Ihwal Poligami Nabi Muhammad (1)

Ihwal Poligami Nabi Muhammad (1)

Ihwal Poligami Nabi Muhammad (1)

Melalui tulisan ini saya ingin mencoba membedah pada konteks apa poligaminya Nabi Muhammad bersifat instrumental terhadap dakwah Nabi. Selain untuk memberikan narasi atas klaim pseudo-dogmatis tersebut. Catatan ini juga dimaksudkan untuk memperlihatkan bahwa dalam konteks pernikahan dan romansa Nabi, rasa cinta—yaitu rasa cinta yang secara awam kita kenal—tidak menjadi satu-satunya faktor dan/atau faktor terbesar dari keputusan untuk menikahi atau tidak menikahi seseorang.

Dalam proses dekonstruksi ini, saya membagi sifat poligami Nabi ke dalam enam jenis, berdasarkan fungsi dan tujuan dan hikmah dibalik pernikahan-pernikahan tersebut. Pada bagian ini, diskusi kita akan berfokus pada sifat nomor satu: memperkuat lingkar-dalam dakwah Islam, dan pembicaraan atas ini melibatkan dua istri Nabi yang paling terkenal: Aisyah binti Abu Bakar dan Hafshah bin Umar.

Marilah, untuk sementara, kita sederhakan lingkar-dalam ini sebagai empat tokoh Khulafaur Rasyidin. Sebagaimana kita tahu, bagi kultur Arab saat itu, pernikahan berfungsi untuk mengeratkan persahabatan. Abu Bakar telah sejak sebelum Islam menjadi sahabat Nabi. Posisinya semakin kokoh ketika beliau mendeklarasikan diri sebagai pengikut pertama Nabi dari kalangan non-keluarga. Umar, sebaliknya, sempat menjadi musuh Islam paling sengit. Tetapi sebagai seorang pemikir dan perenung, cahaya Islam masuk ke dalam hatinya, dan Umar menjelma salah satu sahabat Nabi paling dekat.

Usman, seorang saudagar yang beriman melalui tangan Abu Bakar, juga menjadi sahabat di lingkar-dalam tersebut. Membersamai ketiga orang ini adalah seorang pemuda yang dibesarkan Nabi, gerbangnya Madinah Ilmu, Ali bin Abi Thalib.

Tentu demi tujuan memperkokoh kekerabatan lingkar-dakwah ini, Nabi perlu pemersambungan ‘kekeluargaan’. Caranya, melalui pernikahan. Kepada Usman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib Rasulullah menikahkan tiga putrinya: Rukoyyah dan Ummu Kultsum untuk Suman, Fatimah untuk Ali bin Abi Thalib. Kepada Abu Bakar, Rasulullah melamar Aisyah—atas petunjuk Allah dan dimakcomblangi Khaulah istri Usman bin Mazh’un. Untuk mempererat persahabatan dengan Umar bin Khattab, kelak Nabi akan menikahi Hafshah.

Sebagaimana Abu Bakar dan Umar, Aisyah dan Hafshah juga bersahabat. Aisyah sering dicemburui sebagai istri kesayangan Nabi. Nabi juga tidak berusaha membantah itu. “Tentang Aisyah jangan persulit aku,” ujarnya, “Karena wahyu tidak turun melainkan ketika aku berada di selimut Aisyah.”

Ketika kita membicarakan rumah tangga Nabi, romansa Rasulullah-Aisyah sering dijadikan teladan romantisme berumah tangga. Aisyah, dalam usianya yang muda, kadang bermanja kepada Nabi; cemburu jika Nabi terlambat datang kepadanya. Aisyah bahkan cemburu kepada ‘kenangan’ Nabi atas Khadijah.

Nabi, di sisi lain, memanggil Aisyah dengan panggilan sayang. Nabi bahkan begitu tidak tega membangunkan Aisyah sehingga pernah tidur di luar pintu rumah. Di sisi lain pintu itu, Aisyah juga jatuh tertidur demi menunggui Nabi. Di pangkuan Aisyah-lah, Nabi meninggal. Di biliknya Aisyahlah, Nabi dikembumikan.

Hafshah, di sisi lain, dikenal ceplas-ceplos dan keras seperti Umar. Hafshah disebut juga sebagai seorang penulis. Sehingga, kita bisa berekspetasi bahwa Hafshah adalah sosok  perempuan yang cerdas. Dengan keceplas-ceplosannya, Hafshah ‘terbiasa mengemukakan pendapatnya dengan bebas’. Kebiasaan ini bahkan dijadikan justifikasi oleh ibunya saat bertengkar dengan Umar. Ketika Umar mengetahui bahwa Hafshah melakukan hal serupa kepada Nabi, Umar segera mendatangi Hafshah dan memarahinya. Berbeda dengan Umar yang kadang ‘sama kerasnya’ saat bertengkar dengan istrinya, Nabi lebih senang mengalah. Beliau demikian lembut sehingga kadang kelembutan hatinya ini ‘menyusahkan’ beliau.

Ketika perang Khaibar membawa banyak ghanimah kepada kehidupan Nabi, istri-istri Nabi meminta ‘jatah’ pada level yang melebihi kemampuan Nabi. Hafshah termasuk yang ‘paling keras’ soal ini. Allah bahkan sampai menurunkan wahyu untuk menegur mereka: untuk memilih antara kekayaan duniawi atau diri Nabi.

Dengan demikian, rupanya selain membawa misi mengokohkan persahabatan di lingkar-dakwah Islam, melalui pernikahan Rasulullah dengan Aisyah dan Hafshah, Rasulullah memberi teladan kepada kita ihwal dinamika rumah tangga di mana karakter suami dan istri tidak selalu seiring sejalan. Rasulullah mengajarkan bagaimana menjadi suami penyayang dan penyabar; bagaimana suami istri tidak boleh saling mempersulit pasangan. Wallahu a’lam.

 

(Bersambung)