Seorang Ibu, dengan membawa dua balita berusaha memasuki gereja. Sekian detik berlalu, kaca-kaca jendela, motor, besi dan sampah bangunan porak poranda. Ya, ibu tadi diduga kuat melakukan aksi bom bunuh diri di salah satu gereja di Surabaya. Tak sendirian, ia melakukan bom bunuh diri bersama seluruh anggota keluarganya, termasuk keempat anak-anaknya. Peristiwa itu memang terjadi beberapa waktu lalu, tapi dada ini masih sesak jika mengingatnya.
Pilu, tiada tara. Bagaimana mungkin saya bisa membayangkan di malam harinya, ketika hendak tidur, sang ibu membisiki anaknya bahwa esok hari mereka akan mengakhiri kehidupan mereka bersama-sama. Begitu pula sang ayah, bagaimana mungkin ia bisa tega mengikutsertakan keempat anaknya untuk turut melakukan aksi keji tersebut? Apa yang kiranya ada di pikiran mereka malam itu? Sekali lagi, saya tak bisa membayangkannya, dan tak mampu memahami alur pikiran para teroris ini.
Saya yakin, tak ada satu ibu pun di dunia yang dengan sadar, mencelakai dan membunuh anak anaknya sendiri, tanpa adanya peran dan unsur doktrinasi dari pihak luar yang lebih besar dan kuat. Bisa jadi, alasan ekonomi, doktrin agama yang tidak benar, narasi kekejaman politik dan penguasa yang menyebabkan seseorang melakukan aksi-aksi yang tak berpihak pada nilai kemanusiaan. Mereka frustasi, dan berlaku bodoh.
Tidak, tidak. Saya tidak hendak menyalahkan seratus persen ibu tersebut. Seperti halnya kejadian babyblues, yang acapkali membuat ibu tega bahkan untuk membunuh anaknya sendiri. Ia mengalami situasi yang kacau, psikologi yang hancur lebur, tanpa dukungan memadai dari keluarga terdekat. Saya hanya membayangkan, menebak-nebak, bisa jadi ibu tersebut diperalat dan terpaksa melakukan perbuatan keji karena hal itulah satu-satunya yang bisa ia lakukan untuk keluar dari lubang kesengsaraan. Propaganda keagamaan yang salah kaprah, yang acapkali menggambarkan situasi tertekan pada ‘umat muslim’, dengan narasi penuh ketakutan dan balas dendam bisa mempengaruhi seseorang untuk bertindak teror.
Ibu itu jelas tak punya kuasa atas dirinya. Ia tak bisa menahan diri, dan tak kuasa menolak kesalahpahaman agama jika yang ia dapatkan berupa doktrin-doktrin dan propaganda dari para elit dan juru dakwah yang kerap menyulut kebencian. Atau, bisa jadi, ia, tak mampu lepas dari bayang-bayang pasangan, atau suami, yang terlebih dahulu tergabung dalam aksi aksi radikal dan ekstrem. Kasus seperti ini kerap kali ditemukan dalam keterlibatan perempuan terhadap aksi-aksi radikal dan bahkan teror.
Tercatat, pelaku bom bunuh diri di Surabaya 13 Mei 2018, tergabung dalam Jaringan Jamaah Ansorut Tauhid (JAT) dan Jamaah Ansorud Daulah yang menjadi jaringan pendukung ISIS di Indonesia. Di Indonesia sendiri, kejadian ini, yakni pelaku bom bunuh diri yang terdiri dari anggota keluarga menjadi hal baru, dan sungguh membuat otak dan hati sekalipun seakan tak bisa menerima. Anak-anak, yang tak tau apa-apa, selain bermain dan bermain, dijejali doktrin dan di’paksa’ untuk mengerti hal pelik yang berhubungan dengan pembunuhan bahkan harus merelakan diri mereka sendiri untuk berhadapan dengan kematian.
Saya jadi teringat beberapa waktu lalu, tak lama, yang membuat saya sangat terkejut dan terpukul ketika membaca di salah satu media nasional, ada seorang perempuan yang saya kenal, menjadi korban doktrin ISIS. Kabarnya, suaminya menjadi pentolan jihadis di daerah asalnya. Dan, ia tanpa mempunyai kekuatan lebih harus tunduk dibawah ajakan suami. Anak anaknya yang masih kecil, lugu, mau tak mau harus berkenalan akrab dengan senjata laras panjang beserta simbol simbol ISIS yang terpasang di separuh kepala mereka. Anak anak itu jelas tak mengerti, hingga mereka dijejali doktrin-doktrin kebencian oleh orang tua mereka. Hal ini bisa menjadi salah satu contoh kecil bagaimana jaringan ektremisme dan terorisme kerap melibatkan perempuan.
