Nasruddin Hoja, Siapa tidak kenal? Ia sangat masyhur di kalangan pengkaji dan penikmat literatur Islam, tapi tak sedikit pula yang membayangkan bahwa Nasruddin Hoja adalah tokoh fiktif belaka. Mengapa? Karena buku-buku, kisah-kisah yang sampai di tangan kita, di telinga kita, orang Indonesia, hanyalah kisah lucunya atau humornya. Stigma kefiktifan itu juga kerap menimpa ketokohan Abu Nawas, penyebabnya pun hampir sama.
Oleh sebab itu, baik nama Nasruddin maupun Abu Nawas jarang sekali atau bahkan tidak dikutip di khutbah Jum’at sebagaimana Imam al-Ghazali misalnya. Namanya sering dikutip ihwal kisah jenaka yang sarat dengan hikmah.
Nasruddin Hoja bukan tokoh fiktif. Ia ada sebagaimana al-Syafi’i, al-Ghazali, al-Farabi, al-Khawarizmi, Ibnu Sina, dan deretan nama-nama yang kita kita kenal. Kalimat, petuah dan kisah Nasruddin Hoja, juga mencerahkan, penuh hikmah dan sarat pelajaran kehidupan. Beberapa kisahnya banyak dinarasikan oleh sufi kontemporer Idris Shah. Salah satu kisah ringan nan jenakanya seperti berikut ini;
Alkisah, pada suatu ketika Nasruddin Hoja kedatangan tamu seorang laki-laki, tanpa basa-basi tetiba laki-laki tersebut bertanya kepada Nasruddin, “Mengapa setiap hari orang-orang berjalan hilir mudik kes sana ke mari. Yang ini ke barat, yang itu ke timur; yang dari utara menuju ke selatan, yang dari selatan ke utara?”
Mendapat pertanyaan itu, Nasruddin berpikir sejenak, baru kemudian menjawabnya, “Ah, begitu saja kau tidak tahu; kalau manusia berjalan menuju ke satu arah, bumi ini akan miring dan kita semua akan jatuh terlempar ke jurang.”
Mendengar jawaban dari Nasruddin, sontak saja laki-laki tadi tertawa terbahak-bahak. Laki-laki itu pun berlalu sambil terus tertawa.
Nah, dari kisah di atas kita bisa mengambil hikmah, bahwa tidak semua pertanyaan harus dijawab dengan serius. Karena pada dasarnya manusia memang selalu hilir mudik ke segala penjuru untuk memenuhi kebutuhannya. Jawaban spontan Nasruddin Hoja tak ubahnya reaksi jenaka dari pertanyan retoris yang dilontarkan laki-laki tadi.