Ibnu Sina: Bapak Kedokteran Muslim

Ibnu Sina: Bapak Kedokteran Muslim

Mengenal Ibnu Sina, bapak kedokteran muslim.

Ibnu Sina: Bapak Kedokteran Muslim

IBNU Sina, ilmuwan muslim yang satu ini tentu sudah tak asing lagi di telinga kita. Pribadinya tersohor karena dedikasinya terhadap ilmu kedokteran memiliki pengaruh besar terhadap dunia kesehatan hingga saat ini. Buku al-Qanun fi at-Tibbi (Canon of Medicine), adalah karya prestisiusnya sehingga dia dikenal sebagai bapak kedokteran modern. Selama berabad-abad lamanya, kitab ini menjadi rujukan utama dan paling otentik.

Al-Qanun fi al-Tibbi mengkaji berbagai kaedah umum ilmu kedokteran, obat-obatan dan jenis penyakit. Dikatakan juga bahwa, buku ini mengombinasikan pengetahuan pengobatan purba dengan metode kedokteran Islam. Pada abad ke-12, tepat ketika upaya penerjamahan buku-buku karya tokoh Islam mengalami kebangkitan, al-Qanun diterjemahkan ke dalam bahasa Latin. Kemudian pada saat ini, buku ini juga telah diartikan ke banyak bahasa, seperti bahasa Inggris, Prancis, dan Jerman.

Selama ini, banyak orang berpikiran bahwa Ibnu Sina hanya memiliki satu buku yang bertemakan ilmu kedokteran/pengobatan. Padahal, sesungguhnya masih ada beberapa buku dan artikel yang berserakan dan belum sempat dibukukannya. Sejumlah buku kedokteran lain yang ditulisnya, yaitu al-Urjuzah fi at-Tibbi, al Adwiyah Al-Qolbiyah, dan as-Syifa. Kitab as-Syifa atau The Book of Healing kemungkinan mulai ditulis Ibnu Sina pada 1014 M, selesai sekitar tahun 1020 M, dan diterbitkan pada 1027 M.

Sementara itu, dia juga menulis buku dengan tema lain, seperti filsafat, musik, logika, fisika, politik, dan psikologi. Bahkan, tak akan ada yang mengira bahwa Ibnu Sina juga menekuni dunia sastra. Beberapa judul puisi yang ditulisnya adalah al-Qasidah al-Muzdawiyyah dan al-Qasidah al- ‘Ainiyyah; dan syair-syairnya, seperti Hayy ibn Yaqzhan, Risalah ath-Thair, Risalah fi Sirr al-Qadar, Risalah fi al- ‘Isyq, dan Tahshil as-Sa’adah.

Ibnu Sina (980 – 1037)merupakan salah satu ilmuwan muslim yang lahir pada abad keemasan Islam. Dia dilahirkan di Persia (Iran) pada 980 M, dengan nama asli Abu Ali al-Husayn bin Abdullah bin Sina. Dalam berbagai kajian keilmuan, Ibnu Sina dikenal juga sebagai Avicenna. Dalam bidang ilmu filsafat, dia disejajarkan dengan sejumlah filosof muslim seperti al-Kindi (800 – 865), al-Farabi (870 – 950), al-Ghazali (1058 – 1111), dan Ibnu Tufayl (1106 – 1185).

Mempelajari biografi Ibnu Sina tak cukup menarik bila tidak mendalami perjalanan hidupnya menggeluti ilmu pengetahuan. Pada usia 10 tahun, Avicenna sudah mempelajari ilmu-ilmu keagamaan, termasuk tuntas menghafal al-Qur’an. Pada usia yang masih anak-anak itu, dia bahkan telah mendalami buku-buku logika, misalnya Isagoge, Prophyry, dan Eucliddan al-Magest Ptolemus di bawah bimbingan Abu Abdellah Natili. Di samping itu, dia telah melahap habis buku Metaphysics-nya Plato dan Aristoteles.

Cerita paling fenomenal dan banyak diulas dalam berbagai artikel yang membahas biografinya, yaitu saat Ibnu Sina menyembuhkan seorang kepala pemerintahan Amir Nuh bin Nasr yang sedang sakit parah. Nasr terkagum dengan kehebatan Ibnu Sina, sehingga memanggilnya untuk datang ke Istana dan mengobatinya. Dengan cermat Ibnu Sina mengobatinya hingga hilang penyakit di tubuh Nasr. Walhasil, sebagai balasannya, Ibnu Sina menjadi sahabat atau orang kepercayaan Nasr, dan diberikannya akses perpustakaan besar yang dimilikinya kepada Ibnu Sina kapanpun dia mau masuk dan menikmati koleksi buku-buku Nasr.

“Pemberian” ini dimanfaatkan Ibnu Sina dengan baik. Dia membaca buku-buku koleksi perpustakaan istana tersebut, hingga menguasai seluruh ilmu yang terdapat di dalamnya. Koleksi di perpustakaan tersebut juga memberi banyak jawaban bagi penemuan-penemuannya di bidang kedokteran. Akan tetapi di lain pihak, kedekatannya dengan Nasr membuat sebagian pihak istana cemburu, dan ketika perpustakaan tersebut mengalami kebakaran hebat, maka Ibnu Sina menjadi pihak tertuduh dan paling disalahkan dalam hal ini.

Selain suka membaca buku yang bermacam-macam, Ibnu Sina juga belajar dari berbagai ilmuwan di masanya. Hidup di masa kejayaan Islam memberi keuntungan baginya, karena saat itu ilmu pengetahuan dijunjung setinggi langit oleh kerajaan-kerajaan Islam. Buku-buku dari Yunani, Persia dan India diterjemahkan dan madrasah-madrasah dibangun; profesi guru, ilmuwan, penerjemah dan peneliti dibayar mahal oleh kerajaan.

Kemudian, pembelajaran ilmu sains (astronomi, matematika, al-Jabar, Trigonometri, dan ilmu pengobatan) dan ilmu agama digalakkan di universitas-universitas. Tak pelak, bila pada masa itu banyak lahir ilmuwan muslim. Bahkan, yang lebih hebat lagi, kebanyakan ilmuwan tersebut menguasai lebih dari satu bidang keilmuan. []