Ya, tentu saja perempuan mempunyai peran yang cukup vital untuk mencounter aksi kekerasan ektremisme dan terorisme. Begitu juga sebaliknya. Mereka, para perempuan termasuk kaum ibu, mempunyai peran yang tak kalah penting untuk mendukung dan mensupport grup teroris. Dalam beberapa kelompok teroris, keterlibatan perempuan disiapkan tidak hanya untuk mensuplai logistik, bom racikan untuk digunakan para fighters, lebih dari itu mereka mempunyai peran signifikan diluar area konflik, yaitu untuk meraih simpati publik dengan menyebarkan dakwah keagamaan dan aksi-aksi mereka yang kerap mengatasnamakan agama, memobilitas massa, melebarkan jaringan lewat jalur pendidikan, rekruitmen anggota dan kegiatan amal.
Perempuan Indonesia menjadi daya tarik sendiri bagi para radikalis terkait dengan kemampuan dan potensinya dalam fundraising atau penggalangan dana. Studi terbaru, mengatakan bahwa keterlibatan perempuan Indonesia dalam aksi-aksi terorisme terus mengalami kenaikan, seiring dengan alasan-alasan lain yang menjadikan mereka mudah tergabung dengan kelompok ektremisme dan terorisme. Misalnya saja, pemahaman mereka atas gagasan khilafah yang mereka anggap sebagai sebuah kewajiban agama. Juga, sebagai jawaban atas ketidakadilan sosial dan ketidaksetaraan di dalam lingkungan masyarakatnya.
Ibu Sebagai Kunci Perdamaian
Peran seorang Ibu menjadi cukup relevan dan signifikan untuk menangkal penyebaran ajaran dan aksi terorisme sedini mungkin. Tanggung jawab keluarga, salah satunya ada di tangan para ibu, tentu saja jika mereka punya kuasa atas dirinya sendiri. Perempuan dikenal dengan kaum multiperan. Selain sebagai pendidik dalam lingkup keluarga maupun di sekolah, mereka juga aktif dan punya posisi penting untuk menginisiasi aksi-aksi damai lewat ruang-ruang publik yang banyak melibatkan perempuan.
Ikatan emosional seorang Ibu dengan anak-anaknya akan lebih mudah meminimalisir keterasingan dan perasaan frustasi anak dalam kondisinya masing-masing, yang kerapkali justru mengarah ke sebuah pemahaman radikal. Peran perempuan, baik sebagai ibu, istri, kakak perempuan, dianggap memiliki kekuatan tersendiri untuk membangun norma-norma sosial dalam keluarga, juga untuk mengajarkan nilai-nilai perdamaian dan toleransi. Dalam jumlahnya yang sangat besar, mereka diharapkan mampu menjadi role model untuk melawan aksi-aksi ektremisme dan terorisme.
Dalam ruang lingkup keluarga misalnya, Ibu harus terus awas akan perubahan anak-anak atau pasangan. Memastikan anak-anak mendapatkan ajaran keagamaan yang baik, sekaligus selalu mewaspadai teman dan lingkungan baru untuk mereka. Mengawasi penggunaan media sosial serta internet bagi keluarga, dan yang tak kalah penting mengajak untuk berdiskusi dimulai dari hal-hal ringan di tempat mereka ngaji atau sekolah.
Setiap perempuan, mempunyai perannya sendiri, baik dalam skala lokal maupun nasional. Melibatkan suara perempuan dalam mengambil kebijakan publik, juga menafsirkan teks teks keagamaan, harus lebih diperhitungkan. Karena perempuan, acapkali dan seringkali berhasil menjembatani konflik dan juga mampu menjadi agen-agen perdamaian. Memberikan ruang yang lebih luas untuk perempuan dalam menanggulangi terorisme di segala bidang mampu memberikan kontribusi yang lebih baik. Sekali lagi, karena mereka mampu bergerak dua arah, baik di ranah publik maupun domestik. Hal ini tentu saja, harus diimbangi dengan pendidikan yang memadai, informasi yang baik serta dukungan penuh oleh pemangku kebijakan setempat.
Referensi :
http://www.mei.edu/…/role-women-islamic-state-dynamics-terr…
https://www.straitstimes.com/…/indonesian-militants-recruit…