Para hafidz atau penghafal Quran, dianggap akan selamat dari siksa api neraka, karena api neraka tidak akan membakar kalam Allah. Tapi belum tentu. Kuasa Allah mampu membuat mereka lupa hafalan di akhirat. Gus Baha memberi ijazah supaya tidak lupa ayat Quran di akhirat.
Melanjutkan uraiannya tentang siksa api neraka, KH. Bahauddin Nursalim mengingatkan kepada para hafidz atau penghafal Quran, kalau memang Allah menakdirkan seorang hafidz Quran masuk neraka, maka bisa-bisa saja hafalan Quran seseorang akan diangkat, sehingga lupa ayat al-Quran di akhir hidupnya menjelang kematiannya.
Kita sering mendengar bahwasanya api neraka tidak akan berani membakar tubuh para penghafal Quran, karena di dalam tubuh mereka tersimpan ayat-ayat suci kalam Allah. Namun kembali lagi, jika memang Allah menakdirkannya buruk dengan takdir masuk neraka, maka kuasa Allah akan membuatnya lupa ketika menjelang akhir hidupnya.
Ulama asal Rembang tersebut mengatakan, bahwa nanti di akhirat Allah akan kembali menyimak hafalan para penghafal Quran tersebut. Sekaligus Allah akan menagih mereka yang di dunia kelihatannya sering menerima undangan untuk semaan al-Quran.
“Sini, Aku akan menyimak bacaan Quranmu. Di dunia kan kamu sering sekali semaan.” Kurang lebih demikian Gus Baha mengilustrasikan.
“Sudah bacaannya mbulet (kusut, tidak lancar), di akhirat tidak ada amplopnya lagi!”
Kemudian, bagaimana caranya supaya para hafidz Quran mampu menjaga hafalannya di dunia dan akhirat?
Gus Baha memberi satu ijazah, berupa saran atau wejangan kepada para penghafal al-Quran. Ijazah ini diberikan Gus Baha, supaya para penghafal Quran terbiasa dan mampu jika nanti di akhirat ‘ditagih’ setoran hafalan di hadapan Allah SWT.
Ijazah Gus Baha tersebut yaitu supaya para hafidz Quran sesekali melakukan setoran hafalan di hadapan Allah SWT. Bagaimana caranya? Yakni dengan cara setoran hafalan sampai khatam di dalam shalat. Gus Baha sangat menyarankan ijazah ini untuk dipraktikkan, setidaknya sekali dalam seumur hidup. Amalan ini perlu dilakukan ketika suasana hati sedang ikhlas.
“Coba lakukan sendirian, ketika ikhlas. Kalau ketika hatinya tidak ikhlas, lebih baik jangan! Harus dilatih terus sampai bisa ikhlas.” Kata Gus Baha.
Beliau melanjutkan wejangannya, “Saya pernah mencoba (amalan) itu selama dua bulan setengah. Jika lupa, saya ulangi lagi. Saya pernah coba mengkhatamkan al-Quran di dalam shalat. Itu butuh dua setengah bulan. Dalam satu hari, dua lembar setengah. Jika lupa, saya ulangi lagi. Ketika hati terasa tidak ikhlas, saya pun ulangi lagi. Jika tidak paham maknanya, saya ulangi lagi.”
Gus baha mencontohkan, ulama-ulama besar terdahulu pernah mengkhatamkan al-Quran di dalam shalat, bahkan sampai rutin. Imam Syafii, contohnya, bahkan melakukannya tiap hari. Imam Bukhari, tiap bula Ramadhan khataman Quraan dua kali di dalam shalat. Semua di dalam shalat. Itu merupakan tradisi ulama zaman dahulu. Salah satu ulama Indonesia yang beliau tahu mengamalkan ini adalah KH. Dimyati Pandeglang.
Dalam mengamalkan ijazah ini, Gus Baha mengatakan, hanyalah satu tujuannya, yaitu supaya semaan hafalan Quran kita tidak melulu ditunjukkan di hadapan manusia. Beliau seraya berdoa: “Ya Allah, jika selama ini saya setor hafalan Quran kepada guru, kepada sesama manusia, kali ini saya setorkan hafalan ini kepada-Mu, ya Allah. Semoga setoran hafalan ini Engkau terima, karena Engkaulah dzat yang Maha Baik.”
Demikian ijazah Gus Baha kepada para penghafal Quran, supaya tidak ‘grogi’ ketika ditagih hafalannya di akhirat. Masa para hafidz Quran semaan cuma kalau ada undangan sama amplopnya saja?