“Inequality fosters corruption and corruption leads to more inequality- ketidaksetaraan menumbuhkan korupsi, dan korupsi melahirkan ketimpangan”. Eric M. Uslaner dalam Debate of Corruption and Integrity).
Ketimpangan merupakan anak kandung yang lahir dari rahim korupsi. Dampaknya begitu masif menjalar ke seluruh lini kehidupan tanpa terkecuali. Sehingga, menjadi sebuah aksioma bahwa korupsi merupakan bencana kehidupan. Bencana yang akan terus menghadirkan kepiluan. Tak ada kata puas jika candu korupsi telah menyelaminya.
Laku korup merupakan perbuatan amoral, dimana sikap hipokrit dan rakus mengendap dalam diri. Demoralisasi akan terus berlanjut tanpa mengenal waktu dan usia jika tidak segera ditemukan resep dan penawarnya. Karena laku korup merupakan masalah moral, maka pendekatan yang dilakukan untuk memupusnya adalah dengan kesadaran diri. Menemukan kesadaran diri yang hakiki guna kembali pada pribadi yang bermoral, menjadi salah satu nilai yang terkandung dalam ibadah puasa.
Puasa dan Kesadaran Diri
Ibadah puasa memiliki kekhasan tersendiri dibandingkan dengan ibadah-ibadah lainnya. Kekhasan tersebut setidaknya dapat disimpulkan dalam 3 (tiga) hal. Pertama, berdimensi esoteris. Maksudnya, puasa merupakan ibadah kebatinan dan bersifat rahasia yang keabsahan dan keberterimaannya hanya diketahui oleh yang berpuasa dengan Tuhannya.
Allah langsung memantau dan menilai kualitas puasa seseorang. Apakah layak diganjar sebagai sarana penemuan kesadaran diri, atau sebatas merasakan beratnya menahan lapar dan dahaga karena kepura-puraan. Pada tataran ini, relasi yang dibangun dalam puasa bersifat vertikal. Kejujuran terhadap diri sendiri dipertaruhkan. Kesadaran untuk mengendalikan diri dari godaan nafsu ammaroh bis–su’ berkibar guna menaklukkannya.
Kedua, memupuk jiwa humanis. Sekalipun secara visual puasa merupakan ibadah individual yang tidak langsung bersinggungan dengan manusia lainnya, namun puasa mengajarkan kepedulian terhadap sesama. Nilai ini diperoleh dari perjuangan seseorang yang dengan ikhlas tidak mengkonsumsi apapun pada saat melaksanakannya. Rasa empati akan tumbuh dan berkembang. Hati akan terpanggil untuk menebar kebaikan dan laku senantiasa menabur kasih sayang. Pribadi filantropi benar-benar terwujud.
Kesadaran diri akan kesetaraan di hadapan-Nya membangun paradigma profetik untuk selalu memanusiakan manusia, menghormatinya dan menjunjung tinggi keberadaannya. Tindakan koruptif dalam bentuk apapun dan sekecil apapun sama saja dengan menghina dan menista diri sendiri dan manusia. Jiwa humanis dari ibadah puasa akan menjadi pelopor mewujudkan kehidupan yang ekuilibrium dengan mengeliminasi laku korup dan ketimpangan yang disebabkannya.
Ketiga, sarana menempa fisik yang prima dan menata mental tangguh. Mengutip pepatah latin mens sana in corpore sano, dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang kuat. Tubuh sehat adalah garansi bagi siapapun yang berpuasa. Sungguh tidak ada keraguan untuk itu. Tubuh yang sehat secara simultan akan memompa semangat diri memupus keegoan dan menghapus segala keangkuhan. Jiwa yang kuat ditandai dengan terpaterinya mental tangguh dan berkarakter yang diitari kejujuran, tanggung jawab, kebersamaan, dan kepedulian.
Anti Korupsi dalam Puasa
Berbagai kekhasan puasa di atas tidaklah dimaknai secara parsial. Pengamalannya dilakukan dalam satu tarikan nafas. Holistik. Nilai esoteris, humanis, dan pribadi tangguh menjadi satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Perpaduan di antara ketiganya akan mengantarkan kepada kesadaran diri yang hakiki dan menjadi benteng diri sejak dini terjangkit laku korup.
Di samping sebagai benteng diri, ia menjadi penawar paling ampuh jika penyakit itu telah merasuki diri. Seseorang yang dengan kesadaran diri berpuasa, sungguh tak akan mampu berpura-pura baik di hadapan-Nya, karena Allah pasti tahu sandiwara itu. Rahasia yang Allah janjikan dalam pelaksanaannya jangan sampai ternoda. Sikap kepura-puraan persuasif merupakan adegan awal laku korup.
Langkah berikutnya, di saat mampu mengkontrol diri dengan menggenggam nilai esoteris di hadapannya, maka akan menstimulus bergejolaknya jiwa humanis seseorang. Tak akan mungkin diri menyimpang untuk merampas hak orang lain. Sungguh tidak rasional menyalahgunakan kekuasaan demi kepentingan pribadi. Dan, telah melewati demarkasi fitrah kemanusiaan bagi yang sanggup tertawa terbahak-bahak di atas nestapa saudaranya.
Sebaliknya, semangat bergelora menjemput rasa kebersamaan menjadi kekuatan. Sensitivitas untuk menyibak kenyataan sekitar tak mampu lagi ditahan. Benar-benar pengabdian hakiki.
Pada akhirnya, godaan laku korup akan rapuh tak berdaya di hadapan pribadi tangguh tersebut. Tersungkur dan terkubur dengan sangat dalam ketika pribadi tangguh telah mengambil posisi yang strategis ini. Nilai esoteris, humanis, dan pribadi tangguh membentengi diri dari segala macam laku korup. Begitu kukuh dan kokoh.
Ibadah puasa, dengan segala kekhasannya benar-benar menjadi penemuan kesadaran diri dan gudang kekuatan mental untuk memusnahkan perilaku korup. Mengakhiri tulisan ini, menarik menelaah ungkapan Eric M. Uslaner di awal-awal bukunya yang berjudul Corruption, Inequality,and the Rule of Law, “they tell you that the best in life is mental”. [rf]