Masyarakat menangkap seorang yang diduga menjadi provokator kerusuhan di sebuah kabupaten. Mereka lantas menyerahkannya ke koramil setempat. Pak Dandim pun segera menginterogasi provokator itu.
“Siapa nama kamu?” bentak Danramil.
“Saya Sentot, Pak,” kata si tertuduh, gemetaran.
Danramil pun melanjutkan berbagai pertanyaan lainnya. Siapa yang menyuruh, berapa dibayar, siapa saja kawannya dan seterusnya. Sampai akhirnya Danramil membentak keras, “Betul nggak kemarin kamu yang memprovokasi masyarakat sini?”
Dengan mimik penuh ketakutan dan suara gemetar Sentot menjawab, “Tidak, Pak.”
“Ngaku saja kamu! Ayo ngaku!” bentak Danramil, kali ini sambil mengepalkan tangannya.
“A.. nu, Pak.”
“Iya, apa enggak?!” desak Danramil sambil menghentakkan sepatunya keras-keras ke lantai.
“Iya, iya, Pak, saya ngaku.”
Mendengar pengakuan provokator puaslah hati Pak Danramil. Ternyata butuh dibentak dan diancam dulu orang baru mau ngaku.
Besoknya, kebetulan Pak Danramil diminta memberi khotbah jumat di masjid setempat, sesuatu yang cukup banyak terjadi di era Orde Baru. Seperti para khatib umumnya Pak Danramil pun berwasiat tentang taqwa, mengajak seluruh jamaah agar meningkatkan ketakwaan.
“Sidang jumat yang berbahagia, marilah bertakwa kepada Allah subhanahu wataala,” ujar Danramil. “Kalau tidak, awas ya…”