Baharuddin Lopa: Hadiah Harusnya untuk Orang yang Lebih Susah

Baharuddin Lopa: Hadiah Harusnya untuk Orang yang Lebih Susah

Siapa yang tak kenal Baharuddin Lopa. Namanya cukup masyhur di kalangan masyarakat pada era kepemimpinan Gus Dur.

Baharuddin Lopa: Hadiah Harusnya untuk Orang yang Lebih Susah

Saat ini hadiah sudah menjadi hal lumrah di tengah masyarakat kita. Siapapun bisa bagi-bagi hadiah dan mendapat hadiah.

Seorang Influencer kalau ingin nambah follower, harus bagi-bagi hadiah (give away). Bahkan, saat ini sedang tren ikoy-ikoyan. Suatu istilah untuk bagi-bagi hadiah yang dilakukan oleh salah satu influencer, karena asistennya bernama Ikoy.

Jika hadiah itu diberikan kepada orang yang gak punya, mungkin wajar-wajar aja. Namun jika salah orang, atau malah diberikan kepada orang yang kaya, maka itu tentu tidak tepat.

Baharuddin Lopa, Jaksa Agung masa Presiden Abdurrahman Wahid adalah sosok yang sangat anti sama hadiah-hadiah. Memang, saling memberi hadiah adalah hal yang menyenangkan, tapi jika seorang pejabat yang diberi hadiah, maka hal itu bermasalah.

Sebagai salah satu pejabat tinggi negara, Baharuddin Lopa selalu memperhatikan hal ini. Ia sama sekali tidak pernah mau diberi hadiah dalam bentuk apapun. Karena jika ada pejabat yang diberi hadiah, maka yang meberi hadiah biasanya memiliki “udang di balik batu”, niat terselubung. Bahkan ketika hadiah itu sudah diterima, ia akan berusaha untuk mengembalikannya dengan cara yang halus.

Dalam buku Belajar Integritas dari Para Tokoh Bangsa, Pariama, salah satu ajudannya bercerita bahwa hadiah bagi Baharuddin Lopa hanya untuk orang susah. Bahkan, bagi Lopa, hadiah tidak cocok bagi orang yang sudah bergaji (pejabat) seperti dirinya,

“Ia selalu mengatakan kepada si pemberi hadiah bahwa dirinya tidak perlu diberi hadiah, karena ia memiliki gaji. Yang perlu diberi hadiah adalah rakyat yang susah,” tutur Pariama, ajudan Lopa.

Suatu hari, H. Edi Sabara memberi Lopa hadiah uang senilai Rp. 100.000. Saat itu H. Edi Sabara sedang menjabat sebagai gubernur Sulawesi Tenggara. Nilai uang itu dianggap sangat besar pada tahun 1970-an. Lopa tak tergiur sekalipun. Uang itu sudah diberikan kepadanya, namun ia tak mengambilnya. Lopa meminta kepada ajudannya untuk menyerahkan uang itu kepada salah satu panti jompo di Lepo-Lepo, Kendari.

Begitulah seharusnya seorang pejabat negara. Seyogyanya semua pejabat negara menjaga diri dari segala macam hadiah yang diberikan oleh siapapun. Semacam tindakan preventif agar tidak terjerat pada perilaku yang kurang baik dan merugikan negara. Apalagi jika selama ini sudah berkecukupan dan kaya raya. (AN)