Diakui atau tidak, negeri kita sedang darurat humor hari-hari ini. Humor sudah seperti nasib kambing di rumah penjagalan: satu per satu mengantri menunggu dieksekusi. Di sisi lain, ketersinggungan adalah lauk pelengkap nasi di meja makan para pejabat, institusi negara, ormas keagamaan, atau masyarakat yang tak sanggup menertawakan diri sendiri. Sehari-hari kita konsumsi. Masuk ke dalam tubuh, mengalir bersama darah, dan mengeras di dinding hati.
Dua kasus terakhir, katakanlah, fitnah kepada komedian Bintang Emon dan penangkapan Ismail Ahmad oleh Polres Sula, Maluku Utara. Di Twitter, Bintang dituduh memakai narkoba setelah mengkritik janggalnya proses peradilan kasus penyiraman penyidik KPK, Novel Baswedan. Sedangkan Ismail harus berurusan dengan aparat cuma karena mengutip guyonan Gus Dur tentang “tiga polisi jujur”.
Lantas, sebagai negara yang telah memasuki era reformasi, meninggalkan rezim otoritarianisme Orde Baru, mengaku lebih demoratis, juga menjamin kebebasan berpendapat dan berekspresi; apakah semua masih relevan dengan adanya segala macam peristiwa yang terjadi saat ini? Sebenarnya negara kita sedang menjalani progres kemajuan atau malah mengalami kemunduran? Atau jangan-jangan, humor di masa Orde Baru justru dapat tempat lebih aman?
Beberapa waktu lalu saya mendapat banyak jawaban terkait hal ini. Mengikuti diskusi daring “Melawan Melalui Lelucon” bersama Hairus Salim dan Sakdiyah Ma’ruf, saya cukup terpuaskan oleh wawasan, analisis, dan kritik keduanya dalam melihat situasi Indonesia hari ini. Mas Salim adalah guru saya, seorang esais, budayawan, dan murid Gus Dur yang hobi menyisipkan humor dalam obrolan-obrolannya. Sedangkan Mbak Sakdiyah, salah satu komika perempuan yang saya kagumi: humor-humornya segar, sarat kritik, dan seringkali memunculkan ironi yang getir. Diskusi yang dihelat oleh Jaringan GUSDURian itu dipandu oleh Inayah Wahid, salah satu putri Gus Dur yang lama bergelut di dunia seni hiburan.
Begini, kalau mau melihat relasi humor dan negara demokrasi saat ini, kita perlu meninjau kembali seperti apa situasi negara di masa lampau, terutama di era panjang Orde Baru. Di samping itu, kita juga bisa membandingkan bagaimana respons terhadap humor di negara kita dengan negara-negara demokrasi lainnya.
Di era Presiden Suharto, humor yang sarat kritik hanya merayap di bawah tanah. Sedangkan di permukaan, kita hanya akan menjumpai humor-humor pragmatis yang sekadar menjadi lawakan biasa. Kalaupun ada humor berisi kritik, jumlahnya sangat terbatas dan disebarkan oleh instansi, bukan oleh individu yang memungkinkan dilakukan seperti sekarang.
Salah satu instansi yang rajin menyajikan ruang kritik lewat humor adalah koran. Meski tidak secara frontal, banyak sekali koran yang mempunyai satu rubrik khusus kritik di halaman depannya. Kadang berisi sentilan teks jenaka, kadang berisi ilustrasi lucu. Harian Kompas punya Mang Usil, Jawa Pos punya Mr Pecut, Tempo punya Portal. Berbagai kritik yang dimuat di sana umumnya tidak menyerang individu di pemerintahan. Tipikal sasaran kritik itu sejalan dengan gaya kritik kelompok-kelompok lainnya yang lebih menyasar kepada instansi pemerintahannya.
Selain koran, suara-suara kritis melalui humor politik juga muncul melalui siaran radio. Prambors adalah radio yang cukup lantang kala itu. Melalui program siaran “Obrolan Santai di Warung Kopi” yang mulai mengudara tahun 1973 itu, muncullah kluster hiburan baru yang digemari anak-anak muda. Awalnya program tersebut diisi oleh Rudy Badil, Nanu Mulyono, dan Kasino Hadiwibowo, tiga mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) Universitas Indonesia (UI). Namun tidak lama kemudian dua mahasiswa-aktivis lain, yaitu Wahjoe Sardono dan Indrodjojo Kusumonegoro ikut bergabung.
Karena humornya yang disukai banyak orang, Warkop Prambors (yang nantinya berganti nama Warkop DKI) mulai mendapat tawaran tampil di panggung dan bermain film. Dalam film-filmnya yang kemudian melejitkan nama Dono, Kasino, dan Indro itu sebenarnya mereka masih suka menyelipkan unsur-unsur kritiknya di beberapa adegan. Meski akhirnya semakin ke belakang film-filmnya semakin lunak, baik akibat tekanan pemerintah maupun mengikuti pasar sinema yang sedang menggandrungi produk visual bertema sensual.
