Pada sepuluh hari terakhir Ramadhan, antara tanggal 20-30 Ramadhan, umat Islam dianjurkan untuk melakukan i’ktikaf. Sebab, di tanggal-tanggal itu terdapat satu malam yang bernilai lebih daripada seribu bulan (Lailatul Qadar). Secara terminologi i’tikaf diartikan berdiam diri di masjid dengan syarat-syarat tertentu dan semata-mata untuk beribadah dan meningkatkan derajat ketakwaan.
Takwa dalam konteks Ramadhan ini memiliki dua dimensi, yakni spiritual dan sosial. Dimensi spiritual itu dibuktikan dengan ibadah kita yang semata-mata untuk meningkatkan hubungan vertikal melalui berbagai kegiatan ritual, seperti shalat, berdoa, membaca Al-Qur’an, yang bersifat mendekatkan diri kepada Allah SWT. Sementara dimensi sosial yaitu memelihara hubungan horizontal dengan sesama manusia.
Misalnya, melakukan shalat berjamaah, menengok orang sakit, melayat jenazah, serta memberikan santunan uang atau makanan kepada yang membutuhkan.
Dengan demikian Iktikaf juga berfungsi sebagai koreksi internal diri masing-masing (al muhasabah), sekaligus koreksi eksternal (al muamalah). Membersihkan jiwa dari berbagai perbuatan rendah dan kasar, kemudian mengisinya dengan segala perbuatan penuh keutamaan, serta berkonsentrasi penuh mengingat Allah SWT.
Dari kegiatan spritual inilah individual itulah kelak terpancar daya nalar dan kehendak untuk mengaplikasikannya dalam kenyataan. Berbekal watak keutamaan yang terbentuk selama iktikaf, semangat sosial menjadi bertambah.
Iktikaf menyambut Lailatul Qadar bukan lagi merupakan kenikmatan tersendiri bagi diri pribadi yang amat personal, melainkan kenikmatan bersama yang universal.
*Disarikan dari buku “Panduan Lengkap Ibadah Menurut Al-Qur’an, Al- Sunnah dan Pendapat Para Ulama” karya Muhmmad Bagir