berbagai kalangan lintas ormas dan lintas teritori. Mufti yang dimaksudkan al-Ghazali adalah ulama yang memenuhi kredibelitas untuk memutuskan suatu hukum. (Al-Mustashfa min Ilmi al-Ushul, 269)
Kedua, keberadaan perihal ijma’ itu sendiri. Dalam hal ini al-Ghzali menghendaki bahwa perkara tersebut benar-benar disepakati oleh semua kalangan. Jika ada satu saja di antara para mufti yang masih diam (dan apalagi mempermasalahkan), maka tidak cukup syarat untuk disebut “ijtma’”, serta tidak boleh dijadikan hujjah dan bahkan tidak boleh dijadikan dalil. Maka yang demikian ini tidak usah diikuti. (Al-Mustasfa min Ilmi al-Ushul, 284)
Berdasarkan dua rukun Ijma’ yang telah dijabarkan oleh al-Ghazali dalam Al-Mustashfa ini, telah mencukupkan penulis untuk mengambil kesimpulan bahwa Ijtima Ulama yang talah dan akan ditetapkan tidak wajib diikuti. Sebab cacat hukum agama dan juga cacat hukum sosial.
Lembaga Dakwah NU, Komisi fatwah MUI yang tidak diundang, perwakilan mufassir dan tariqah yang tidak dilibatkan, telah menunjukkan bahwa Ijtima Ulama tersebut tidak mencukupi rukun yang pertama. Serta penolakan dari berbagai kalangan semisal Kiai Masduki Baidlawi, representasi NU dan Jusuf Kalla perwakilan dari pemerintah negara (ulul amri).
Juga memperkuat bahwa Ijtima Ulama yang sering difatwahkan oleh kalangan mereka cacat hukum agama dan cacat moral kewarga negaraan. Sebab itulah ijtima ulama yang demikian ini tidak sah dan tidak wajib diikuti.
Alih-alih al-Ghazali telah menegaskan sejak awal bahwa ruang lingkup Ijtima’ Fatwah Ulama yang mesti ditaati harus berkaitan dengan prihal agama. Maka kesepakatan-kesepatan lain di luar domain agama tidak terkategorikan sebagai Ijtima’.
Karena pada dasarnya tujuan pokok dari permahasan Ijma’ Ulama itu sendiri adalah untuk memutuskan suatu hukum keagaaman yang sebelumnya tidak terputuskan. Bukan urusan bisnis dagang, apalagi bisnis jabatan sebagaimana yang dilakukan oleh kalangan alumni 212 dan terutama sekali kubu FPI.
Wallahu A’lam.