Di antara kritik-kritiknya, misalnya, dalam salah satu adegan filmnya Kasino terlihat menegur anak-anak yang sedang bermain buldoser di area proyek pembangunan. Kasino nyeletuk, “Eh jangan main-mainin alat negara ya!” Tak lama Dono langsung menyahut, “Heh, alat negara kan tentara.” “Maksud gue alat punya negara,” jawab Kasino.
Di adegan lain, Kasino yang bekerja sebagai sales otomotif tengah menawarkan mobilnya kepada para pembeli, “Ayo mari bu, mari pak, dijamin tokcer, dijamin tokcer,” teriaknya sambil menepuk-nepuk atap mobil. “Di jalan tol bisa 100 km per jam, di tikungan 60 km, lewat komplek ABRI 5 km.”
Secuil humor politik di koran-koran dan selipan humor politik oleh Warkop Prambors/DKI baik lewat radio, panggung, atau film adalah bukti minimnya (dan memang diminimalisirnya) kritik di masa Orde Baru. Humor sarat kritik hanya beredar dari mulut ke mulut. Ia nyaris tidak bisa keluar menjadi konsumsi publik. “Karena itu, humor berubah menjadi rumor,” kata Mas Salim.
Namun di sisi lain, ketika humor politik semakin beku dan dibatasi, sebaliknya “humor rakyat” di era Orde Baru sangatlah cair. Humor yang menjadi komunikasi antarentnis, antaragama, atau antarkelompok apa pun cenderung bisa diterima masyarakat. Artinya, ketika objek humor tersebut melibatkan suatu etnis, agama, atau kelompok tertentu, tidak sampai menimbulkan respons yang berlebihan dari identitas yang “diobjektifikasi”. Belum ada ketersinggungan akut yang masif di masyarakat saat itu.
Dalam salah satu penampilan panggungnya, Dono dan Nanu pernah adu humor bermaterikan suku. Dimulai dari Dono yang melempar pertanyaan kepada Nanu, “Ini temen saya nih orang Batak. Orang Batak kalau sendirian, ngapain?” “Menyanyi solo,” timpal Nanu. “Berdua?” “Main catur.” “Bertiga?” “Main halma.” “Berempat?” “Tari Tortor”. Dono lalu memungkasi, “Ya, lebih empat, lebih lima, lebih dari enam, pintu-pintu jendela-jendela harap ditutup.” Tawa penonton sontak pecah.
“Ini orang Jawa nih, kurang ajar!” balas Nanu. Ia kemudian balik bertanya kepada Dono, “Kalau Jawa sendirian, ngapain?” “Main perkutut,” jawab Dono. “Kalau berdua?” “Cari kutu.” “Bertiga?” “Klenengan.” “Berempat?” “Wayang orang.” Gantilah giliran Nanu memungkasi, “Lebih dari empat, lebih dari lima, transmigrasi ke luar Jawa.” Tawa penonton kembali meledak.
Sedemikian cairnya humor antar-rakyat pada saat Orde Baru. Di tengah penjelasannya, Mas Salim juga bercerita tentang pengalaman bersama teman kosnya dulu. “Teman saya nanya, ‘Kenapa ya di masjid nggak ada piano? Padahal di gereja ada piano.’ Ya saya jawab, ‘Lha sandal aja hilang kalau di masjid, apalagi piano’.”
Humor-humor seperti ini dulu sempat aman. Masyarakat seolah tumbuh dewasa akibat represi dan tempaan negara yang ringan tangan. Atau barangkali masyarakat memang solid dalam menciptakan hiburan kolektif, yaitu dengan saling menertawakan antar-sesama.
Berbeda dengan sekarang. Masyarakat Indonesia semakin puritan dan gampang tersinggung. Terlebih, negara ikut memfasilitasinya dengan menyediakan seperangkat “alat pukul” berupa pasal karet penodaan agama dan UU ITE. Kita tak bisa melempar kritik melalui humor atas perilaku umat beragama yang terkadang absurd, karena sesat pikir akut di masyarakat akan langsung menuduhnya anti-agama. Pun dengan materi guyonan lainnya yang semakin terbatas.
Setiap hari kita terus kehilangan ruang untuk duduk bersama dan menertawakan hidup yang sudah sulit ini. Tinggal di negara demokrasi yang katanya mengayomi kebebasan berekspresi dan terkenal dengan masyarakatnya yang ramah serta murah senyum, sejatinya kita semua sedang tertunduk murung meratapi ketidakberdayaan tawa yang dibungkam, baik oleh tangan-tangan negara yang tak terlihat, maupun oleh sesama masyarakat kita sendiri.