Diskusi tentang Fathu Mekkah, penaklukan Mekkah, biasanya terpusat pada: pasukan Rasulullah yang masif, pengampunan besar yang beliau lakukan, dan penghancuran aneka macam berhala di sekeliling Kakbah. Namun, jarang kita tiba pada diskusi ihwal kematangan psikologi Nabi dan isu mayoritas-minoritas yang sebenarnya eksplisit dalam kisah ini.
Mari kita coba tengok:
Pertama, pada 13 tahun pertama dakwah Islam, Nabi dan Muslim adalah minoritas di Mekkah. Sebagai minoritas, mereka mensaksi-matai penistaan, kekerasan, kesombongan, dan pencideraan kemanusiaan oleh Quraisy yang mayoritas. Tetapi sebagaimana minoritas, mereka helpless.
Kedua, ketika hijrah ke Madinah, Nabi datang sebagai orang asing, tetapi disambut “pribumi Madinah”. Dengan dukungan itu, Nabi mendapat suara mayoritas (Aus dan Khajraj). Agar isu pribumi non pribumi hilang, Nabi menikahkan dan mempersaudarakan Ansar dan Muhajirin.
Dengan Madinah yang beragam suku dan agama, Nabi sadar akan tanggungjawab persatuan, keadilan, dan kebahagiaan umat yang diembankan di pundaknya, sehingga beliau tidak memaksakan kehendak. Alih-alih beliau menginisiasi Piagam Madinah yang menjamin hak minoritas, kesetaraan, keadilan, dan keragaman. Setiap orang dijamin hak beragamanya.
Ketiga, ketika kembali ke Mekkah, dalam Fathu Mekkah, Nabi ditopang oleh pasukan lintas ras dan suku se-Jazirah Arab. Quraisy jadinya terlihat sebagai minoritas. Ketika Nabi masuk ke Mekah, Nabi punya kesempatan untuk balas dendam pada kaum yang dulu menyiksa beliau dan kaumnya.
Tetapi Nabi sadar pada kesalahan yang kerap dilakukan mayoritas terhadap minoritas dan Nabi tidak mau jadi contoh yang buruk. Alhasil, Nabi memilih memilih memaafkan.
Pertanyaannya kemudian: apa yang membedakan Nabi dengan kita?
Sebagian (besar) dari kita tidak berkesempatan untuk merasakan bagaimana rasanya hidup sebagai minoritas, sehingga kadang kita tidak sadar kalau kita melakukan symbolic violence kepada yang minoritas. Kita ambil secara cuma-cuma privilege yang kita dapatkan sebagai mayoritas dan masih meminta lebih.
Hal ini diperparah dengan kecenderungan sebagian dari kita untuk mengurung diri dalam homogenitas lingkungan, area belajar, dan bahan bacaan, sehingga kita tidak berkesempatan melihat sesuatu dari kacamata pihak lain.
Tentu dalam beberapa hal, persoalan ini potensial memicu friksi apalagi kalau kita sudah kadung judgmental dan merasa-diri-paling-benar. Itu kenapa kita perlu meneladani Nabi yang pengalamannya menjadi minoritas-mayoritas menjadikan beliau lebih arif.
Jika kita tidak berkesempatan untuk tinggal di tempat lain sebagai monoritas, agar tetap bisa meneladani kearifan Nabi, kita bisa mulai membuka cakrawala kita dengan meng-heterogenitaskan bacaan dan lingkup pergaulan kita.
Biar tak terjebak prasangka, biar jadi lebih adil.
Bismillah. Dari Pembebasan Mekah menuju Pembebasan jiwa.
Insya Allah.