Tujuh hari lalu kabut duka menyelimuti Indonesia. Hingga kini gumpalan itu belum kunjung turun. Barangkali memang tak akan turun sampai berhari-hari ke depan. Berbagai kenangan tentang Gus Sholah terus berlalu-lalang di beranda media kita. Saya rasa kedukaan ini bukan lagi sekadar kabut; dengan intim ia berubah menjadi iklim.
Tanda-tanda itu menunjukkan betapa besarnya kehilangan bangsa ini pada sosok KH. Salahuddin Wahid yang telah berpulang pada Sang Khalik. Gus Sholah, panggilan akrabnya, memang bukan milik umat muslim saja, apalagi milik NU semata. Besarnya kehilangan bangsa justru mencerminkan figur Gus Sholah sebagai seorang ulama multidimensi, di samping sepak terjang selama hidupnya yang selalu meninggalkan arti.
Menjadi putra KH. Wahid Hasyim yang moderat, sekaligus adik Gus Dur yang humanis, sulit rasanya melepaskan buah-buah nilai dan sifat Gus Sholah yang mirip dengan keduanya. Tidak hanya dipandang sebagai ulama dan kiai pengasuh Ponpes Tebuireng Jombang, Gus Sholah juga dikenal sebagai intelektual, penulis, pengajar, insinyur, pebisnis, politisi, pemimpin organisasi Islam, aktivis pergerakan, dan pejuang HAM.
Sebutan terakhir ini, agaknya akan kita bicarakan panjang di sini.
Gelar pejuang hak asasi manusia sebenarnya bukan sekedar sebutan formalitas belaka, sebab ia sempat menjabat sebagai wakil ketua Komnas HAM periode 2002-2007. Gelar tersebut tersemat dengan sendirinya melalui kerja-kerja kemanusiaan semasa hidupnya. Lagipula, kita juga tak akan kesulitan menjumpai pemikiran Gus Sholah terkait, katakanlah, kesetaraan dan perdamaian.
Meski memiliki latar belakang “darah biru” yang disegani, Gus Sholah enggan membangun istana gading yang hanya sekadar memberi perintah sana-sini dari singgasananya. Ia selalu siap menyingsingkan lengan, turun ke lapangan, bertemu dan berdialog demi meredakan konflik-konflik yang bergejolak di dalam negeri. Untuk mendukungnya, Gus Sholah juga rajin menyebarkan benih dan risalah pemikirannya dari satu media ke media lain, dari satu forum ke forum lain.
Kala Gus Dur menjabat presiden, saat Indonesia mendapat ancaman besar perpecahan bangsa, Gus Solah diminta untuk menyampaikan bantuan kemanusiaan ke wilayah Aceh. Ia membentuk komite kemanusiaan dan memimpinnya sendiri. Komite tersebut, pada akhirnya bisa dibilang cukup sukses meredam konflik yang terjadi di Aceh pada saat itu.
Kepeduliannya pada Aceh terus berlanjut. Setelah Gus Dur dilengserkan, Gus Sholah mulai masuk dan menjabat di Komnas HAM. Ia tak henti mendesak pemerintah untuk melakukan cara-cara damai dalam menangani konflik Aceh, sesuai prinsip penghentian permusuhan yang ditandatangani di Jenewa. Ia, bersama Komnas HAM, juga turut menyesali rencana Presiden Megawati untuk melakukan operasi militer di propinsi ujung utara Indonesia itu.
Di Papua, Gus Sholah tak segan-segan turun dan berdialog dengan para uskup di sana untuk mencari solusi perdamian atas konflik yang terjadi. Seorang sahabatnya, Antonius Benny Susetyo atau Romo Benny, mengenang pertemuannya dengan Gus Sholah dalam rekonsiliasi konflik di Papua hingga ke daerah-daerah lain. “Sejak itu (di Papua), perjumpaan kami cukup intensif saat mengatasi konflik Ambon dan Poso bersama dengan tim lintas agama,” ujarnya.
Perhatian Gus Sholah pada isu kemanusiaan tak berhenti pada fokus penanganan konflik secara damai saja. Persoalan hak-hak minoritas dan isu mayoritarianisme di Indonesia pun tak luput dari penglihatannya. Asfa Widiyanto, dalam Salahuddin Wahid and the Defence of Minority Rights in Contemporary Indonesia, mencatat pemikiran dan ruang gerak aktivisme Gus Sholah meliputi isu: minoritas etnis, minoritas agama, hak-hak perempuan, kekerasan terhadap kelompok Ahmadiyyah, hingga pernikahan beda agama.
Pada Mei 1998, ketika kerusuhan rasial terjadi, etnis Tionghoa menjadi sasaran sentimen ekstrim oleh kelompok mayoritas yang tak terkendali. Gus Sholah telah menduga bahwa etnis minoritas Tionghoa, yang saat itu cukup mendominasi perekonomian, akan menjadi sasaran etnis mayoritas yang lebih-tidak-sejahtera saat krisis finansial menghantam negara.
Gus Sholah menjadi salah seorang yang vokal dan aktif mengatasi konflik horisontal tersebut. Ia bahkan sempat memimpin TGPF (Tim Gabungan Pencari Fakta) untuk penyelidikan kasus Kerusuhan Mei 1998 dan menjadi Ketua Tim Penyelidik Adhoc Pelanggaran HAM Berat kasus Mei 1998.
Selain perhatiannya pada hak-hak minoritas etnis yang tidak terpenuhi sebagai manusia dan warga negara, Gus Sholah juga manaruh perhatian pada masalah diskriminasi dan kekerasan berbasis agama.
Ia mengkritisi kondisi bangsa kita yang masih mempunyai masalah mayoritarianisme serius. Baginya, kita masih belum mampu membedakan antara hukum agama dan konstitusi, juga belum bisa memandang kedudukan sebuah entitas yang setara dalam hal kepemilikan status warga negara. Hal ini berkaitan erat dengan adanya resistensi besar kelompok Islam mayoritas pada kelompok yang lebih kecil seperti Syiah dan Ahmadiyyah. Tidak hanya pada tataran membenci, berbagai persekusi dan kekerasan juga sudah jamak menimpa saudara-saudara kita tersebut.
“Hal lain yang harus dijelaskan kepada publik adalah kenyataan bahwa Indonesia bukan negara Islam. Apa yang berlaku di negara kita adalah hukum-hukum nasional Indonesia,” tulisnya dalam Berguru Pada Realitas (2011). “Jika seseorang melanggar perintah tertentu dari hukum Islam tetapi tidak melanggar hukum negara, maka dia tidak bisa dihukum. Jadi, seseorang yang menghukum orang ini dianggap sebagai orang yang melanggar hukum. Pemimpin muslim harus memberikan penjelasan seperti itu kepada pengikut mereka,” lanjutnya.
Hari ini, kita hanya mampu mengingat, mengenang, dan mencoba sebisa mungkin melanjutkan teladan dan hasil buah pikirnya. Gus Sholah adalah figur yang teduh dan jernih sebagai ulama dengan keilmuan yang tinggi. Di sisi lain ia juga pejuang hak-hak kemanusiaan yang tegas dan kritis pada pelanggaran-pelanggaran yang terjadi. Sebuah paduan yang sangat dibutuhkan bangsa ini.
Hari ini, baiknya kita luangkan waktu sejenak untuk mendoakannya. Al-fatihah.